Berharap Perdamaian Israel-Palestina
Masalah Israel-Palestina sangat kompleks, dan ini bukan soal agama. Kita perlu berdoa mohon damai bagi Israel-Palestina.
Dalam dua hari sejak peristiwa penyerangan Hamas di festival musik di Re’im, lebih dari 700 orang Israel dan 400 orang Palestina tewas terbunuh ketika 100.000 tentara cadangan Israel berkumpul di perbatasan Israel dan Jalur Gaza mencoba merebut kembali wilayah Israel yang diyakini berada di bawah kendali kelompok militan Hamas, demikian laporan News Australia pada 9 Oktober 2023. Setelah itu, eskalasi konflik meluas, menegang, dan memakan lebih banyak jumlah korban.
Bukan soal agama
Kita mafhum, persoalan Israel-Palestina ini kompleks, dan berlapis-lapis, memiliki banyak facet. Namun, perlu ditegaskan bahwa konflik Israel-Palestina ini bukan soal agama. Bukan. Sebab utama konflik adalah soal tanah dan penggunaan kekuasaan yang abusif. Di sini ada dua hal yang berkelindan.
Pertama, bahwa agama dan Tuhan yang dibawa-bawa dalam konflik Israel-Palestina memang merupakan bumbu mujarab untuk membangkitkan sensitivitas bagi banyak pihak, baik yang pro maupun kontra kepada Israel dan Palestina. Kecenderungan mewarnakan isu agama pada realitas soal tanah dan kuasa sudah berlangsung lama, juga sudah tercatat dalam Kitab Suci Ibrani (Hebrew Bible atau yang oleh orang Kristen disebut dengan istilah Perjanjian Lama).
Baca juga: Benang Kusut Konflik Israel Vs Palestina
Kedua, narasi-narasi tertentu dalam teks Suci memang beragam. Ada yang dipakai untuk mengklaim kepemilikan tanah (sebagai milik Israel sebagai Tanah Terjanji), tetapi ada juga yang secara terang benderang memihak kepada keadilan daripada klaim-klaim agama dan kekuasaan. Narasi jenis kedua ini jelas-jelas menelanjangi topeng keagamaan itu.
Adalah Naim Stifan Ateek, rohaniwan Kristen berkebangsaan Palestina, yang menuliskan hal ini dalam buku klasiknya yang berjudul ”Justice and Only Justice, A Palestinian Theology of Liberation” (cetakan ke-9, 1998). Dari perspektifnya sebagai rohaniwan Kristen yang berdarah Palestina, Ateek mengajukan narasi Kitab Suci Perjanjian Lama (yang diimani oleh baik orang Israel maupun Kristen) untuk menjawab ke mana arah mesti dituju, apa nilai yang mesti dihidupi bahkan dipertahankan hingga mati. Dua narasi yang dikemukakan Ateek adalah kisah Eksodus dan kisah Kebun Anggur Nabot.
Kisah Eksodus yang sering disebut dengan kisah Keluaran bangsa Ibrani (Israel) dari perbudakan Mesir di bawah pemerintahan Pharaoh (Firaun) adalah kisah yang sering dijadikan sebagai paradigma oleh Teologi Pembebasan. Gustavo Guitierrez, tokoh Teologi Pembebasan Amerika Latin, menulis, ”The God whom we know in the Bible as a liberating God, a God who destroys myths and alienations, a God who intervenes and who rises up prophets in order to point out the way of justice and mercy. He is the God who liberates slaves (Exodus), who causes empires to fall and raises up the oppressed” (1973, 116).
Masalahnya, kata Ateek, dalam situasi konflik Israel-Palestina sekarang ini, siapakah yang berada dalam posisi tertindas dan siapakah Pharaoh (Firaun) yang menindas? Tentu jelas bahwa dalam bukunya Ateek hendak menohok Pemerintah Israel yang Zionist (bukan masyarakat Israel mengingat komposisi sosial, religius, kultural, etnik, dan aspirasi kemanusiaan yang beragam dalam masyarakat) dan juga kelompok Kristen fundamentalis (bukan semua komunitas Kristen) bahwa bangsa yang dulu tertindas kini menindas.
Dalam situasi konflik Israel-Palestina sekarang ini, siapakah yang berada dalam posisi tertindas dan siapakah Pharaoh (Firaun) yang menindas?
Dengan demikian, Ateek hendak mengetengahkan kenyataan bahwa narasi Eksodus yang dilanjutkan dengan penguasaan atas Kanaan telah disalahgunakan oleh baik kaum Zionist maupun Kristen fundamentalis (hlm 86), yang memahami kisah ini sebagai panggilan untuk membenarkan secara membabi buta kembalinya orang-orang Israel ke tanah yang status kepemilikannya sungguh-sungguh amat kompleks, yang terbentang dalam sejarah beberapa bangsa selama berabad-abad. Di sini, teologi pembebasan dimaksudkan untuk menyadarkan dan menggugah orang (siapa pun dan apa pun kebangsaannya) perihal perlunya membela mereka yang tertindas sebagaimana yang dulu dikerjakan Allah.
Peringatan semacam ini agaknya perlu diberlakukan kepada semua pihak (bukan hanya Israel, melainkan juga Palestina—dan Hamas—serta para pembela kubu masing-masing di seluruh dunia) yang bersengketa dan berkepentingan dengan tegaknya keadilan supaya tidak mudah tergelincir pada kekerasan, anarki, dan justifikasi sepihak.
Kisah kedua yang diintrodusir Ateek dan yang dianggap lebih relevan bagi konteks konflik Israel-Palestina adalah kisah tentang sebuah kebun anggur yang dimiliki oleh seseorang bernama Nabot (namanya terkait dengan kata Arab nabata yang artinya ”bertumbuh”). Karena sang raja Ahab (869-850 BC) atas bujukan Izebel istrinya ingin memiliki kebun anggur yang tak hendak dijual Nabot, raja dan ratu yang marah merekayasa tuduhan palsu atas Nabot sebagai yang ”mengutuki Allah dan raja” (1 Raja-Raja 21: 10), yang mengakibatkan Nabot mati dihukum rajam batu. Tak ada seorang pun yang membelanya. Anak-anak Nabot kemudian juga dibunuh. Tanah dan kebun anggurnya sudah jelas segera menjadi milik raja Ahab dan istrinya.
Kisah ini, menurut Naim Ateek, adalah an ancient story with a modern ring to it (hlm 87). Dengan amat tajam, Naim Ateek menyeru: ”Kematian dan perampasan Nabot dan keluarganya telah terjadi ribuan kali….Jika direduksi menjadi esensi, hal ini mencerminkan tragedi Palestina serta penindasan terhadap hak-hak individu. Namun, kisah ini lebih dari sekadar kisah tragedi. Sebab, pada intinya berdiri Tuhan yang merupakan Tuhan keadilan, Tuhan yang mengatur sejarah, yang memiliki ingatan panjang, dan tidak akan membiarkan ketidakadilan dibiarkan begitu saja.”
Baca juga: Mencari Solusi Berkeadilan Konflik Israel-Palestina
Dalam konteks Ateek, memang jelas siapa yang dibela dan siapa yang dikritik. Meski demikian, dalam setiap konflik, termasuk yang terbaru sekarang ini, seyogianya batasan tentang ”siapa melakukan kekerasan pada pihak yang lemah” perlu dibiarkan tetap terbuka agar alih-alih membenarkan diri plus kelompok sendiri secara serampangan kita dapat menjadi kritis dalam segala keadaan serta terdorong berjuang agar keadilan dan cinta kasih senantiasa bercium-ciuman dan ber-nabata, bertumbuh.
Kita selayaknya tetap berdoa mohon damai bagi ketegangan Israel-Palestina di sana, juga bagi ketegangan ”Israel-Palestina” di dalam konteks kita di sini, bahkan juga di dalam diri kita sendiri.
Daniel K Listijabudi, Dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta