Rupiah Tidaklah Pasrah
Nilai tukar rupiah melemah mencapai Rp 15.700 per dollar AS, level terlemah tahun ini. Padahal, fundamental ekonom baik.
Fundamental ekonomi Indonesia cukup baik; pertumbuhan ekonomi cukup tinggi (5,17 persen), neraca berjalan surplus (0,5 persen terhadap produk domestik bruto), dan inflasi juga rendah (2,28 persen).
Tingginya suku bunga di Amerika Serikat (AS) membuat mata uang lain melemah. Dollar kembali ke AS dengan imbal hasil lebih tinggi dan dianggap bertuah.
Bank sentral sebisanya intervensi untuk menjaga stabilitas, tidak hanya pasrah.
Nilai mata uang lebih ditentukan oleh aliran dana masuk dan keluar daripada fundamental ekonomi yang kokoh. Mata uang berperan sebagai alat tukar dan penyimpan nilai yang seakan bertuah.
Dollar AS menjadi acuan karena ekonomi AS terbesar, sistem hukum yang andal, sosial politik stabil, dan kredibilitas yang kokoh. Banyak usaha untuk menggantikan dollar AS, tapi sayangnya kurang berkah.
Nilai mata uang lebih ditentukan oleh aliran dana masuk dan keluar daripada fundamental ekonomi yang kokoh.
Janganlah lengah
Terlalu kuatnya dollar sebenarnya membuat daya saing AS melemah. Namun, sekarang ini fokus bank sentral AS masih menurunkan inflasi ke tingkat 2 persen, yang membuat banyak negara gundah, walaupun untuk itu, upaya AS ini bisa mengorbankan pelaku ekonominya sendiri.
Suku bunga di AS saat ini sudah tinggi dan kemungkinan akan dinaikkan lagi. Akibatnya, arus dollar kembali ke AS akan semakin deras.
Intervensi oleh Bank Indonesia (BI) ke pasar spot dan forward dilakukan untuk menjaga stabilitas rupiah. Pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dan penjualan sertifikat rupiah BI juga dilakukan dengan terarah.
Keharusan eksportir memasukkan sebagian hasil ekspor ke dalam negeri membuat cadangan devisa bertambah. Bahkan kerja sama antarnegara untuk alternatif mempergunakan mata uang selain dollar dilakukan, tetapi masih kurang ampuh.
Sekalipun bank sentral AS, The Fed, masih akan menaikkan suku bunga, kemungkinan BI tidaklah mengikutinya, tetapi hanya mencari celah.
Alasannya, inflasi sudah cukup rendah. Selain itu, BI tidak mau membuat pertumbuhan ekonomi menjadi terganggu. Harapannya, The Fed mulai akan menurunkan suku bunga tahun depan dan kemudian bank-bank sentral lain akan mengikutinya. Akibatnya, rupiah untuk sementara waktu masih akan tertekan, walaupun tidak terlalu parah.
Pelemahan rupiah sebenarnya tidak berpengaruh terhadap fundamental ekonomi dalam negeri, apalagi fundamental ekonomi saat ini dalam keadaan yang cukup kokoh. Namun, jika pelemahannya permanen dan cukup lama, hal itu bisa meningkatkan biaya dan semakin berdampak terhadap perekonomian. Ketidakpastian meningkat, dan ini bisa membuat perekonomian tertekan.
Oleh karena itu, menjaga stabilitas, dengan intervensi, fasilitasi, dan memperbaiki iklim investasi, membuat BI tidak lengah menjaga rupiah.
Aktivitas penghitungan uang di Sentra Kas BNI di Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Titah sejarah
Sebelum krisis tahun 1998, nilai rupiah dibuat tetap, dipagu terhadap dollar AS dengan ketat.
Namun, ketika krisis moneter 1998 terjadi, nilainya tidak dapat dipertahankan dan rupiah menjadi sangat lemah, hingga ke level sekitar Rp 16.000 per dollar AS. Dengan reformasi ekonomi, rupiah menguat ke sekitar Rp 7.000 per dollar AS, tetapi kemudian kembali melemah.
BI sebagai penjaga stabilitas rupiah lebih fokus pada stabilitas, menjaga volatilitas, daripada mempertahankan tingkatan tertentu nilai rupiah.
Biaya, impor inflasi, akan meningkat, dan daya saing ekspor menguat dengan pelemahan rupiah. Kebalikannya, daya saing ekspor terhambat dengan terlalu kuatnya rupiah.
Oleh karena itu, menjaga stabilitas sangatlah penting, semacam mencari jalan tengah. Ini adalah konsekuensi dari ekonomi terbuka, yang tentu juga membawa berkah. Kita tidak bisa menutup ekonomi dengan gegabah untuk menjaga nilai rupiah. Keterbukaan membuat ekonomi merekah, sedangkan ketertutupan membuat ekonomi menjadi rapuh.
Kesempatan ekspor semestinya meningkat dengan melemahnya rupiah. Sayangnya, kesempatan ekspor berkurang dengan ekonomi global yang melemah.
Fokus ke fundamental
BI sebaiknya tetap fokus pada fundamental dalam menjaga stabilitas rupiah. Menjaga terpenuhinya permintaan dan pasokan dollar yang dicukupi dari cadangan devisa.
Iklim investasi langsung ataupun pasar modal dan obligasi diperbaiki untuk lebih cerah. Hal ini sejalan dengan perkembangan ekonomi riil dengan konsumsi dan investasi yang bisa lebih bergairah.
BI tetap menjaga volatilitas nilai rupiah. BI lebih leluasa untuk menjalankan intervensi dengan inflasi yang rendah. Hanya dengan melemahnya ekonomi dunia, harga komoditas dan ekspor melemah. Ini kurang mendukung upaya menjaga stabilitas rupiah.
Bagi pelaku ekonomi, pelemahan rupiah membuat biaya dari komponen impor meningkat. Begitu pula pembiayaan utang luar negeri, karena itu sedapat mungkin berpindah mempergunakan rupiah.
Kesempatan ekspor semestinya meningkat dengan melemahnya rupiah. Sayangnya, kesempatan ekspor berkurang dengan ekonomi global yang melemah.
Baca juga : Depresiasi Rupiah Mulai Senggol Manufaktur
Umar JuoroSenior Fellow The Habibie Center