Perburuan Material Kritis untuk Dekarbonisasi
Ada tiga cara mengatasi defisit material kritis, yaitu ekstraksi tambang lebih intensif, pembukaan tambang baru, dan mengubah kebutuhan konsumen.
”Keep digging ... everyone wants more metals.”
The Economist (16/9/2023)
Sebanyak 72 negara yang menyumbang 80 persen emisi karbon global berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih (NZE). Menurut Komisi Transisi Energi (ETC), untuk mencapai target NZE di 2050 dibutuhkan 15 kali kapasitas tenaga angin saat ini, 25 kali kapasitas tenaga matahari, dan 60 kali jumlah armada kendaraan listrik.
Kebutuhan tembaga dan nikel pada 2030 meningkat 50-70 persen, kobalt dan neodimium meningkat 150 persen, grafit dan litium meningkat 5-7 kali. Secara keseluruhan untuk mencapai target karbon netral di 2050 diperlukan 35 juta ton mineral hijau setiap tahun berdasarkan perkiraan Badan Energi Internasional (IEA).
ECT memperkirakan terjadinya kekurangan stok pasar tembaga dan nikel sebesar 10-15 persen pada 2030, dan untuk material bahan baku baterai lainnya 30-45 persen. Kurangnya stok material itu dan tingginya permintaan akan menyebabkan tingginya harga pasar sehingga industri hijau harus menyediakan anggaran lebih besar dan hal ini semakin menghambat tercapainya NZE.
Logam yang paling banyak digunakan untuk industri hijau adalah aluminium dan baja yang dipakai untuk panel dan turbin, serta tembaga yang digunakan untuk kabel kendaraan listrik. Untuk baterai kendaraan listrik dibutuhkan kobalt, litium, dan nikel untuk katoda, dan grafit untuk komponen utama anoda.
Proses daur ulang juga merupakan salah satu alternatif untuk menggunakan ulang logam yang sudah tak terpakai.
Untuk pembuatan motor listrik penggerak dan turbin penggerak dibutuhkan logam tanah jarang seperti neodimium. Ramalan industri memperkirakan defisit ketersediaan tembaga sebesar 2-4 juta ton atau 6-12 persen dari kebutuhan potensial pada 2030. Diperkirakan terjadi juga kekurangan litium 50.000-100.000 ton atau 2-4 persen. Nikel dan grafit, meskipun secara teori tersedia cukup banyak, dapat menjadi kendala karena baterai memerlukan material murni.
Mengatasi defisit
Ada tiga cara untuk mengatasi defisit material kritis tersebut, yaitu ekstraksi tambang lebih intensif, pembukaan tambang baru, dan mengubah kebutuhan konsumen. Proses daur ulang juga merupakan salah satu alternatif untuk menggunakan ulang logam yang sudah tak terpakai. Aluminium, tembaga, dan nikel merupakan logam yang umum didaur ulang.
Perusahaan tambang BHP mengembangkan industri daur ulang di Tanzania yang mampu menyediakan 50 persen kebutuhan tembaga dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Perusahaan tambang lainnya, Rio Tinto, melakukan investasi untuk daur ulang aluminium.
Untuk intensifikasi ekstraksi tambang digunakan sejumlah teknologi yang semakin maju. Sejumlah perusahaan mengembangkan proses kimia yang mampu mengekstraksi tembaga kadar rendah dengan limbah yang dapat diolah lagi.
Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia, perusahaan tambangnya menggunakan high-pressure acid leaching (HPAL) untuk mengolah bijih nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai litium untuk kendaraan listrik. Diperkirakan Indonesia dapat memproduksi nikel kadar tinggi 400.000 ton pada 2025 sehingga dapat mengisi kebutuhan nikel 900.000 ton pada 2030.
Pembukaan tambang baru akan efektif untuk mengisi kekurangan material kritis, tetapi prosesnya akan lama, apalagi terkait lingkungan hidup.
Pameran Indonesia Energy & Engineering (IEE) 2023 berlangsung di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2023). IEE 2023 menggabungkan pameran kelistrikan dan energi, tambang, migas, konstruksi dan pembangunan infrastruktur, pengecoran logam, pengairan dan pengolahan limbah.
Perusahaan konsultan McKinsey menghitung, jika 382 proyek kobalt, tembaga, litium, dan nikel yang sudah melakukan studi prakelayakan, selesai pada 2030, akan terjadi keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan di pasar. Proyek ini akan meningkatkan produksi secara signifikan.
Saat ini terdapat 500 tambang kobalt, tembaga, litium, dan nikel yang beroperasi. Pembukaan tambang baru memerlukan waktu 4-7 tahun untuk litium dan rata-rata 17 tahun untuk tembaga, dan umumnya akan tertunda lagi jika ada protes dari aktivis lingkungan.
Industri kendaraan listrik adalah konsumen logam yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka sangat inovatif dan sensitif terhadap harga dalam mengantisipasi kelangkaan material kritis. Mereka berupaya untuk hemat dan seminim mungkin menggunakan logam melalui berbagai inovasi pengembangan kendaraan listrik.
Baterai kendaraan listrik saat ini mengandung 69 kilogram tembaga, turun dari 80 kilogram tahun 2020. Diperkirakan tahun 2035 kandungan tembaga baterai 21-50 kilogram, yang berarti terjadi penghematan tembaga sebesar 2 juta ton.
Baterai litium tipe NMC 111 yang kandungan kobalt dan nikelnya sama sudah diganti dengan NMC 721 dan 811 yang lebih banyak kandungan nikelnya. Dengan adanya upaya penghematan material kritis melalui inovasi teknologi, diperkirakan pada akhir 2030 sudah cukup banyak industri daur ulang tambang baru.
Antara sekarang sampai dengan 2030 mungkin terjadi disrupsi akibat demo oleh buruh tambang lokal dan sebagai akibat cuaca ekstrem. Musim kemarau di Indonesia yang berkepanjangan sampai dengan tiga bulan akan menyebabkan defisit nikel dan tembaga sebesar 5-15 persen pada tahun 2028.
Baca juga : Transisi Energi Dorong Diversifikasi Bisnis Pertambangan
Satryo Soemantri BrodjonegoroGuru Besar Emeritus ITB, Penasihat Khusus Menko Marves