Mencari Pemimpin Negeri
Artikel Indra Tranggono, ”Tiket Kepemimpinan” (Kompas, 11/10/2023) mengungkap keprihatinan bahwa kini tidak sedikit orang menempuh jalan instan, melesat menjadi pemimpin nasional serta penyelenggara negara.
Ini seolah hak istimewa orang-orang yang memiliki ”darah biru” politik atau ”ahli waris takhta”. Fenomena tersebut, kata Indra Tranggono, mengakhiri narasi bahwa orang harus ”berdarah-darah” berjuang untuk menjadi pemimpin tingkat nasional. Nepotisme membuat negara jadi ”negara kekeluargaan” atau ”negara kekerabatan”.
Untuk menjadi pemimpin nasional, lanjut Indra, seseorang harus berjuang membangun dan melakukan investasi sosial, politik, budaya, dan keilmuan, serta teruji menghadapi berbagai tantangan.
Dalam konteks ini saya mencoba mengutip dan ”menyederhanakan” pemikiran pakar sosiologi Perancis, Pierre Bourdieu. Praktik kehidupan sosial pada hakikatnya berlangsung dalam berbagai ”arena” yang ditandai ”pertarungan” pelaku-pelaku berbekalkan beragam ”modal”.
Ada ”modal ekonomi” (misal, kekayaan), ”modal sosial” (relasi sosial, jaringan, organi- sasi, koneksi), ”modal budaya” (kualifikasi intelektual seperti pendidikan, pengetahuan, keahlian), dan ”modal simbolik” (umpamanya kedudukan, kelas sosial, kehormatan).
Di ”arena” politik, misalnya, terjadi ”persaingan” meraih dan ”berbagi” kekuasaan yang berimplikasi pada posisi, praktik sosial atau perilaku para pelaku di arena tersebut. Keunggulan bergantung pada besaran dan ragam ”modal” para ”petarung” serta strategi kepiawaian ”meramu” alokasi bermacam ”modal” itu dalam sebuah ”arena perjuangan” (Muridan S Widjojo, 2003).
Tentu pemikiran Bourdieu tidaklah sesederhana dan seringkas itu, tapi kompleks dan ”berat”, melibatkan berbagai konsep yang saling berkaitan.
Secara spesifik, Ulil Abshar-Abdalla mengingatkan perlunya kehadiran sosok-sosok ”pemimpin jangkar”. Tokoh yang mampu merekat masyarakat guna mengimbangi polarisasi intrinsik dalam demokrasi (”Pentingnya Pemimpin Jangkar”, Kompas, 12/10/2023).
Memang tinggi dan berat tuntutan kualifikasi pemimpin sebuah negeri besar, kaya, majemuk, dengan kompleksitas permasalahan serta tantangan internal dan eksternalnya, seperti Indonesia. Jelas, pemimpin sekaliber itu, tidak akan muncul dari pola perekrutan model instan, ”cepat saji”, atau ”jalan pintas”.
EDUARD LUKMAN, Pejaten Barat, Pasar Minggu