ePilog: Dalam Cengkeraman Dinasti Politik
Sudah banyak bukti bahwa kekuasaan yang dibangun di atas batu bata politik dinasti hampir selalu berakhir dengan ”unhappy ending”.
Jika merunut reputasi Presiden Joko Widodo, banyak orang yakin bahwa ia tidak akan membangun dinasti politik di negara demokrasi modern seperti Indonesia. Sudah banyak bukti bahwa kekuasaan yang dibangun di atas batu bata politik dinasti hampir selalu berakhir dengan unhappy ending. Panggung politik bukan tayangan sinetron, apalagi opera sabun, yang ending-nya selalu membuat mereka yang teraniaya dan miskin pada akhirnya merengkuh kebahagiaan dan kekayaan.
Dalam bahasa yang lebih populer, lakon (protagonis) biasanya kalah terlebih dahulu; dihinakan tiada tara oleh musuh-musuh politiknya, tetapi nanti akan ada titik balik, di mana sang tokoh utama akan memenangi pertarungan. Cerita-cerita semacam ini, misalnya, terdapat dalam kisah-kisah Panji, yang kebanyakan digubah ke dalam tontonan teater tradisonal kita.
Raden Panji Inu Kertapati, biasanya, terlunta-lunta terlebih dahulu, sebelum akhirnya bisa mempersunting Dewi Sekartaji dan kemudian berkuasa di Jenggala dan Kadiri. Bahkan, dalam beberapa versi, Raden Panji dikisahkan terbunuh dalam satu pertarungan, tetapi akan selalu ada plot twist. Penonton dikejutkan karena Raden Panji dihidupkan kembali melalui tangan para dewa yang mencintai kedamaian dan kebaikan.
Di Bali kisah Panji biasa disebut Malat. Tokoh utamanya tetap Raden Panji Inu Kertapati, tetapi Dewi Sekartaji bersalin rupa dengan nama Galuh Candra Kirana dari Kerajaan Daha. Plot yang sangat umum dianut, dalam perjodohan antara Panji dan Galuh, terdapat saudara tirinya bernama Raden Prabangsa, yang diam-diam memendam cinta terhadap Galuh. Biasanya, Raden Prabangsa menjadi karakter antagonis yang dipanggil Raja Buduh (gila). Sifat-sifat Raja Buduh, selalu nyeleneh dan aneh, terkadang juga kolokan.
Dalam sistem monarki, kisah penyerahan kekuasaan kepada keluarga, terutama anak lelaki, sudah kita galib terjadi. Monarki bersumber dari pembagian kelas, di mana kekuasaan hanya boleh dipegang oleh kaum bangsawan.
Konflik perebutan perempuan menjadi warna dominan sebelum akhirnya terjadi perebutan kursi kekuasaan. Jenggala dan Kadiri bersatu di tangan Raden Panji, yang memang dikader oleh ayahnya untuk menjadi raja. Begitulah selalu kisah tradisi memberi pesan kepada kita, bersusah-susah dahulu, setelah itu barulah boleh menghirup nikmati kekuasaan.
Dalam sistem monarki, kisah penyerahan kekuasaan kepada keluarga, terutama anak lelaki, sudah kita galib terjadi. Monarki bersumber dari pembagian kelas, di mana kekuasaan hanya boleh dipegang oleh kaum bangsawan. Jika pun terjadi anomali seperti dalam kisah Ken Arok di Singasari, keturunannya pun membentuk kelas sosial sendiri di kemudian hari: dari rakyat jelata menjadi kaum bangsawan.
Dalam perjalanan Kerajaan Singasari sebagaimana dimuat dalam kitab Pararaton, Ken Arok merebut kekuasaan dari Akuwu Tumapel Tunggul Amatung, dan kemudian mendirikan Kerajaan Singasari pada 1222 di Tumapel. Selanjutnya terjadi perebutan kekuasaan dengan kisah saling bunuh di antara keturunan Ken Arok dan Tunggul Ametung, sampai tujuh garis keturunan.
Dalam demokrasi modern, rupanya monarkistis tidak terhindarkan. Mungkin karena kekuasaan memberikan privilege, pengistimewaan dalam banyak hal, menjadi golongan berbeda dengan rakyat biasa, punya kesempatan untuk melakukan apa saja, termasuk membangun kerajaan bisnis, misalnya.
Kita masih ingat dinasti Kennedy di negara demokrasi (paling) liberal seperti Amerika Serikat. Awalnya, bukan John F Kennedy (JFK)yang terjun ke panggung politik. Orangtuanya, Joseph Kennedy dan Rose Fitzgerlard, ingin anak-anak mereka menjadi pemimpin. Rose tak lain adalah putri wali kota Boston. Joseph kemudian menjadi Duta Besar Amerika Serikat untuk Inggris. Di situ, John diangkat sebagai sekretaris pribadinya. Rencananya, Joseph dan Rose ingin menjadikan anak mereka, Joe Kennedy, maju ke Kongres dan kemudian menjadi presiden, tetapi rencana itu gagal.
Kemudian John-lah yang berhasil memenuhi ambisi kedua orangtuanya. JFK kemudian benar-benar diangkat menjadi presiden Amerika Serikat tahun 1961. Ia menjadi presiden termuda Amerika karena waktu dilantik ”baru” berusia 44 tahun.
Hal yang ”mengagumkan”, untuk negara dengan klaim paling demokratis itu, JFK mengangkat adiknya, Robert Kennedy, sebagai jaksa agung sekaligus penasihat dalam pemerintahannya. Meski penunjukan itu ditolak sebagai bentuk nepotisme, pemanfaatan celah aturan serta jalan struktural membuatnya seolah-olah tidak melanggar aturan. Sah-sah saja asal tak melanggar aturan. Kira-kira begitu bunyi pembenarannya.
Sejarah kemudian berdarah-darah ketika JFK ditembak mati pada 22 November 1963 oleh Lee Harvey Oswald di Dealey Plaza, Dallas, Texas. Robert lalu mengikuti jejak JFK dengan memasuki Gedung Putih. Tragedi keluarga Kennedy seolah berlanjut.
Setelah melakukan pidato kemenangan sebagai presiden Amerika Serikat terpilih di Hotel Ambassador, Los Angeles, Robert ditembak seseorang hingga tewas. Saat itu ia baru berusia 42 tahun. Kini, dinasti Kennedy meneruskan petualangan politik lewat Joseph P Kennedy III, yang tak lain adalah cucu dari Robert. Jangan lupa, masih ada si bungsu keluarga Kennedy, Edward Moore Kennedy yang menjadi Senator Massachusetts sejak tahun 1962. Sayangnya, Edward meninggal tahun 2009 karena kanker yang menyerang tubuhnya.
Barangkali keluarga Kennedy menjadi dinasti politik paling populer di Amerika Serikat. Meskipun belakangan muncul dinasti lain, yakni dinasti Bush. Bahkan, dinasti ini dianggap paling sukses di abad ke-20. Tahun 1952, Prescott Bush terpilih sebagai Senator Connecticut, lalu anaknya, George HW Bush, pindah ke Texas dan memenangi kursi US House of Representative.
Kita kemudian tahu George menjadi wakil presiden dari Presiden Ronald Reagen (1981-1989). George akhirnya menjadi presiden dengan menyingkirkan Reagen pada periode 1989-1993. Setelah diselingi Presiden Bill Clinton (1993-2001) dari Partai Demokrat, George W Bush Jr berkuasa di Amerika Serikat dalam dua periode pada 2001-2009.
Tentu saja harus disebut pula, di negara Asia ada dinasti Nehru-Gandhi (India), Bhutto (Pakistan), dan yang paling fenomenal dinasti Kim di Korea Utara. Setelah India merdeka, praktis negara itu dikuasai dinasti Nehru-Gandhi. Jawaharlal Nehru menjadi perdana menteri India pertama setelah merdeka dari penjajahan Inggris. Ia anak dari Motilal Nehru, seorang pejuang kemerdekaan India.
Jawaharlal Nehru tak lain adalah ayah dari Indira Gandhi. Nama Gandhi ia dapatkan dari suaminya, dan tidak memiliki kaitan sama sekali dengan Mahatma Gandhi. Indira menjadi perdana menteri India selama empat periode pada 1966-1984. Masa hidupnya berakhir tragis, Indira ditembak mati dua pengawal pribadinya pada 31 Oktober 1984.
Tragedi dinasti Gandhi tak berakhir di situ. Anak sulung Indira, Rajiv Gandhi yang ”naik takhta” menggantikannya sebagai perdana menteri India ke-7, juga berakhir tragis. Tubuhnya berkeping-keping karena bom yang meledak dari karangan bunga yang dikalungkan di lehernya pada 21 Mei 1991. Bersamanya juga tewas 13 orang lainnya dalam satu serangan bom bunuh diri.
Dinasti politik dalam ideologi pemerintahan, yang berbeda setidaknya tidak disebut sebagai demokrasi, terjadi dalam tiga generasi di Korea Utara. Dinasti Kim praktis menguasai negara itu setelah memperoleh kemerdekaan dari Jepang. Kim Il-Sung, yang kemudian disebut-sebut sebagai ”bapak negara”, adalah pendiri Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) tahun 1948. Sepeninggal Kim Il-Sung, tampuk kekuasaan diberikan kepada Kim Jong-Il. Kini negara paling tertutup di dunia itu dipimpin Kim Jong-Un, cucu dari Kim Il-Sung dan anak dari Kim Jong-Il.
Saat meneliti kekuasaan dinasti Kennedy, Melinda Ayu Wardani dan Dafri Agussalim menemukan beberapa upaya yang dilakukan trah ini untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam tesis berjudul ”Dinasti Politik di Amerika: Studi Kasus Dinasti Politik Kennedy” itu, keduanya menyatakan, keluarga Kennedy melakukan kampanye inovatif dan terorganisasi, serta membangun image di media. Selain itu, terdapat pula upaya memanfaatkan kepopuleran keluarga dan melakukan lobi dan (juga ada) kecurangan.
Bagian akhir dari simpulan studi ini seolah berhenti dengan tidak nyaman. Ada lobi-lobi politik yang masif untuk terus melanggengkan kekuasaan, yang dibarengi dengan kecurangan. Mungkin lobi-lobi politik menjadi hal lumrah dalam tradisi perpolitikan dunia, termasuk di Tanah Air. Tetapi, jika perlobian itu dibarengi unsur-unsur kecurangan, ia tidak saja mencederai demokrasi, tetapi juga pelanggaran berat terhadap etika kejujuran dan budi pekerti kemanusiaan.
Sejarah telah memberikan pelajaran penting bahwa dunia kekuasaan politik bukan opera sabun. Suasana kebatinan rakyat di negara ini tercederai oleh prilaku pemegang tampuk ”kekuasaan” konsitusi. Ada upaya menggunakan konstitusi sebagai pembenaran atas keinginan memberikan jalan bagi dinasti Presiden Joko Widodo untuk berkuasa. Entah siapa yang melakukannya, tetapi ”permainan” aturan di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) secara terang benderang memperlihatkan ada unsur lobi politik dan barangkali ”kecurangan” di dalamnya.
Hanya untuk menggelar karpet merah kepada putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang baru berusia 36 tahun, aturan dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dapat diubah oleh MK.
Bunyi putusan di antaranya: ”Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,” ucap Ketua MK Anwar Usman, Senin (16/10/2023), dalam Sidang Pleno MK.
Baca juga: Epilog: sihir kekuasaan
Hal yang menjadi kontroversi, dalam putusan untuk petitum gugatan serupa dari penggugat lainnya, MK menolak secara tegas perubahan terhadap pasal-pasal dalam UU Pemilu, dengan dasar bahwa perubahan itu menjadi kewenangan pembuat undang-undang.
Ada apa?
Saya tak perlu harus mengulangi apa yang sudah diketahui publik, siapa Unwar Usman dan siapa yang memohon perubahan. Publik berharap, kisah penggelaran karpet merah bagi keinginan sebagian orang kepada Gibran untuk menuju puncak kekuasaan akan berakhir dengan plot twist. Bila perlu twist itu tidak sekadar menggantungkan akhir cerita kepada publik, tetapi ada invisible hand yang turut campur menjadi pemutus perkara. Setidaknya, Gibran berpikir sejuta kali untuk melintas di karpet merah itu. Ia bisa belajar dari sejarah dinasti politik dari banyak negara pada iklim demokrasi modern saat ini.
Sebagian besar dinasti-dinasti itu menggunakan segala cara untuk berkuasa, ya, karena berkuasa itu menyenangkan. Jangan lupa, pelajaran penting dari Amerika, India, dan Pakistan, (mungkin) juga beberapa negara lainnya, pada titik tertentu dinasti politik menjadi jalan yang berdarah-darah. Penuh intrik dan tragedi! Bukan opera sabun, yang mudah ditebak ending-nya.
Di tengah kebimbangan yang membuncah di hati ini, saya masih percaya Presiden Joko Widodo tak akan merusak reputasi yang telah ia bangun dengan susah-payah sejak puluhan tahun silam. Bahwa kekuasaan itu sementara, kemanusiaanlah yang abadi… Jangan sampai negara ini jatuh ke dalam cengkeraman dinasti politik, yang sudah terbukti tidak sehat dalam iklim demokrasi modern.