Fragmentasi ekonomi akan mengurangi pendapatan negara ASEAN dan ekspor. Indonesia harus siap dengan kondisi ini.
Oleh
JAHEN F REZKI
·4 menit baca
Sekitar awal 1960, Bela Balassa, ekonom berkebangsaan Hongaria yang merupakan pengajar di Yale University, Amerika Serikat, menemukan konsep integrasi ekonomi. Balassa sebelumnya memiliki pengalaman yang buruk dan harus terusir dari negaranya. Dia terpaksa pergi karena gejolak politik, mengasingkan diri ke Austria, dan akhirnya bersekolah serta berkarier di Amerika Serikat. Dari pengalaman tersebut, Balassa meyakini bahwa integrasi ekonomi sangat penting.
Balassa berpendapat bahwa ekonomi integrasi, atau waktu itu masih dalam lingkup integrasi di Eropa (European Integration), akan menghilangkan hambatan dalam kerja sama antarnegara, serta kebijakan fiskal dan moneter, dan pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian negara yang saling terintegrasi. Ini karena semakin mudahnya perdagangan antarnegara.
Teori Balassa inilah yang melandasi lahirnya integrasi Uni Eropa. Namun sayangnya, cita-cita proses ekonomi integrasi yang optimal, seperti yang diharapkan oleh Balassa, tampaknya sirna. Fenomena Brexit, ditambah dengan krisis Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia, membuat tatanan ekonomi dunia mengalami perubahan yang cukup signifikan, dari awalnya terintegrasi menjadi sangat terfragmentasi.
Istilah fragmentasi ekonomi diperkenalkan oleh Aiyar et al (2023) dalam laporan yang dipublikasikan oleh International Monetary Fund (IMF). Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bahwa fragmentasi geoekonomi adalah sebuah kebijakan yang merupakan antitesis dari integrasi ekonomi. Negara menjadi berkelompok dan sangat terkotak-kotak berdasarkan blok.
Imbasnya adalah banyak kebijakan yang diambil oleh blok-blok tersebut akan dilandasi oleh pilihan-pilihan strategis. Pilihan strategis ini antara lain terkait dengan isu keamanan ekonomi dan nasional dan faktor geopolitik sehingga kegiatan ekonomi akan semakin terfragmentasi.
Kondisi fragmentasi ekonomi semakin buruk semenjak perang dagang China dengan Amerika Serikat, ditambah semakin semaraknya kebijakan populis di banyak negara, serta semakin besarnya keraguan terhadap globalisasi. Apalagi, ditambah pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina, membuat hubungan kerja sama ekonomi secara internasional menjadi semakin buruk.
Fragmentasi ekonomi berimbas pada semakin besarnya kebijakan proteksionisme yang diambil banyak negara. Berdasarkan data Global Trade Alert, kebijakan restriksi secara global meningkat dari sekitar 400 kebijakan pada 2009 menjadi hampir 2.500 kebijakan pada 2022. Jumlah ini meningkat lebih dari lima kali lipat. Tidak hanya di tingkat pemerintah, pelaku usaha juga sudah mulai mengadopsi kebijakan fragmentasi ekonomi. Banyak perusahaan yang mulai berpikir untuk ”pulang kampung” atau memilih kebijakan reshoring, onshoring, atau nearshoring.
Tentu pertanyaan berikutnya adalah apa imbas dari fragmentasi ekonomi terhadap perekonomian dunia. Secara umum, kegiatan ekonomi yang semakin terfragmentasi akan berimbas terhadap setidaknya dua pasar, pasar finansial (financial market) dan pasar komoditas (commodity market).
Dari sisi pasar finansial, kita akan melihat bagaimana sistem pembayaran internasional (international payment system) akan semakin terfragmentasi. Masih sangat jelas dalam ingatan kita semua bagaimana semua bank dari Rusia dilarang menggunakan sistem SWIFT sebagai respons dunia terhadap perang yang terjadi.
Fragmentasi juga berdampak terhadap posisi dollar AS dalam tatanan internasional. Dalam beberapa periode terakhir muncul isu dedolarisasi.
Kebijakan itu membuat bank-bank tersebut sulit untuk melakukan transaksi internasional dengan negara lain. Akan tetapi, Bank Rusia masih bisa bertransaksi dengan negara lain, seperti China. Kita akan melihat banyak negara tidak akan lagi bergantung pada infrastruktur finansial internasional. Perubahan perilaku ini akan membuat semakin minimnya interoperabilitas dan menghasilkan sistem keuangan baru yang tidak efisien dan tentu memiliki biaya transaksi yang tinggi.
Fragmentasi juga berdampak terhadap posisi dollar AS dalam tatanan internasional. Dalam beberapa periode terakhir muncul isu dedolarisasi. Banyak negara yang ingin menggantikan posisi dollar AS sebagai mata uang utama dalam transaksi internasional. Kebijakan ini akan mengubah struktur pasar uang secara global dan berimplikasi terhadap pasar mata uang, kegiatan perdagangan dunia, serta harga komoditas global.
Selain pasar finansial, fragmentasi ekonomi akan memberikan gejolak terhadap pasar komoditas. Hal ini disebabkan barang komoditas akan sangat terkonsentrasi di suatu negara dan sulit untuk disubstitusi pada jangka pendek. Suplai barang menjadi terbatas, harga akan melambung tinggi, dan pasar akan bergejolak.
Imbasnya apa? Kenaikan harga komoditas akan merugikan negara berkembang yang bergantung pada impor barang komoditas, khususnya pertanian. Inflasi, khususnya yang berasal dari impor, akan meningkat. Pada saat yang sama, tingginya harga komoditas akan membuat upaya untuk transisi energi menjadi semakin sulit karena harga-harga komoditas seperti tembaga, nikel, dan litium yang dibutuhkan untuk kebutuhan energi terbarukan menjadi sangat mahal.
Selain dua pasar di atas, fragmentasi ekonomi juga akan berpengaruh terhadap perdagangan global dan juga arus investasi asing yang masuk ke suatu negara (Foreign Direct Investment). Dari sisi perdagangan, negara-negara akan memiliki pilihan partner dagang yang semakin terbatas. Ini akan merugikan banyak negara, khususnya negara berkembang. Investasi asing juga akan semakin selektif. Negara seperti China dan Amerika Serikat tentu akan melihat seberapa besar kedekatan geopolitik negara-negara yang akan dibantu.
Terakhir, fragmentasi ekonomi juga akan berdampak terhadap semakin sulitnya transfer teknologi. Pelarangan dan pembatasan perdagangan untuk beberapa input produk yang bersifat high-tech sudah mulai terjadi di banyak negara, dengan alasan untuk kepentingan nasional.
Indonesia ke depan
Memang pertanyaan paling utama adalah bagaimana respons Indonesia dan peran apa yang bisa diambil untuk menghadapi fenomena ini? Sayang kita belum melihat ada atensi khusus dari pemerintah sekarang ataupun calon pemerintah berikutnya. Isu fragmentasi ekonomi akan menjadi tantangan yang harus dihadapi Pemerintah Indonesia sekarang dan juga ke depan.
Petri dan Plummer (2023) telah melakukan perhitungan terkait dengan dampak fragmentasi ekonomi terhadap ekonomi ASEAN. Mereka menemukan bahwa fragmentasi ekonomi akan mengurangi pendapatan negara ASEAN sebesar 5 persen dan juga ekspor sebesar 18 persen. Indonesia sebagai negara anggota ASEAN berarti akan mengalami dampak dari fenomena ini.
Tentu menjadi sangat krusial bagi pemerintahan ke depan untuk memastikan bahwa kita siap dengan kondisi ekonomi yang semakin terfragmentasi. Namun, bukan berarti Indonesia juga harus terjebak ke dalam blok-blok yang ada. Perhitungan yang dilakukan IMF (2023) justru menunjukkan, jika Indonesia tidak masuk ke dalam blok Amerika Serikat ataupun China, maka biaya ekonomi yang akan diterima Indonesia hampir tidak ada.
Indonesia bisa memainkan peranan penting untuk terus mendukung perdagangan internasional, berpartisipasi dalam rantai pasok global. Dari dalam negeri, perlu juga memberikan pesan yang tidak membingungkan (mixed message). Contohnya adalah kebijakan dalam negeri yang banyak melakukan proteksi, tetapi ketika di luar selalu meminta negara lain berinvestasi atau berdagang dengan Indonesia.
Namun, yang paling penting adalah melakukan mitigasi risiko terhadap kemungkinan yang ada. Ini mungkin menjadi tugas besar pemimpin berikutnya.
Jahen F Rezki, Wakil Kepala Bidang Penelitian di LPEM-FEB UI dan Dosen di FEB UI