Tantangan Divestasi BRI dan BNI
BRI dan BNI akan melakukan divestasi saham miliknya di BSI. Mengapa belum lama merger, kini hendak melepas saham?
Belakangan ini kian santer kabar PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) akan keluar dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI).
Artinya, BRI dan BNI akan melakukan divestasi (pelepasan kepemilikan) saham miliknya di BSI.
Mengapa belum lama merger, tiba-tiba kini hendak melepas kepemilikan saham?
BSI yang berdiri 1 Februari 2021 adalah hasil merger dari tiga bank syariah, yakni BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah. Komposisi pemegang saham BSI terdiri dari Bank Mandiri 50,83 persen, BNI 24,85 persen, dan BRI 17,25 persen. Pemegang saham lainnya di bawah 5 persen.
Total aset ketiga bank syariah pemerintah per Juni 2020 atau sebelum merger menjadi BSI adalah Rp 214,78 triliun, dengan perincian Bank Syariah Mandiri Rp 114,4 triliun, BNI Syariah Rp 50,78 triliun, dan BRI Syariah Rp 49,6 triliun.
Dalam paparan Bank Mandiri sebagai induk BSI, BSI mampu meningkatkan perolehan laba bersih 30,5 persen secara tahunan (yoy) dari Rp 2,13 triliun per Juni 2022 menjadi Rp 2,78 triliun pada Juni 2023. Pertumbuhan kredit naik 16 persen menjadi Rp 222 triliun.
Kredit konsumer menjadi salah satu kontributor terbesar yang mencapai Rp 114,1 triliun, disusul kredit korporasi Rp 51,9 triliun. Pendapatan naik 9,89 persen dari Rp 9,1 triliun menjadi Rp 10 triliun.
Tujuan divestasi adalah agar kelak lahir dua atau tiga bank syariah sebagai pesaing BSI yang kini menjadi pemimpin pasar dalam industri perbankan syariah nasional.
Rasio pembiayaan bermasalah (non performing finance/ NPF) sebesar 2,31 persen, lebih rendah dari periode sebelumnya, yakni Juni 2022 yang sebesar 2,78 persen. Return on equity (ROE) mencapai 17 persen turun dari 17,6 persen per Juni 2022.
Divestasi BRI dan BNI bisa diibaratkan ”kawin cerai” dalam perkawinan (merger) perbankan syariah. Tujuan divestasi adalah agar kelak lahir dua atau tiga bank syariah sebagai pesaing BSI yang kini menjadi pemimpin pasar dalam industri perbankan syariah nasional.
Sekilas, tujuan ini sangat kontradiktif dengan spirit pemerintah sebelumnya yang menginginkan BSI menjadi bank syariah terbesar di Indonesia. Bahkan, BSI ditargetkan bisa masuk sepuluh besar bank syariah dunia pada 2025. Saat ini, BSI berada di peringkat ke-14 dunia, dengan kapitalisasi pasar 4,69 miliar dollar AS per Juni 2022.
Posisi pertama diduduki Bank Al-Rajhi (Arab Saudi) dengan kapitalisasi pasar 87,94 miliar dollar AS, disusul Kuwait Finance (Kuwait) 26,14 miliar dollar AS, dan Bank Alinma (Saudi) 17,8 miliar dollar AS.
Pascadivestasi, Bank Mandiri akan tetap menjadi pemegang saham pengendali dengan menguasai 50,83 persen saham BSI. Pemerintah akan mengundang investor asing, terutama dari bank-bank dari Timur Tengah, untuk mengakuisisi 42,10 persen total saham yang dikuasai BRI dan BNI.
Sebagai konsekuensi dari divestasi ini, BRI dan BNI tidak akan lagi memiliki bank syariah. Padahal, selama ini, BRI Syariah dan BNI Syariah memberikan kontribusi pendapatan tinggi bagi induk masing-masing.
Sebaliknya, Bank Mandiri justru akan menjadi pemimpin pasar di perbankan konvensional dan syariah. Terlebih ketika Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) wajib merger dengan BSI.
Apalagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah yang mewajibkan UUS bank umum konvensional (BUK) melakukan pemisahan (spin off) ketika telah memiliki total aset 50 persen dari total aset BUK dan/atau minimal Rp 50 triliun paling lambat dua tahun mendatang (31 Desember 2026).
Saat yang tepat
Mengingat usia BSI yang belum genap tiga tahun—ibaratnya masih balita—muncul kesan divestasi tersebut terlalu cepat dilakukan dan merger tiga bank syariah pemerintah menjadi BSI sebelumnya juga kurang digodok dengan matang.
Kita berharap aksi merger bank ini tidak dilandasi muatan politis. Menurut Bank Indonesia, konsolidasi perbankan memiliki tiga tujuan. Pertama, meningkatkan economies of scale dan economies of scope. Artinya, penggabungan beberapa bank itu akan menghasilkan sinergi dalam bentuk efisiensi biaya operasional guna menghasilkan diversifikasi produk perbankan yang lebih baik.
Kedua, meningkatkan kemampuan permodalan guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Konsolidasi diharapkan bisa mendorong bank melakukan ekspansi kredit dengan lebih baik dan terjaga guna mendukung target pertumbuhan ekonomi. Ketiga, meningkatkan daya saing perbankan yang didukung bank-bank yang maju dan sehat dalam menghadapi persaingan global.
Kita berharap aksi merger bank ini tidak dilandasi muatan politis.
Dalam pandangan penulis, divestasi BRI dan BNI seyogianya dilakukan pada waktu yang tepat, yakni manakala BSI tercatat dalam lima emiten berkapitalisasi pasar tinggi (high market cap) selama tiga bulan berturut-turut sehingga harga sahamnya terus meroket.
Hingga penutupan perdagangan pada akhir Agustus 2023, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat delapan emiten dengan high market cap, yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Rp 1.119,74 triliun (10,93 persen dari total kapitalisasi pasar), BRI (BBRI) Rp 832,74 triliun (8,13 persen), PT Bayan Resources Tbk (BYAN) Rp 625,83 triliun (6,11 persen), Bank Mandiri (BMRI) Rp 556,71 triliun (5,43 persen).
Selain itu, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) Rp 369,50 triliun (3,61 persen), PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) Rp 325,78 triliun (3,18 persen), PT Astra International Tbk (ASII) Rp 261,12 triliun (2,55 persen), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) Rp 188,60 triliun (1,84 persen) (dataindonesia.id, 1/9/2023).
Divestasi itu sendiri juga harus lebih dulu dimuat dalam rencana bisnis bank (RBB) dan mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Divestasi BRI dan BNI hendaknya maksimal juga 50 persen. Dengan demikian, kedua bank pemerintah itu masih mempunyai banyak kesempatan untuk memajukan bank syariah melalui BSI.
Peluang bisnis bank syariah di Indonesia masih sangat besar. Setelah tiga dasawarsa, pangsa pasar pembiayaan perbankan syariah di Indonesia masih di bawah 10 persen dari total kredit perbankan konvensional. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dan mereka berpotensi menjadi basis nasabah bank syariah.
Baca juga : Program Ekonomi Syariah Didorong Masuk Dalam Penganggaran Pembangunan Daerah
Paul SutaryonoPengamat Perbankan