Mewujudkan Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
Pemerintah dan pemangku kepentingan harus dalam visi sama mewujudkan paradigma pembangunan ekonomi berkualitas, inklusif, dan berkesinambungan.
Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menjadikan Indonesia sebagai negara pertama ASEAN yang menerapkan konsep superfast public transportation. Dinamakan Whoosh (Waktu Hemat, Operasi Optimal, dan Sistem Hebat), kecepatannya disinyalir bisa menembus 350 kilometer per jam. Sebelumnya Indonesia, khususnya Jakarta, mempunyai MRT (mass rapid transit) dan LRT (light rail transit) sebagai solusi kemacetan Ibu Kota.
Mewujudkan pembangunan infrastruktur transportasi modern dan canggih membutuhkan keberanian dan langkah maju. Pembangunan aneka infrastruktur menjadi fokus terbesar Presiden Joko Widodo bersama Kabinet Kerja (periode pertama) dan Kabinet Indonesia Maju (periode kedua) untuk mewujudkan percepatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ekonomi. Tidaklah heran jika anggaran infrastruktur serta dana desa dan transfer daerah yang dialokasikan untuk ini bernilai superfantastis.
Berdasarkan data Kementerian keuangan, anggaran infrastruktur dalam APBN 2016-2022 berturut-turut sebesar Rp 269,1 triliun, Rp 381,2 triliun, Rp 394 triliun, Rp 394,1 triliun, Rp 281,1 triliun, Rp 417,4 triliun, dan Rp 365,8 triliun. Adapun anggaran dana desa dan transfer daerah periode 2016-2022 berturut-turut sebesar Rp 710,3 triliun, Rp 742 triliun, Rp 757,8 triliun, Rp 813 triliun, Rp 762,5 triliun, Rp 785,7 triliun, dan Rp 799,1 triliun. Pada 2023, anggaran infrastruktur serta dana desa dan transfer daerah dialokasikan sebesar Rp 399,6 triliun dan Rp 811,7 triliun.
Baca juga: Infrastruktur sebagai Fondasi dan Investasi Peradaban
Pembangunan infrastruktur bukanlah sesuatu yang dapat dikompromikan apalagi ditunda, tetapi harus segera diwujudnyatakan karena mampu memberikan efek pengganda ekonomi. Peningkatan efisiensi waktu dan tenaga pada pengangkutan barang/logistik dan orang menjadi cerminan keberpihakan pemerintah pada pembangunan ekonomi hingga wilayah terpencil dan terluar.
Kepercayaan pasar dan dunia usaha meningkat dengan sendirinya apabila kendala dalam ketersediaan infrastruktur pendukung bisa dihilangkan. Pengentasan rakyat dari kemiskinan serta perluasan lapangan kerja dan usaha menjadi kritikal target investasi.
Harus ada revolusi pola pikir dalam pembangunan infrastruktur. Pendekatan kalkulasi untung-rugi selama ini wajib berubah menjadi paradigma ekonomi berkesinambungan (sustainability economy). Dalam arti, mampu melihat secara visioner bahwa pembangunan infrastruktur saat ini bukanlah untuk keuntungan jangka pendek semata, melainkan investasi jangka panjang yang memberikan keuntungan masif berupa efisiensi waktu, energi, dan biaya. Bukan hanya kalkulasi balik modal atau break-even point (BEP) semata, bertumbuhnya potensi pusat ekonomi dan bisnis baru menjadi sasaran kritikal.
Pemerintah dan semua pemangku kepentingan wajib dalam koridor arah visi yang sama dalam mewujudkan paradigma baru pada pembangunan ekonomi berkualitas, inklusif, dan berkesinambungan. Berorientasi pada jangka panjang lintas generasi, bukan karena didorong ambisi dan agenda politik terselubung, menjadi vital dalam mengarungi era baru revolusi industri 4.0.
Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Presiden Jokowi optimistis mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Indonesia ditargetkan menjadi negara maju dengan peringkat ekonomi terbesar keempat atau kelima dunia. Dengan tingkat penerimaan produk domestik bruto sedikitnya 7 triliun dollar AS. Ini merupakan terobosan penting dan menjadi referensi bagi para pemimpin bangsa ke depan dalam melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan sebelumnya.
Tujuan utamanya adalah kesinambungan pembangunan. Belum terlihat adanya keberlanjutan dan sinkronisasi program kerja yang solid antar presiden terdahulu. Terlihat banyak pencapaian, tetapi tidak terjalin kesinambungan. Indonesia harus keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap). Peta jalan pembangunan harus relevan dengan tantangan zaman.
Belum terlihat adanya keberlanjutan dan sinkronisasi program kerja yang solid antarpresiden terdahulu. Terlihat banyak pencapaian, tetapi tidak terjalin kesinambungan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, dengan tingkat penerimaan PDB tahun 2022 atas dasar harga berlaku sebesar Rp 19.588,4 triliun atau 1,3 triliun dollar AS (kurs Rp 15.000 per dollar AS). Tingkat pertumbuhan PDB harus dipacu 8-9 persen per tahun agar mencapai lonjakan tujuh kali lipat dari posisi saat ini. Bukanlah pekerjaan ringan mengingat realisasi pertumbuhan PDB Indonesia selama pemerintahan Jokowi bahkan belum pernah mencapai level 6 persen.
RPJPN 2025-2045 menargetkan pertumbuhan PDB 6-7 persen. Untuk menjadi negara maju setidaknya membutuhkan tingkat pertumbuhan PDB 8-9 persen. Korea Selatan, Singapura, Hong Kong, dan Jepang menjadi bukti nyata keberhasilan bangkit menjadi negara industri maju karena memiliki tingkat pertumbuhan PDB rata-rata 8,2-8,9 persen per tahun. Negara tersebut membutuhkan waktu sedikitnya 20 tahun untuk keluar dari negara medioker (di tahun 1970-an) menjadi negara maju (di tahun 1990-an).
Perubahan paradigma
Beberapa perubahan paradigma perlu dilakukan dalam mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Pertama, paradigma ketahanan dan kedaulatan pangan dan energi. Energi dan pangan merupakan kritikal aspek dalam mencapai ketahanan nasional. Pembangunan ekonomi berkelanjutan harus lebih dulu memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan dan energi bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketergantungan tinggi pada ekspor berimplikasi serius terhadap pembangunan ekonomi. Swasembada atau berdikari menjadi harga mati dan harus direalisasikan.
Wajib diperhatikan pula dampak terhadap lingkungan hidup. Jangan sampai karena mengejar ketahanan pangan dan energi, lingkungan hidup diabaikan. Pembangunan lumbung pangan (food estate) yang kurang terencana dengan baik menjadi bukti nyata kebijakan yang dilakukan secara serampangan dan niretika. Penggundulan hutan rentan menyebabkan erosi dan bencana lingkungan.
Ketergantungan tinggi terhadap energi fosil tecermin dalam Neraca Perdagangan Indonesia (NPI). Berdasarkan data BPS, secara kumulatif Januari-Agustus 2023, NPI mengalami surplus 24,33 miliar dollar AS, menurun dibandingkan periode yang sama tahun 2022 mencatat surplus 34,87 miliar dollar AS.
NPI surplus, tetapi neraca migas masih defisit 12,04 miliar dollar AS dan defisit 16,78 miliar dollar AS (Januari-Agustus 2022). Faktor lonjakan konsumsi dan permintaan bahan bakar minyak bersubsidi di tengah meningkatnya pertumbuhan ekonomi serta naiknya harga minyak mentah dunia ditambah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat defisit migas meningkat dari defisit 6 miliar dollar AS (2020) menjadi minus 24,39 miliar dollar AS (2022).
Pembangunan ekonomi berkelanjutan harus lebih dulu memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan dan energi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, memacu pertumbuhan dan pemerataan investasi dan industrialisasi. Penerimaan investasi sangat esensial dalam meningkatkan pertumbuhan industri, demikian sebaliknya. Selanjutnya, pertumbuhan industri disinyalir memacu peningkatan kualitas pendidikan terutama perguruan tinggi.
Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat merupakan contoh nyata negara yang maju industrinya sejalan dengan kualitas tinggi sumber daya manusianya. Tanpa pertumbuhan sektor industri sangat sulit menjadi negara maju. Saatnya mengakhiri pola pikir ekonomi kolonialisme (gali, ambil, dan jual). Sektor manufaktur bernilai tambah tinggi harus ditingkatkan.
Target penerimaan investasi pada 2023 sebesar Rp 1.400 triliun atau ditingkatkan 16,7 persen dari target investasi tahun 2022 (Rp 1.200 triliun). Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi penerimaan investasi periode Januari-Juni 2023 sebesar Rp 678,7 triliun atau 48,5 persen dari target, meningkat 16,1 persen year on year.
Penerimaan investasi ini terdiri dari penanaman modal asing (Rp 363,3 triliun) dan penanaman modal dalam negeri (Rp 315,4 triliun) dengan serapan tenaga kerja 849.181 orang, meningkat dari 639.547 orang (Januari-Juni 2022). Realisasi tahun 2022 sebesar Rp 1.207 triliun atau 100,5 persen dari target dengan serapan tenaga kerja 1,3 juta orang, meningkat dari 1,2 juta orang (2022). Pemerataan penerimaan investasi harus terus didorong hingga wilayah luar Pulau Jawa.
Ketiga, transformasi struktural ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia berbasis penguasaan teknologi, riset, dan inovasi. Kualitas program pendidikan vokasi harus lebih ditingkatkan. Hingga tahun 2035, Indonesia akan menikmati bonus demografi di mana jumlah penduduk usia produktif akan lebih besar dibandingkan usia nonproduktif (anak-anak dan lansia). Ini dapat memberikan implikasi positif apabila kualitas sumber daya manusia unggul dan kompetitif. Sebaliknya, bisa pula berujung malapetaka apabila kualitas SDM rendah.
Konsep triple helix antara pemerintah, akademia/peneliti, dan dunia industri harus solid dan saling mendukung. Dunia telah memasuki revolusi industri 4.0 yang merupakan perpaduan teknologi otomatisasi, digital, dan siber. Peningkatan kualitas pendidikan menjadi vital, kurikulum pendidikan nasional harus relevan dengan revolusi industri.
Baca juga: Tantangan Investasi dan Urgensi Pertumbuhan Industri
Terakhir, terkait aspek politik, regulasi, dan birokratisasi. Pengendalian dan pengawasan pembangunan diperlukan karena tantangan semakin kompleks dan lintas sektor. Kementerian dan lembaga harus senantiasa menjalin sinergi kuat. Tata kelola pemerintahan dan pengambilan kebijakan harus transparan dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ironisnya, nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 malah merosot ke angka 34 dari skor 38 (2021). Menempati ranking ke-110 dari 180 negara, IPK Indonesia kalah dibandingkan Singapura (83), Malaysia (47), Vietnam (42), bahkan Timor Leste (42).
Hampir mustahil mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 apabila praktik koruptif dan pungutan liar masih merajalela. Memiliki visi dan peta jalan hebat sekalipun serta didukung anggaran besar akan percuma apabila terus-menerus dirusak perilaku korupsi. Level country risk tinggi tentu dihindari investor dan menjadi alamat bahaya dalam memacu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Santo Rizal Samuelson, Analis Keuangan dan Ekonomi di PT Graha Prima Energy