Kerentanan pangan di pulau-pulau kecil adalah kenyataan. Di sisi lain, keragaman pangan lokal terus berkurang.
Oleh
Kompas
·2 menit baca
Isu stok pangan menyedot perhatian global, di antaranya karena perang dan dampak iklim. Di Tanah Air, ragam pangan lokal berkurang tanpa perang.
Liputan lapangan dan analisis data tim harian Kompas yang dirilis berseri mulai Senin, 16 Oktober 2023, menyoroti kerentanan stok pangan seiring berkurangnya keberagaman pangan lokal. Liputan di tiga kepulauan, yakni Nusa Tenggara Timur, Mentawai (Sumatera Barat), dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara), mengonfirmasi itu. Warga pulau berada dalam kerentanan pangan dan membayar lebih mahal untuk mengakses bahan pangan utama: beras.
Keberagaman pangan lokal di tiga kepulauan itu dalam 30 tahun terakhir terus berkurang hingga sekitar 7 persen. Pangan produk luar pulau, juga impor, menggantikannya.
Fenomena itu terkait introduksi beras sejak era kolonial dilanjutkan Orde Baru, yang menciptakan ketergantungan massal. Beras menjadi makanan ”kelas satu” menggantikan ragam pangan lokal, seperti jagung, sorgum, sagu, kacang-kacangan, atau umbi-umbian semacam singkong, ubi, dan talas atau betatas. Di antara butiran beras, ada sisi gengsi.
Kehadiran beras selama bergenerasi di dapur-dapur warga kepulauan menggeser pola konsumsi dari pangan lokal. Bahkan, konsumsi sumber pangan berbasis gandum terus meroket. Masalahnya, semua terigu merupakan barang impor!
Di tengah pergeseran pola konsumsi, produktivitas beras nasional terus merosot. Data Badan Pusat Statistik, produksi beras nasional 10 tahun terakhir turun. Pada 2013, produksi gabah kering giling (GKG) 71,3 juta ton, sedangkan pada 2022 menjadi 54,7 juta ton GKG (Kompas, 16 Oktober 2023).
Pada 2023, produksi beras diprediksi turun 650.000 ton dari tahun 2022, yakni menjadi sebesar 31,54 juta ton. Rencana impor pun menguat.
Memang, produksi beras di sejumlah sentra padi masih surplus, seperti di Provinsi Sulawesi Tenggara, dua tahun terakhir. Namun, pulau-pulau kecil di wilayah itu defisit beras. Bahkan, seperti Wakatobi, sama sekali tidak menghasilkan beras, sedangkan konsumsinya terus meningkat berlipat.
Di daerah lain seperti Mentawai, produksi beras juga jauh lebih kecil dibandingkan dengan permintaan. Akibatnya, sebagaimana warga di pulau-pulau kecil lain, beras didatangkan dari daerah penghasil yang berisiko pada harga beli konsumen. Dampak cuaca juga memicu krisis pangan di sejumlah pulau.
Sinyal kerentanan pangan sebenarnya disadari. Namun, swasembada pangan jauh dari nyata. Inisiatif proyek Lumbung Pangan di sejumlah daerah tak berkembang, gagal. Keberadaannya telanjur meresahkan warga.
Di tengah suasana kampanye pemilihan presiden dan anggota legislatif, yang nantinya diikuti pilkada serentak, isu pangan masih dan akan terus relevan. Sampai kapan kita akan mengimpor beras? Sampai inovasi teknologi mampu menggenjot produksi pangan, terutama padi. Sebelum itu terwujud, lahan-lahan produktif dan keragaman pangan lokal adalah sumber daya yang patut kita pertahankan keberlanjutannya.