Setelah Pemilu Medsos pada 2019, pemilu kali ini disebut sebagai Pemilu AI. Meski memberikan banyak manfaat, keberadaan kecerdasan buatan (AI) dalam politik juga menimbulkan tantangan besar yang harus diwaspadai.
Oleh
YOHANES WIDODO
·4 menit baca
Di era modern yang diwarnai dengan perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah memasuki panggung politik dan pemilihan umum. Fenomena ini menjadi semakin jelas saat Pemilu 2024 disebut sebagai ”Pemilu AI” setelah ”Pemilu Medsos” pada 2019. Perkembangan ini menciptakan peluang besar dan tantangan serius dalam dunia politik.
Sejumlah negara yang melek AI telah memanfaatkan teknologi AI untuk meningkatkan partisipasi warga dan memperkuat proses demokratisasi. Pada Pemilu 2019, India menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk memverifikasi identitas pemilih, mengamankan tempat pemungutan suara, serta meningkatkan keamanan pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Perancis mengambil langkah maju dengan menggunakan platform digital CitizenLab pada 2021 untuk mengumpulkan pendapat warga tentang berbagai isu. Mereka menggunakan AI untuk menganalisis umpan balik warga dan memberikan laporan kepada pembuat kebijakan.
Brasil, pada 2018, memanfaatkan sistem kecerdasan buatan Rosie untuk mengawasi pengeluaran anggota Kongres, mendeteksi transaksi mencurigakan, dan menyampaikannya kepada publik. Sementara Estonia menggunakan sistem AI bernama Kratt pada 2017 untuk mengotomatisasi layanan publik, seperti pengumpulan pajak dan perawatan kesehatan, yang meningkatkan efisiensi dan akurasi.
Tahun 2020, Selandia Baru menghadirkan Sam, sebuah sistem kecerdasan buatan yang memberikan nasihat politik kepada pemilih. Sam memiliki kemampuan untuk memahami pertanyaan dan memberikan informasi akurat tentang berbagai masalah, meningkatkan pengetahuan politik pemilih.
Inisiatif penggunaan AI terkait pemilu di Indonesia juga mulai muncul, misalnya platform Pemilu.ai yang berperan sebagai konsultan politik yang membantu para caleg memahami lebih dalam terkait aspirasi masyarakat di daerah pemilihan. Kemudian ada Dirgayuza Setiawan, yang dengan bantuan AI menulis buku 100 Ide untuk Presiden dan DPR Baru, Edisi Pemilu 2024(Kompas, 5/9/2023). Dalam prosesnya, ia meminta AI untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang telah dilaksanakan dengan baik di negara lain. Dokumen resmi dan penelitian ini bisa dipelajari oleh anggota DPR dan calon presiden.
Ancaman versus optimisme
Meskipun AI memberikan banyak manfaat, ada pula ancaman serius yang harus dihadapi dalam politik terutama penggunaan AI dalam iklan digital, media sosial, bot, dan troll. Ini mencakup pengenalan wajah dan iklan politik micro-target.
Keberadaan teknologi ChatGPT berbasis AI generatif memungkinkan siapa saja untuk menciptakan dan menyebarkan konten dengan cepat. Hal ini dapat menyebabkan penyebaran disinformasi yang merugikan integritas pemilu. Terkait hal ini, CEO OpenAI Sam Altman bahkan telah menyuarakan keprihatinannya tentang perlunya regulasi agar pemilihan umum tetap dapat diandalkan dan dipercayai (Reuters, 17/5/2023).
Selain chat-bot, sekarang siapa pun dapat membuat gambar fotorealistik dan konten disinformasi melalui AI generatif. Ini membawa disinformasi ke tingkat yang lebih tinggi. Beberapa waktu lalu beredar meme yang menampilkan Paus Fransiskus mengenakan jaket puffer yang dijuluki Balenciaga Pope. Lalu ada meme mantan Presiden Donald Trump diborgol oleh polisi di New York. Meme buatan AI ini dipercaya banyak orang sebagai foto asli, sementara orang lain menganggapnya sebagai meme lucu.
Keberadaan teknologi ChatGPT berbasis AI generatif memungkinkan siapa saja untuk menciptakan dan menyebarkan konten dengan cepat.
AI juga dapat memproduksi gambar, audio, dan video palsu, termasuk video deepfake yang sangat meyakinkan. Semua ini memunculkan pertanyaan tentang apakah AI dapat membuat pemilu lebih demokratis atau justru sebaliknya.
Penggunaan deepfake ini menjadi perhatian serius Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artificial dan Keamanan Siber di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anto Satriyo Nugroho. Ia meminta masyarakat waspada, pasalnya, sudah ada contoh penggunaan kecerdasan buatan untuk meniru suara tokoh politik tertentu dan menjadi sumber hoaks di Pemilu 2024 (CNN Indonesia, 9/8/2023).
Namun, ada juga alasan untuk optimisme tentang peran AI dalam politik. Pertama, AI dapat meningkatkan demokrasi dengan meningkatkan efisiensi dan akurasi proses pemilu. Ini termasuk pendaftaran, identifikasi pemilih, verifikasi, dan penghitungan suara yang lebih tepat.
Kedua, AI dapat mencegah kecurangan, serangan siber, dan penyebaran informasi yang salah. Ini dapat membantu memelihara integritas pemilu. Ketiga, AI dapat memberikan dorongan kepada partisipasi politik dan keterlibatan dengan memberikan pengingat, informasi, dan insentif yang dipersonalisasi. Ini membantu pemilih, kandidat, dan partai berbicara dan berdebat.
Namun, keberadaan AI dalam politik juga menimbulkan tantangan besar. Pertama, teknologi digital sering digunakan untuk memanipulasi opini publik dan memengaruhi pilihan individu. Banyak bukti menunjukkan penyebaran disinformasi dan hasutan kebencian dengan mengelabui algoritma platform media sosial.
Kedua, teknologi deepfake yang dapat memproduksi informasi palsu yang merusak reputasi kandidat atau partai politik lain. Penggunaan deepfake memiliki problem etis sekaligus mengancam integritas pemilihan umum. Terkait hal ini, Anto Satriyo Nugroho meminta masyarakat waspada. Pasalnya, sudah ada contoh penggunaan kecerdasan buatan untuk meniru suara tokoh politik tertentu dan menjadi sumber hoaks di Pemilu 2024.
AI dapat mengancam keamanan pemilihan umum dengan meretas sistem pemilihan, menggugurkan data, atau memengaruhi hasil pemungutan suara.
Ketiga, AI digunakan untuk strategi periklanan yang dipersonalisasi melalui micro-targeting seperti terjadi pada kasus Cambridge Analytica pada Pemilu Presiden AS 2016. Mereka membuat profil psikologis pemilih dengan data dari Facebook dan menargetkan iklan yang sesuai dengan karakteristik kepribadian. Keempat, AI dapat mengancam keamanan pemilihan umum dengan meretas sistem pemilihan, menggugurkan data, atau memengaruhi hasil pemungutan suara.
AI untuk demokrasi
Pendiri dan CEO Avantgarde Analytics, Vyacheslav W Polonski, mengatakan bahwa meskipun AI dapat digunakan untuk tujuan negatif, dasar teknologinya pada dasarnya tidak berbahaya. Menurutnya, algoritma yang digunakan untuk menyesatkan juga dapat digunakan untuk mendukung demokrasi.
AI dapat memainkan peran penting dalam pemilu dengan mempengaruhi pengumpulan informasi dan pembentukan opini. Dalam hal ini, AI harus diawasi dan diatur untuk memastikan bahwa itu digunakan dengan cara yang bertanggung jawab dan menguntungkan masyarakat.
Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengendalikan penggunaan AI dalam politik. Pertama, deteksi dan penilaian bias media dapat menjadi dasar untuk counter informasi. Operator platform media sosial dapat menggunakan AI untuk mendeteksi bias media dengan cepat. Kedua, moderasi konten pemilu menggunakan AI untuk membersihkan misinformasi, ujaran kebencian, dan deepfake dapat membantu mempertahankan integritas pemilu.
Ketiga, regulasi yang tepat harus diterapkan untuk membatasi propaganda komputasi dan melindungi data pribadi. Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria menyinggung hal ini pada pertemuan Internet Governance Forum (IGF) di Kyoto (9/10/2023). Menurut Nezar, adanya regulasi dapat mengakomodasi perkembangan dan menangani potensi risiko yang ditimbulkan oleh AI. Selain regulasi dari pemerintah, dunia politik juga harus berkomitmen untuk menggunakan AI dengan bijaksana dan etis demi menjaga demokrasi.
Kecerdasan buatan merupakan bagian tak terpisahkan dari politik. Kini tanggung jawab kita memastikan bahwa kita menggunakannya untuk kemaslahatan warga dan menjaga integritas demokrasi di Indonesia.