Identitas Soviet yang roboh telah melahirkan identitas Rusia yang luka, serta identitas Ukraina yang memimpikan diri sebagai bagian dari Eropa.
Oleh
JEAN COUTEAU
·2 menit baca
Beberapa waktu yang lalu, ketika membaca informasi berbahasa Perancis pada pagi hari, saya menemukan berita yang bagi saya menarik: Amin Maalouf, warga Perancis kelahiran Lebanon, telah dipilih menjadi sekretaris ”seumur hidup” dari Académie Francaise (Akademi Perancis), yaitu lembagai budaya tertinggi dunia Frankofon atau penutur berbahasa Perancis.
Amin Maalouf adalah penulis Les Identités Meurtrières (Identitas-Identitas yang Membunuh) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul In the Name of Identity. Dalam buku keluaran 1998 itu, dia mencatat, ”Bila kita tidak diajarkan untuk menerima konsep identitas berlapis nan jamak…. akan muncul saat di mana harus memilih antara negasi diri sendiri dan negasi orang lain, dan kita, manusia, saat itu, akan melahirkan masyarakat-masyarakat yang kian gila dan haus-darah.”
Peringatan Amin Maalouf di atas ditulis pada tahun 1998 atau 25 tahun yang lalu. Ketika itu, semangat zaman masih positif: Uni Soviet telah roboh dengan sendirinya tanpa pertumpahan darah. Di Timur Tengah dan berbagai tempat lainnya, sistem tawar-menawar internasional yang ditopengi PBB masih berfungsi dan mampu meredakan konflik-konflik.
Kini bagaimana? Peringatan Amin Maalouf tidak didengarkan. Identitas Soviet yang roboh telah melahirkan identitas Rusia yang luka, serta identitas Ukraina yang memimpikan diri sebagai bagian dari Eropa.
Kini bagaimana? Peringatan Amin Maalouf tidak didengarkan. Identitas Soviet yang roboh telah melahirkan identitas Rusia yang luka, serta identitas Ukraina yang memimpikan diri sebagai bagian dari Eropa. Identitas nasional Israel dan Palestina telah menjelma menjadi identitas dan perang identitas antara agama Ibrani dan agama Islam. Seolah-oleh agama sudah menjadi gila dan haus darah.
Di Eropa Barat sendiri, pergeseran demografis dengan masuknya imigran berjumlah jutaan orang dari Selatan, tengah memunculkan neo-nasionalisme identiter bernuansa anti imigran, dan kerap anti-Islam. Dan daftar bisa diteruskan: Kosovo, Etiopia, Kongo, Yaman dll. Singkatnya, alih-alih membantu kita mengangkat ke depan unsur identiter kemanusiaan berkesamaan buat semua, globalisasi telah dan tengah memunculkan kebalikannya. Kita kini kian menjadi bak binatang liar yang haus darah.
Apakah gelombang identiter ini tak terelakkan, sebagaimana diramalkan Huntington dan dikhawatirkan Maalouf? Apakah evolusi ke arah ”gila dan haus darah” itu memang merupakans suatu keniscayaan historis.
Terpilihnya Maalouf tadi adalah salah satu pertanda kekuatan humanis masih hadir. Tetapi, sebaliknya, pada tataran makro terlihat makin banyak tanda evolusi ke arah penguatan ”identitas-identitas yang membunuh”.
Indonesia bisa: negeri ini adalah salah satu tempat yang sedikit di dunia di mana penyakit identitas masih minor pengaruhnya.
PBB lebih lemah daripada kapan pun sejak usai Perang Dunia II. Perubahan keseimbangan ekonomi antara Amerika dan Tiongkok, serta peningkatan surplus demografis Afrika, mengancam kestabilan makro dunia.
Bagaimana semua dalam 20 tahun lagi ketika suhu udara akan 2-3 derajat lebih panas daripada sekarang—kemungkinan amat besar—ketika gletser akan kian mencair dan menaikkan permukaan laut lebih dari 2 meter, sembari mengguncangkan alur sungai besar…. Ya! Bagaimana mengelola ketegangan yang bakal kian memuncak ini?
Harus menyadari kompleksitas, bersikap rasional, dan menolak dengan jelas ”kegilaan yang haus darah”. Indonesia bisa: negeri ini adalah salah satu tempat yang sedikit di dunia di mana penyakit identitas masih minor pengaruhnya. Itulah pusaka negeri ini yang sebenarnya. Semogalah dijaga demi senyum masa depan kita semua.