Pemilu 2024 tinggal empat bulan lagi. Suasana di masyarakat saat ini relatif masih kondusif. Namun, tetap saja ada potensi kerawanan dalam penyelenggaraan pemilu.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Menurut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), politisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) bisa terjadi dalam masa jelang dan pelaksanaan Pemilu 2024, termasuk melalui media sosial. Bahkan, politisasi SARA itu bisa berujung terjadinya kekerasan dalam masyarakat. Dan, media sosial menjadi modus yang paling banyak digunakan aktor tertentu untuk melakukan kampanye atau provokasi berbau SARA.
Untuk mencegah politisasi SARA dalam pemilu, Bawaslu pun bekerja sama dengan berbagai kalangan, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), perusahaan penyedia layanan media sosial (medsos), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Dewan Pers. Tak ketinggalan penegak hukum pun dilibatkan.
Dengan menggandeng berbagai pihak, Bawaslu mengembangkan channel pelaporan cepat. Diingatkan pula, pelaku provokasi bisa dilacak di semua platform medsos. Pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, kunci utama untuk memitigasi kerawanan pemilu adalah peran masyarakat agar menyebarkan informasi yang benar (Kompas, 11/10/2023).
Tentu kita tidak mengkhawatirkan kemampuan Bawaslu dan lembaga lain yang terlibat untuk memitigasi kerawanan pemilu, termasuk dalam melacak pelaku provokasi dan penyebaran berita bohong (hoaks). Dalam dua kali pemilu terakhir, Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, serta Pilkada DKI Jakarta 2017, yang oleh berbagai kalangan dinilai diwarnai politisasi SARA, pelakunya pun bisa dideteksi dan ditangkal.
Bahkan, kejadian penyebaran hoaks, seperti yang dilakukan aktivis Ratna Sarumpaet tahun 2018, bisa diungkapkan. Pelakunya pun diadili dan dihukum. Namun, kejadian ini dipastikan tak membuat jera pelaku lain untuk tetap memolitisasi SARA demi kemenangan partai politik, calon presiden/wakil presiden, atau peserta pemilu yang didukungnya.
Kata kunci untuk menekan kerawanan dalam pemilu adalah menumbuhkan kesadaran di masyarakat untuk dewasa dalam berpolitik. Secara terukur menunjukkan dukungannya kepada peserta pemilu dan tidak semakin mempertajam perbedaan dalam masyarakat. Pemilu adalah konflik yang diatur dalam konstitusi serta dilegalisasi dengan berbagai aturan. Namun, bukan berarti perilaku curang, penyebaran hoaks, dan pelanggaran lain bisa dibenarkan. Peserta pemilu dan pendukungnya yang ”menghalalkan” berbagai cara untuk meraih kemenangan pasti akan diketahui dan diberikan sanksi.
Pemilu adalah pesta demokrasi. Dan, seperti dalam berbagai pesta lainnya, pastilah ada peserta yang terlalu bergembira sehingga perilakunya ”kelewatan”. Peserta pesta lainnya haruslah tetap sadar untuk mengingatkan. Penyelenggara juga harus waspada dan tegas menerapkan aturan sehingga pesta berlangsung tertib dan semua pihak bergembira. Pemilu itu mengandung kerawanan. Dengan kesadaran bersama, pesta itu bisa berlangsung meriah dan baik untuk semuanya.