Kekuasaan seharusnya menjadi urusan publik. Ketika terjadi privatisasi kekuasaan, obyektivitas atau keadilan pun tergerus. Kini berakhirlah narasi orang harus berdarah-darah berjuang sebelum menjadi pemimpin nasional.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·3 menit baca
Setiap orang wajib untuk memiliki tiket eksistensial, tiket sosial, dan politik untuk bisa menjadi pemimpin nasional serta penyelenggara negara.
Namun, tidak sedikit orang yang menempuh jalan instan. Mereka seolah diayun oleh keajaiban: langsung melesat menduduki peran sosial dan tinggi dalam negara.
Keajaiban yang mengayun tersebut berupa dukungan kekuasaan. Dukungan itu bisa dari partai politik, oligarki, atau penguasa yang otoritatif dan sangat determinan.
Tentu hak istimewa tersebut tidak bisa didapatkan oleh semua orang. Hanya mereka yang memiliki ”darah biru” politik atau ”pewaris takhta”-lah yang bisa menikmati laju jalan tol tersebut untuk menjadi pemimpin nasional.
Meskipun hal itu oleh sebagian orang yang dekat dengan kekuasaan dianggap wajar, di dalamnya tetap ada nepotisme. Kadarnya bisa ringan, bisa berat.
Para pemimpin nasional, baik pada era Orde Lama maupun era Orde Baru, selalu memiliki investasi nilai yang didapat dari proses berjuang.
Investasi nilai
Para pemimpin nasional, baik pada era Orde Lama maupun era Orde Baru, selalu memiliki investasi nilai yang didapat dari proses berjuang.
Artinya, sebelum menjadi pemimpin nasional, mereka lebih dahulu membangun eksistensinya, baik secara sosial, politik, budaya, maupun keilmuan. Jadi, tidak bawang kothong (kosong, tak punya nilai eksistensial).
Mereka berhasil menjawab berbagai tantangan zaman yang dihadapi, dengan berbagai kreativitas yang bermakna dan bernilai. Publik pun mengakui eksistensi mereka.
Begitu pula halnya dengan dunia kekuasaan politik. Pengakuan itu menjadikan mereka direkrut oleh kekuasaan untuk menjalankan peran sosial, politik dan budaya, berdasarkan kapasitas kemampuan.
Selain berintegritas dan berkomitmen, mereka adalah orang-orang yang ahli (expert) di bidangnya.
Dengan demikian, ketika mereka memegang pos-pos penting dalam penyelenggaraan negara, mereka benar-benar kapabel dan mrantasi (mampu untuk menyelesaikan secara tuntas pekerjaan atau tanggung jawab yang diembannya).
Dedikasi dan prestasi menjadikan mereka mempunyai martabat di mata masyarakat. Publik tidak hanya kenal, tetapi juga sangat hafal dengan nama dan tugas mereka. Juga jasa-jasa mereka secara teknokratik.
Pada era Reformasi, saringan pemilihan pemimpin nasional sedikit longgar. Kecuali tokoh-tokoh penting yang memiliki rekam jejak politik, militer, sosial, budaya dan ekonomi, banyak pemimpin nasional yang sebelumnya tidak dikenal publik. Wajar jika publik ”menyangsikan” kapasitas kemampuan mereka.
Tidak sedikit orang-orang yang menjadi pejabat tinggi karena dicangking (dibawa) penguasa atau lingkaran kekuasaan, yang merupakan gabungan dari politisi, militer, dan pengusaha. Prinsip yang dipakai: yang penting jalan, soal kemampuan bisa nomor dua karena ada tim ahli.
Berakhirnya narasi perjuangan
Munculnya orang-orang yang kurang memiliki rekam jejak secara sosial, politik, dan budaya telah meruntuhkan tradisi perekrutan atas tokoh berbasis investasi nilai.
Berakhirlah narasi bahwa orang harus berdarah-darah berjuang sebelum bisa menjadi pemimpin nasional. Para pejuang sosial yang gigih membangun dan berinvestasi nilai sosial, politik, dan budaya pun dipaksa frustrasi.
Kekuasaan tidak lagi menghitung mereka. Kekuasaan menjumput (mengambil) orang-orang untuk direkrut berdasarkan pertimbangan kedekatan (menjadi in-group) dan ”selera” (baca: sesuai dengan keinginan kekuasaan).
Munculnya orang-orang yang kurang memiliki rekam jejak secara sosial, politik, dan budaya telah meruntuhkan tradisi perekrutan atas tokoh berbasis investasi nilai.
Nepotisme politik merupakan hasil kebudayaan yang buruk karena ia mendistorsi kekuasaan menjadi urusan privat orang per orang.
Padahal, kekuasaan seharusnya menjadi urusan publik. Ketika terjadi privatisasi kekuasaan, obyektivitas atau keadilan pun tergerus.
”Negara kekerabatan”
Orang-orang yang memiliki integritas, komitmen, dedikasi, kemampuan, dan investasi sosial-politik pun menjadi termarjinalkan. Negara terancam tereduksi menjadi ”negara kekeluargaan” atau ”negara kekerabatan”. Di sini, dinasti politik akan semakin menguat. Nepotisme semakin dominan.
Kepemimpinan nasional harus diletakkan dalam konteks kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan individu-individu dan kelompok. Pola-pola perekrutan yang eksklusif harus diakhiri karena bertentangan dengan asas keadilan.
Setiap warga negara, dengan memenuhi syarat mutu kepribadian, komitmen, dan kemampuan teknokratik berhak untuk menjadi pemimpin nasional dan penyelenggara negara. Tanpa harus dekat atau menjadi bagian yang melekat dengan kekuasaan dan penguasa.
Menjadikan orang-orang yang tanpa jejak rekam reputasi dan prestasi sebagai pemimpin nasional atau penyelenggara negara merupakan blunder politik. Penyelenggaraan negara berpotensi untuk mawut (tidak karuan) karena ditangani oleh orang-orang yang bukan ahli.
Kecenderungan nepotis bisa ditekan dan diatasi oleh elite kekuasaan dengan mengutamakan obyektivitas dan transparansi.