Sebagai orang Jawa yang lahir dan menua di lingkungan pusat kebudayaan Jawa, saya merasa kurang nyaman membaca judul ”Kuasa Memanggul Lupa”. Kata-kata tersebut merupakan terjemahan dari kuoso nggendong lali (Kompas, 6/10/2023).
Sebetulnya kata nggendong berarti membawa sesuatu dengan meletakkan di punggung, sedangkan memanggul bermakna membawa dengan meletakkan di pundak.
Masih banyak kosakata Jawa yang sulit diterjemahkan. Misalnya kata nyangking, nyengkiwing, ngindit, ngempit, dan nyunggi. Masing-masing menunjukkan cara berbeda dalam membawa sesuatu.
Oleh sebab itu, kata-kata dari bahasa daerah yang sukar dialihbahasakan seyogianya ditulis seperti aslinya dan cukup diberi penjelasan. Apabila dipaksakan dan tidak pas, penutur aslinya terganggu.
Kemudian, ajaran yang lebih sahih dari kuasa memanggul lupa adalah melik nggendong lali. Melik berarti keinginan yang berlebih untuk memiliki, didorong nafsu tak pernah puas, sehingga lali (lupa) akan aturan atau hukum yang harus ditaati.
Kata-kata dari bahasa daerah yang sukar dialihbahasakan seyogianya ditulis seperti aslinya dan cukup diberi penjelasan.
Di opini tersebut juga tertulis: ”Pengambilan keputusan tidaklah atas dasar sabda pandita ratu (ucapan penguasa adalah hukum), tertutup, terbatas, dan atas dasar bisikan-bisikan terhadap penguasa seperti pada konsepsi court-politics dalam sistem di Eropa sebelum masa pencerahan. Semua kebijakan harus sesuai aturan hukum yang ada (pada konsepsi Indonesia baru/modern)”.
Padahal, yang dimaksud dengan sabda pandita ratu, kalimat lengkapnya adalah sabda pandita ratu tan kena wola-wali, bisa dilacak dari kata-katanya. Sabda berarti ucapan, pandita merupakan simbolisasi dari sikap dan sifat jujur, ratu adalah raja lambang dan kekuasaan, tan kena wola-wali berarti tak bisa diubah-ubah.
Artinya, ucapan seorang pemimpin harus dilandasi kejujuran dan bisa dipegang kata-katanya. Sekali diucapkan pantang dicabut dan harus dilaksanakan.
A Agoes Soediamhadi, Langenarjan, Njeron Beteng Kraton Yogyakarta