“Quo Vadis” Regulasi Ekonomi Digital Indonesia
Agar ekonomi digital Indonesia tetap adil, demokratis, dan inklusif, pemerintah perlu segera mengundangkan regulasi ekonomi digital yang holistik seperti yang dilakukan Eropa dengan DMA. Tentu disesuaikan kondisi kita.
Di bidang hukum dikenal adagium het recht hink achter de feiten aan, yang artinya hukum selalu tertinggal dari peristiwa yang diaturnya.
Adagium hukum ini dirasa sangat relevan jika dikaitkan dengan isu regulasi ekonomi digital yang belakangan ini mendapat banyak perhatian karena polemik soal social commerce dan dampak negatifnya terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Pemerintah bergegas merespons masalah ini dengan mengundangkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik pada 26 September 2023.
Peraturan yang merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tersebut berisi empat perubahan substantif. Pertama, platform e-commerce dan social media harus dipisah. Kedua, platform e-commerce dilarang bertindak sebagai produsen.
Ketiga, produk yang dijual lintas negara melalui e-commerce wajib dijual dengan harga minimum 100 dollar AS guna mencegah predatory pricing. Keempat, hanya produk-produk yang masuk dalam positive list yang boleh dijual lintas negara melalui platform e-commerce.
Praktik monopoli terjadi tidak hanya di platform e-commerce, tetapi juga di online search, media sosial, ride-hailing, dan juga app store.
Solusi jangka pendek
Respons sigap pemerintah patut diapresiasi karena telah mengisi kekosongan hukum di ekonomi digital kita yang banyak merugikan masyarakat.
Meski demikian, apakah langkah ini telah benar-benar menyelesaikan masalah secara tuntas?
Tepat sehari setelah Permendag Nomor 31 Tahun 2023 diundangkan, Komisi Perdagangan Federal AS (US FTC) menggugat raksasa e-commerce Amazon karena Amazon dianggap telah menggunakan kekuatan monopolinya secara ilegal untuk menyingkirkan pesaing dan mengeksploitasi pedagang di platformnya (New York Times, 27/9/2023).
Berdasarkan data dari Bank Dunia, kasus ini hanyalah satu dari 100 kasus di seluruh dunia yang melibatkan berbagai macam praktik monopoli oleh platform digital sejak tahun 2010 (Bank Dunia, 2021).
Praktik monopoli terjadi tidak hanya di platform e-commerce, tetapi juga di online search, media sosial, ride-hailing, dan juga app store.
Ada tiga peringatan penting yang perlu kita cermati dari data ini. Pertama, hanya masalah waktu sebelum terjadi praktik monopoli oleh platform lain (baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri) melalui modus operandi selain predatory pricing.
Kedua, bukan hanya sektor e-commerce yang akan terdampak, melainkan semua sektor di ekonomi digital yang dikendalikan oleh platform.
Ketiga, kerapnya praktik monopoli yang dilakukan platform di sejumlah negara menunjukkan bahwa platform digital memiliki insentif yang sangat kuat untuk melakukan praktik monopoli.
Hal ini terjadi karena di ekonomi digital terdapat hambatan masuk yang tinggi, network effects yang kuat, dan fenomena tipping yang mengubah dinamika persaingan menjadi winner takes all (Stigler Committee’s Report on Digital Platforms, 2019).
Jika kita telaah lebih dalam, ketentuan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 belum cukup untuk mengatasi tiga tanda peringatan ini. Pertama, permendag ini hanya terfokus pada pencegahan predatory pricing sehingga tidak dapat mencegah praktik monopoli lain yang lebih canggih, seperti self-preferencing yang juga belum diatur dalam UU Antimonopoli.
Kedua, substansi dari permendag dibuat dengan premis bahwa praktik monopoli dilakukan oleh platform asing, sementara sangat mungkin di masa depan hal tersebut dilakukan oleh platform dalam negeri.
Ketiga, ruang lingkup permendag ini hanya berlaku untuk sektor e-commerce sehingga tidak dapat mencegah dampak negatif yang dapat muncul di sektor lain.
Dengan demikian, Permendag Nomor 31 Tahun 2023 hanya dapat menjadi solusi jangka pendek, dan dibutuhkan regulasi yang holistik untuk mengatasi dampak negatif lain yang dapat muncul dari persaingan usaha tidak sehat di dalam ekonomi digital kita.
Regulasi ini merupakan lex specialis yang menerapkan larangan dan kewajiban khusus bagi platform gatekeepers untuk memastikan perdagangan dan persaingan usaha dalam ekonomi digital di Eropa berjalan dengan adil.
Urgensi regulasi holistik
Minimnya regulasi dalam ekonomi digital juga disampaikan oleh Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam tulisan di Kompas (”Ekonomi Digital Indonesia, Mau ke Mana?”, 29/9/2023), yang menyarankan pengetatan peraturan terkait penanaman modal, arus masuk consumer goods, dan perdagangan daring (online).
Namun, pendekatan ini juga belum tentu cukup karena tidak akan menyelesaikan akar permasalahan, yaitu dinamika winner takes all dalam ekonomi digital yang mendorong platform untuk menguasai pasar, serta keberadaan beberapa platform yang bertindak sebagai gatekeepers (Competition Policy for the Digital Era, 2019).
Hal ini yang membuat Uni Eropa mengundangkan Digital Markets Act (DMA) pada 1 November 2022. Regulasi ini merupakan lex specialis yang menerapkan larangan dan kewajiban khusus bagi platform gatekeepers untuk memastikan perdagangan dan persaingan usaha dalam ekonomi digital di Eropa berjalan dengan adil.
Perusahaan yang menyediakan core platform services (CPS), seperti e-commerce, online search, dan social networking, dianggap bertindak sebagai gatekeepers jika perusahaan tersebut memiliki posisi ekonomi yang kuat (omzet tahunan 7,5 miliar euro), posisi yang kuat sebagai perantara (45 juta pengguna aktif bulanan), dan posisi yang stabil di pasar selama tiga tahun terakhir.
Komisi Eropa telah menetapkan enam perusahaan sebagai gatekeepers: Alphabet, Amazon, Apple, ByteDance/Tiktok, Meta, dan Microsoft.
Para gatekeepers ini kemudian harus mematuhi serangkaian ketentuan untuk mencegah penguasaan pasar. Sebagai contoh, gatekeepers dilarang memperlakukan layanan atau produk mereka dengan peringkat yang lebih baik dibandingkan layanan atau produk serupa yang ditawarkan pihak ketiga.
Ilustrasi
Selain itu, gatekeepers juga wajib memastikan business users mereka dapat mengakses data yang mereka hasilkan saat menggunakan platform tersebut karena pentingnya peran data dalam persaingan di ekonomi digital.
DMA bukan hanya ”macan kertas”. Jika gatekeepers melakukan pelanggaran, Komisi Eropa dapat menetapkan denda hingga 10 persen dari total omzet tahunan perusahaan tersebut di seluruh dunia. Untuk perusahaan sebesar Alphabet, denda ini bisa mencapai Rp 436 triliun berdasarkan omzet mereka pada 2022.
Jika kita ingin ekonomi digital Indonesia tetap adil, demokratis, dan inklusif, pemerintah perlu segera mengundangkan regulasi ekonomi digital yang holistik seperti yang dilakukan Eropa dengan DMA, tentu saja menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sosial-ekonomi negara kita.
Bisa jadi salah satu solusinya adalah melalui omnibus law yang khusus mengatur perdagangan dan persaingan usaha dalam ekonomi digital. Jangan sampai ketertinggalan hukum kita memakan lebih banyak korban lagi.
Baca juga : Dilema ”Social Commerce”
Baca juga : Pelajaran dari Kehadiran ”Social Commerce”
Baca juga : Satu Suara, Pemerintah Regulasikan ”Social Commerce”
Muhammad Rifky WicaksonoPeneliti dan Kandidat Doktor di The University of Oxford, Dosen di Departemen Hukum Bisnis Fakultas Hukum UGM