Untuk mengatasi perundungan, perubahan yang sesungguhnya harus muncul dari kesadaran kolektif yang menganggap perundungan sebagai pelanggaran moral dan penghinaan terhadap martabat manusia.
Oleh
ROY MARTIN SIMAMORA
·4 menit baca
Video perundungan yang beredar di media sosial, mengekspos kekejaman siswa SMP di Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Video tersebut telah menjalar viral seperti api yang tak terkendali.
Dalam video tersebut terlihat pelaku melayangkan tinju berkali-kali kepada korban, merampas harga diri korban dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan hingga membuat korban terkulai tak berdaya, bahkan terpental tanpa belas kasihan. Dalam adegan yang memilukan ini, seakan-akan teman-teman sekolahnya yang seharusnya menjadi pelerai, terpaku oleh ancaman pelaku yang tak ingin ada yang ikut campur.
Setelah kejadian ini mencuat dan menjadi sorotan publik, aparat kepolisian dengan sigap mencari serta menangkap para pelaku perundungan tersebut guna dimintai keterangan. Sementara itu, korban yang menderita luka serius harus dirawat intensif di rumah sakit karena patah tulang rusuk.
Video yang beredar itu teramat sangat menyakitkan hati untuk disaksikan publik, terlebih saya. Apa yang terjadi dengan anak-anak ini sehingga begitu kejinya menyakiti temannya sendiri?
Perundungan, dalam wujudnya yang meresap dan mematikan, adalah persoalan yang menuntut respons tegas dari kita semua. Saat kita merenungkan fenomena yang menjijikkan ini, terbukalah pemahaman bahwa perundungan bukanlah sekadar isu yang terisolasi. Ia adalah cerminan nyata dari keretakan sosial yang mendalam, menyiratkan ketidakpedulian dan ketidakberpihakan yang merajalela dalam masyarakat kita.
Perundungan, dalam berbagai bentuknya, merupakan ancaman yang menghantui sekolah, tempat kerja, dan dunia digital kita. Para penyiksa, yang sering kali didorong oleh rasa haus akan kekuasaan atau disembunyikan oleh rasa tidak aman mereka sendiri, membuat korbannya mengalami kebrutalan fisik, pelecehan verbal, atau siksaan yang lebih halus, tetapi sama berbahayanya, yaitu perundungan dunia maya dan manipulasi psikologis. Untuk benar-benar memahami ancaman ini, kita harus membedah berbagai lapisan dan aspeknya.
Pertanyaan yang muncul secara alami adalah mengapa, di dunia yang seharusnya mengedepankan empati dan rasionalitas, ada orang yang terus menyiksa sesama manusia? Jawabannya terletak pada interaksi yang kompleks antara psikologi manusia, struktur masyarakat, dan pengaruh lingkungan.
Masalah sosial
Perundungan sering kali berakar pada tanah subur rasa tidak aman, kecemburuan, dan nafsu untuk mendominasi. Perundungan adalah manifestasi dari kecenderungan bawaan spesies kita untuk mengeksploitasi kelemahan demi keuntungan pribadi—sebuah bukti suram dari kelemahan kita sendiri. Untuk memerangi perundungan, kita harus menyelidiki relung psikologi manusia dan jaringan rumit dinamika sosial yang memupuk dan melanggengkan momok ini.
Konsekuensi dari perundungan sangat luas dan mendalam. Para korban perundungan sering kali menderita trauma emosional yang berkepanjangan, yang mengarah pada kecemasan, depresi, dan bahkan bunuh diri dalam kasus-kasus ekstrem. Selain itu, perundungan membayangi masyarakat, menebarkan benih-benih agresi dan kekejaman yang merusak fondasi komunitas kita. Persoalan ini bukan hanya penderitaan individu, tetapi juga merupakan masalah sosial yang membutuhkan tindakan kolektif.
Perundungan sering kali berakar pada tanah subur rasa tidak aman, kecemburuan, dan nafsu untuk mendominasi.
Pendidikan, sebagai wadah di mana pikiran anak muda dibentuk, memiliki peran penting dalam perang melawan perundungan. Sekolah harus menjadi benteng nilai-nilai seperti empati, kasih sayang, dan resolusi konflik. Kurikulum yang komprehensif harus mencakup pelajaran tentang kecerdasan emosional dan konsekuensi mengerikan dari perundungan, dengan para pendidik yang menjadi teladan rasa hormat dan keadilan. Melalui pendidikan, kita memiliki kekuatan untuk membentuk warga negara yang bertanggung jawab yang menolak kekejaman dan memperjuangkan kebaikan.
Namun, tanggung jawab ini tidak hanya terletak pada institusi pendidikan. Unit keluarga, yang merupakan landasan masyarakat, juga memainkan peran penting dalam membentuk karakter individu. Orangtua harus menanamkan rasa empati yang mendalam kepada anak-anak mereka, nilai-nilai etika, dan pemahaman tentang konsekuensi dari tindakan mereka. Dengan demikian, mereka berkontribusi pada pengembangan warga negara yang berhati nurani yang membenci kekejaman dan merangkul inklusivitas.
Di era digital, momok perundungan di dunia maya (cyberbullying) telah muncul sebagai musuh yang sangat kuat. Selubung anonimitas yang ditawarkan oleh layar dan keyboard memberdayakan individu untuk melukai secara emosional dari balik keamanan piksel dan avatar.
Untuk melawan ancaman modern ini, kita harus mempromosikan perilaku online yang bertanggung jawab melalui program literasi digital. Selain itu, kita harus meminta pertanggungjawaban para pelaku perundungan di dunia maya atas tindakan mereka, memastikan bahwa dunia maya mencerminkan prinsip-prinsip etika kita.
Langkah-langkah hukum, meskipun diperlukan, hanyalah salah satu sisi dari senjata kita untuk melawan perundungan. Perlu ada produk hukum yang melindungi para korban dan memberikan efek jera kepada para pelaku perundungan. Hukum anti-perundungan yang lebih ketat, jika ditegakkan dengan ketat, dapat bertindak sebagai pencegah dan menawarkan jalan keluar bagi para korban terutama bagi anak-anak. Namun, perubahan yang sesungguhnya harus muncul dari kesadaran kolektif yang menganggap perundungan sebagai pelanggaran moral dan penghinaan terhadap martabat manusia.
Dalam wacana kita tentang perundungan, kita harus mengakui bahwa tanggung jawab untuk memberantasnya ada di tangan kita semua. Kita harus, sebagai individu dan sebagai masyarakat, memupuk budaya empati, pengertian, dan rasa hormat. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat berharap untuk mengalahkan momok ganas perundungan dari tengah-tengah kita.
Kita berada di persimpangan jalan, dihadapkan kepada tantangan berat untuk mengatasi momok perundungan. Mengatasi masalah ini dengan ketelitian intelektual dan keteguhan moral yang dituntutnya bukan hanya sebuah pilihan; ini adalah sebuah keharusan. Jika kita tidak mengindahkan seruan untuk bertindak, kita tidak hanya mengkhianati para korban perundungan, tetapi juga mengorbankan esensi kemanusiaan kita.
Adalah tugas kita untuk memulai dan mempertahankan dialog yang menyelami kedalaman psikologi manusia, dinamika sosial, dan nilai-nilai moral. Hanya dengan demikian kita dapat berharap untuk mengantarkan era di mana kekejaman dikalahkan oleh kasih sayang, dan benang penindasan akhirnya terurai dari masyarakat kita.