Setiap prajurit TNI harus bangga akan jatidirinya sebagai tentara pejuang, yang berjuang untuk menjaga keutuhan NKRI. Karena TNI lahir dari rahim perjuangan rakyat, prajurit TNI membela kepentingan rakyat.
Oleh
KIKI SYAHNAKRI
·3 menit baca
”Kebanggaan” adalah motivasi utama bagi seorang prajurit/militer, seorang kombatan untuk mengabdikan diri, rela berkorban bagi negara dan bangsanya, sekalipun dengan pengorbanan jiwa. Seorang prajurit sejati justru akan merasa bangga apabila gugur di medan pertempuran. Moto Kopassus, misalnya: ”Lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas”.
Maka, tumbuh-suburnya rasa kebanggaan menjadi faktor yang sangat penting dalam pembinaan mutu tempur suatu satuan TNI. Tanpa rasa kebanggaan dari para prajuritnya, niscaya satuan tersebut akan tumpul, rapuh, dan pada ujungnya akan gagal dalam melaksanakan tugas.
Mengapa perlu kebanggaan? Seorang pakar menulis: militer di setiap negara merepresentasikan kelompok yang terorganisasi dan sangat disiplin, disatukan oleh tradisi, kebiasaan, lingkungan kerja dan terutama oleh kebutuhannya untuk bekerja sama saling membantu satu sama lain saat bertempur—suatu ketergantungan yang secara literal berarti dalam situasi antara hidup dan mati.
Ketergantungan semacam itu menciptakan ikatan dan loyalitas yang kuat dengan kohesi dan koherensi yang tinggi dan hanya sedikit profesi lain dapat melakukannya. (Charlie Rose, Democratic Control of the Armed Forces: A Parliamentary Role in the Partnership for Peace dalam NATO Review 42, Oktober 1994).
Pakar militer lainnya mengatakan, apa yang membuat militer berbeda adalah bahwa ia tidak hanya institusi yang sangat otokratik yang menuntut loyalitas dan komitmen secara penuh, tetapi juga suatu organisasi yang didesain sebagai kekuatan yang kokoh untuk bekerja seefisien mungkin kapan saja negara membutuhkannya, kata Samuel Finer (The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics, 1988).
Ungkapan dua pakar di atas mengindikasikan anggota militer dituntut untuk memiliki rasa kebanggaan akan profesinya sebagai motivasi utama dalam menunaikan tugasnya.
Faktor yang memengaruhi
Banyak faktor yang memengaruhi tinggi-rendahnya rasa kebanggaan para prajurit, tiga di antaranya yang penting adalah:
Pertama, kepemimpinan. Faktor ini sangat memengaruhi pembentukan motivasi. Karena itu, pemimpin harus memiliki karakter kuat/terpuji, kompetensi unggul, serta teladan, sehingga dibanggakan oleh anggotanya. Seperti dikatakan T Richard Casey, ”If a leader demonstrates competence, genuine concern for others and admirable character, people will follow.”
Selain keteladanan, metode kepemimpinan lainnya yang sangat efektif adalah kehadiran pemimpin/komandan di tengah anak buahnya. Ketika sebuah radio perjuangan di Yogyakarta mengumumkan bahwa Jenderal Besar Soedirman memutuskan untuk bergerilya melawan Belanda bersama para prajuritnya, walau dalam kondisi sakit parah, paru-parunya tinggal sebelah, pengumuman ini betapa membangkitkan semangat perjuangan, melambungkan motivasi sekaligus kebanggaan dari para prajurit yang sedang bertempur. Hal ini dituturkan almarhum Letjen Sayidiman Soerjohadiprodjo yang ketika itu ikut long march pasukan Siliwangi menuju Jawa Barat.
Sama halnya ketika Jenderal TNI M Joesoef menjabat sebagai Panglima ABRI yang hampir setiap hari berada di tengah-tengah prajurit, membuat para prajurit merasa bangga, siap menghadapi tugas apa pun dengan rela.
Selain keteladanan, metode kepemimpinan lainnya yang sangat efektif adalah kehadiran pemimpin/komandan di tengah anak buahnya.
Kedua, meritokrasi dalam pembinaan personel. Pengertian sederhananya adalah pemberian mutasi, promosi yang didasarkan atas kemampuan atau prestasi. Ini dilakukan sejak rekrutmen, pendidikan, penugasan di lapangan secara berkesinambungan, sampai dengan pengakhiran. Tuntunan dalam penerapan meritokrasi di dalam organisasi TNI sudah cukup lengkap, tinggal konsistensi dalam pelaksanaannya.
Sebagai misal, para perwira yang akan dipromosikan harus melalui mekanisme seleksi dalam Dewan Kepangkatan dan Jabatan (Wanjak). Membuka jalan pintas atau menegasikan mekanisme ini tentu akan menghasilkan perwira yang kurang memiliki motivasi atau bermotivasi lain. Jalan pintas yang lebih merusak adalah sponsorship mutlak, penggunaan uang, dan koneksi politik. Tegasnya, meninggalkan prinsip meritokrasi lambat atau cepat niscaya akan merusak organisasi TNI.
Ketiga, dinamika kehidupan masyarakat. Anggota TNI berasal dari masyarakat, maka perkembangan kehidupan masyarakat niscaya akan memengaruhi karakter si calon anggota. Perwira lulusan Akademi Militer yang lahir pada 1930-an hingga awal 1950-an dibesarkan di tengah masyarakat yang masih kental dipengaruhi suasana perang mempertahankan kemerdekaan. Maka wajar kalau mereka rata-rata memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi seorang prajurit TNI.
Namun, setelah itu, suasana kehidupan masyarakat sudah berubah, apalagi di era kemajuan teknologi informasi yang barang tentu memengaruhi kehidupan masyarakat, maka wajar pula kalau motivasi si calon anggota pun sudah sangat beragam sehingga menjadi tantangan berat saat seleksi dalam rekrutmen.
Jati diri TNI
Setiap prajurit TNI juga harus bangga akan jati dirinya sebagai tentara pejuang, yang berjuang tanpa pamrih dan tidak mengenal menyerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, menegakkan kedaulatan negara, mendukung dan membela Pancasila, menjaga keutuhan bangsa serta senantiasa membela kejujuran, kebenaran dan keadilan (Sapta Marga ke 1-3) .
Tentara rakyat. Secara organisasi, TNI lahir dari rahim perjuangan rakyat, oleh karena itu dalam menunaikan tugas pokoknya harus berjuang bersama rakyat, senantiasa berpihak dan membela kepentingan rakyat.
Tentara nasional, bukan tentara golongan atau kedaerahan, membela kepentingan nasional, mengayomi semua golongan. Implementasi pentingnya yang aktual adalah senantiasa menjaga netralitas dalam setiap pemilu ataupun pilkada.
Ketika seorang prajurit TNI pensiun, tidak berarti ia menanggalkan sumpah setianya kepada negara dan bangsa. Sapta Marga, jati diri, jiwa keprajuritan dan kebanggaannya sebagai prajurit TNI tetap melekat pada dirinya.
Bedanya dengan prajurit aktif, purnawirawan sudah memiliki hak politik sama dengan rakyat Indonesia pada umumnya. Karena itu, wajar jika purnawirawan TNI berada di hampir setiap parpol atau di ormas-ormas nonparpol. Namun, hendaknya di mana pun mereka berada, garis perjuangannya harus tetap dalam bingkai sapta marga. Dengan kata lain: ”purnawirawan ada di mana-mana, tetapi tidak ke mana-mana”.
Pengabdian purnawirawan bagi negara dan bangsa tiada berujung, seperti ungkapan almarhum Jenderal TNI Widjojo Soejono, mantan Ketua Dewan Pertimbangan PPAD yang kemudian dijadikan moto PPAD: ”Sebagai bhayangkari negara dan bangsa, tugas seorang purnawirawan baru selesai ketika tidak lagi bisa mendengar letusan salvo, kendati ditembakkan di samping telinganya”, alias ketika diturunkan ke liang lahat.