Musik untuk Capres: Suara Gagasan dan Konflik Kreatif
Sering kali terdapat aspek konfliktual yang melekat pada penggunaan musik dalam konteks politik.
Oleh
ARIS SETIAWAN
·3 menit baca
Musik seharusnya menjadi jembatan untuk menghubungkan, tapi dalam kasus ini terkadang ia justru memisahkan. Selanjutnya, hak cipta menjadi isu penting yang harus diperhatikan. Ketika sebuah lagu diciptakan atau dinyanyikan untuk tujuan politik, apakah pencipta memberikan izin penggunaannya?
Bagaimana jika hal tersebut melanggar hak cipta atau mengabaikan hak ekonomi pencipta? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut pertimbangan serius untuk memastikan bahwa hak-hak para pencipta tetap dihormati.
Sering kali sebuah lagu digunakan secara komersial dalam kampanye tanpa persetujuan dan kompensasi kepada pencipta. Maka, ini dapat dianggap sebagai pelanggaran hak ekonomi. Hal ini dapat menimbulkan konflik hukum dan merugikan pencipta secara finansial. Penting untuk dicatat bahwa isu hak cipta dalam konteks musik politik bukan hanya relevan secara nasional, melainkan juga dapat berdampak global.
Sebagai contoh, pada pemilihan presiden Amerika Serikat, terdapat kasus-kasus para artis memprotes penggunaan lagu mereka oleh kandidat tanpa izin. Salah satu kasus terkenal adalah ketika Neil Young menentang penggunaan lagunya oleh Donald Trump dalam kampanye, menggarisbawahi pentingnya menghormati hak cipta bahkan dalam konteks politik.
Contoh lain dari kontroversi penggunaan lagu dalam konteks politik adalah kasus Bruce Springsteen yang mengecam penggunaan lagunya oleh Ronald Reagan dalam kampanye presiden AS tahun 1984. Springsteen menyatakan ketidaksetujuannya terhadap interpretasi lagunya yang digunakan untuk menggambarkan pandangan politik Reagan.
Ini menunjukkan bagaimana artis dapat memprotes penggunaan karya mereka dalam kampanye politik jika mereka merasa hal tersebut tidak sesuai dengan pesan atau nilai yang ingin mereka sampaikan melalui musik mereka. Kasus ini menyoroti betapa pentingnya menghormati hak cipta dan visi artistik dari para pencipta dalam konteks politik.
Oleh karena itu, perlu ada mekanisme jelas dan transparan dalam memastikan bahwa hak-hak para pencipta tetap dihormati ketika musik digunakan untuk tujuan politik. Para kandidat dan kampanye politik wajib memastikan bahwa mereka memperoleh izin atau lisensi sah sebelum menggunakan lagu untuk kepentingan kampanye. Ini akan memastikan bahwa karya seni dan kreativitas para pencipta dihargai dan bahwa tidak ada pelanggaran hak cipta yang terjadi dalam prosesnya.
Magnetik
Tak dapat dimungkiri, musik memiliki kekuatan magnetik terhadap generasi milenial dan kelompok demografis lainnya. Mereka sering kali lebih terbuka terhadap pesan politik yang disampaikan melalui musik daripada orasi formal. Musik memberikan cara lebih emosional dan menghidupkan pesan-pesan politik, membuatnya lebih mudah dicerna dan diingat.
Namun, tak hanya di Indonesia, fenomena lagu politik juga merupakan hal yang lazim di dunia. Di Amerika Serikat, selama kampanye presiden, para kandidat sering kali menggunakan musik sebagai bagian dari identitas kampanye mereka. Barack Obama, misalnya, menggunakan lagu ”Yes We Can” dari will.i.am sebagai lagu kampanye ikoniknya.
Di Eropa, fenomena penggunaan musik dalam kampanye politik juga terjadi. Salah satu contoh terkenal adalah kampanye Emmanuel Macron dalam pemilihan presiden Perancis pada tahun 2017. Macron menggunakan lagu ”Oxygène” dari Jean-Michel Jarre sebagai lagu tema kampanyenya. Di Spanyol, pada 2019, partai politik Vox menggunakan lagu ”Fuego” dari Eleni Foureira. Di Inggris, tahun 1997, Tony Blair dari Partai Buruh menggunakan lagu ”Things Can Only Get Better” dari D:Ream.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa musik menjadi alat penting dalam membangun identitas kampanye dan menyampaikan pesan politik kepada pemilih. Melihat perkembangan ini, tidak dapat dihindari bahwa ke depan akan muncul banyak lagu baru atau adaptasi dari lagu-lagu yang sudah ada untuk mendukung calon-calon presiden di Indonesia.
Fenomena lagu politik menawarkan perspektif baru dalam memahami partisipasi politik masyarakat, menggabungkan seni dengan politik dalam satu kesatuan yang kuat.
Namun, kita perlu menyadari bahwa seperti halnya politik itu sendiri, musik juga memiliki potensi konfliktual. Oleh karena itu, penting untuk memperlakukan fenomena ini dengan bijak, mempertimbangkan hak cipta, dan memastikan bahwa musik tetap menjadi sarana untuk menyatukan masyarakat, bukan memecah belahnya.
Aris Setiawan, Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta