Banyak pilihan aksi yang bisa dikerjakan untuk keberlanjutan regeneratif. Semua perlu dilakukan serius. Masih cukup waktu dan peluang untuk menahan laju perubahan iklim sambil beradaptasi dengan konsekuensi terburuknya.
Oleh
DODDY S SUKADRI
·4 menit baca
Salah satu ciri perubahan iklim adalah berbicara tentang masa depan yang sangat panjang. Bukan lima, sepuluh, atau dua puluh tahun, melainkan 50 sampai 100 tahun ke depan, bahkan lebih dari itu.
Untuk saat ini, Perjanjian Paris merupakan rumah untuk solusi perubahan iklim, yaitu dengan melakukan segala upaya yang diperlukan guna memastikan kenaikan suhu rata-rata bumi tak melebihi 2 derajat celsius pada akhir abad ini, dan mendorong semua negara serta para pihak berupaya membatasi kenaikan itu hingga 1,5 derajat celsius saja dibandingkan dengan suhu bumi rata-rata sebelum revolusi industri abad ke-18.
Lebih dari 190 negara telah menandatangani Perjanjian Paris pada 2015 dan sepakat mencapai netral karbon (net zero emission) pada pertengahan abad ini. Mereka sepenuhnya menyadari betapa penting mencegah kenaikan suhu rata-rata bumi. Namun, tidak banyak orang yang menyadari apa yang akan terjadi jika kita gagal dalam mencapai netral karbon.
Laporan yang dibuat 2.000 lebih peneliti dari sejumlah negara yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan, meski kita berhasil mengurangi emisi sebanyak mungkin, bahkan dalam skenario terbaik pun, suhu bumi di 2100 tetap naik 1,8 derajat celsius. Suatu angka yang masih sangat mengkhawatirkan dilihat dari kacamata perubahan iklim.
Permukaan air laut pasti akan terus meningkat 28-55 sentimeter pada akhir abad ini, dibandingkan dengan kondisi sekarang, sekalipun jika kita berhasil mencapai emisi nol bersih di pertengahan abad ini.
Saat ini kenaikan suhu rata- rata di planet Bumi sudah meningkat sekitar 1,1 derajat celsius daripada masa praindustri. Kenaikan ini telah menyebabkan perubahan iklim bumi yang tak dapat diubah lagi (irrecoverable) di semua wilayah.
Suhu yang mencapai 50 derajat celsius di Kanada; banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya di Jerman, Belgia, dan baru-baru ini di Libya yang menewaskan lebih dari 13.000 orang; serta kebakaran yang melanda Yunani dan Turki di musim panas 2022 merupakan peringatan bahwa tak ada negara yang aman dari dampak perubahan iklim.
Salah satu kesimpulan paling penting dalam laporan terbaru IPCC adalah bahwa setiap kenaikan suhu Bumi yang hanya sepersepuluh derajat celsius saja akan sangat berarti, karena dampaknya bisa sangat menghancurkan kehidupan di Bumi.
Menuju emisi nol bersih rupanya belum cukup untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Saat ini muncul istilah regenerative sustainability (keberlanjutan regeneratif).
Saat ini kenaikan suhu rata- rata di planet Bumi sudah meningkat sekitar 1,1 derajat celsius daripada masa praindustri.
Keberlanjutan regeneratif bukan sekadar mengurangi dampak buruk atau memperbaiki kerusakan, melainkan juga merupakan pendekatan positif yang menyatukan lingkungan ekologi, sosial, ekonomi, dan politik. Keempat hal ini harus saling memberikan kontribusi positif, saling memperkuat, saling memberikan manfaat yang berkelanjutan, bagi manusia ataupun sistem ekologi.
Jadi, keberlanjutan regeneratif pada dasarnya berbicara tentang keberlanjutan plus. Dalam kaitan ini, semua pihak dituntut untuk berhenti melakukan kerusakan baru, sambil memperbaiki kerusakan yang telah terjadi. Caranya dengan menempatkan masa depan kehidupan sebagai prioritas utama dari semua aktivitas yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan manusia.
Apa yang bisa dilakukan?
Banyak pilihan aksi yang bisa dikerjakan untuk keberlanjutan regeneratif. Namun, semua perlu dilakukan dengan serius, sungguh-sungguh dan ambisius. Masih cukup waktu dan peluang untuk menahan laju perubahan iklim sambil beradaptasi dengan konsekuensi terburuknya.
Jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang diembuskan ke atmosfer oleh berbagai aktivitas manusia (anthropogenic emission) harus dikurangi secara drastis dengan mengubah gaya hidup konsumtif yang boros energi. Kemudian, sebanyak mungkin mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan untuk mengurangi dampak pemanasan global sebesar-besarnya.
Tak hanya sampai di sini. Penting juga melangkah lebih jauh, beralih dari keberlanjutan menuju keberlanjutan regeneratif, untuk menyembuhkan luka Bumi yang kini sudah dalam keadaan menderita.
Ilustrasi
Keberlanjutan regeneratif menawarkan upaya konkret untuk mengomunikasikan apa yang perlu dilakukan kini dan yang akan datang. Ini terkait keberlanjutan plus: tidak sekadar berhenti melakukan kerusakan dan memperbaiki masalah, tetapi juga saling mengupayakan ketergantungan mendasar yang bersifat generatif.
Fokusnya pada hasil akhir yang positif yang saling bergantung satu sama lain serta menempatkan kehidupan dan vitalitas sebagai inti dari segala hal yang harus dilakukan sekarang dan di masa datang.
Salah satu contoh, pertanian regeneratif, yaitu memproduksi pangan dengan dampak lingkungan dan/atau sosial yang positif. Ini dapat dilakukan dengan memilih tanaman yang bisa menutup tanah, mengintegrasikan kegiatan pertanian dengan peternakan, mengurangi kegiatan pengolahan tanah, meningkatkan peran pertanian sebagai penyerap karbon, dan menjaga keanekaragaman hayati.
Pertanian regeneratif bisa dilakukan berbeda-beda antara satu petani dan petani lainnya, serta dari satu daerah dengan daerah lain dengan prinsip holistik dalam sistem yang dinamis untuk kepentingan generasi yang akan datang.
Doddy S SukadriCo-Coordinator Pokja MRV, Dewan Pengarah Perubahan Iklim KLHK