Merayakan Kesaktian Pancasila
Pancasila adalah kulminasi dari beragam pandangan dunia, nilai, ilmu, dan teori yang lahir pada sekitar abad pencerahan. Persoalannya, tidak semua nilai tersebut berhasil sintas di arus waktu. Sebagian ada yang hilang.
Hari Kesaktian Pancasila merupakan produk politik rezim Orde Baru. Ini adalah antitesis dari peristiwa yang terjadi sehari sebelumnya, yaitu G30S/PKI.
Dari titik inilah rangka bangun pemerintahan Orde Baru ditegakkan. Meski akhirnya pada tahun 1998 kita sepakat untuk menumbangkan rezim ini, tak satu pun dari kita mempertanyakan, apalagi menggugat, ”kesaktian Pancasila”.
Mungkin jauh di kedalaman alam bawah sadar, kita sangat meyakini dan menyepakati frasa ini. Mungkin Pancasila sejatinya adalah kita. Nilai-nilainya secara genetis mengalir deras dalam nadi rakyat Indonesia. Hanya memang, manusia-manusia tidak bertanggung jawab kerap menunggangi nilai-nilai ini demi kepentingan pribadi yang bersifat sesaat.
Itulah sebabnya, setiap bertemu Hari Kesaktian Pancasila, sebagian kita hanya menolak konteksnya, tapi kita tak mungkin mengingkari esensinya.
Paradoks Pancasila
Ditinjau dari perspektif filosofis, hampir setiap orang sepakat bahwa tiap sila yang terkandung dalam Pancasila adalah premis yang bersifat aksiomatik dan universal.
Karena sifat keuniversalannya inilah, nilai-nilai Pancasila bisa menjahit setiap elemen perbedaan yang kompleks di Indonesia hingga keping terkecil. Maka, sangat wajar apabila kemudian Pancasila memiliki nilai sakralitas yang sangat tinggi dalam bingkai kenegaraan Indonesia.
Kesakralan Pancasila itu tecermin di dalam Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia. Lalu, Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia telah mengunci Pancasila dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 (yang memuat Pancasila) ”tidak dapat diubah oleh siapa pun, termasuk MPR hasil pemilihan umum" karena mengubah isi Pembukaan berarti pembubaran negara”.
Namun, di sisi lain, karena sifat keuniversalannya itu pula, terbuka medan tafsir yang sedemikian luas dan lentur. Sedemikian sehingga di sepanjang sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, mungkin tak ada satu pun diskursus kebangsaan yang demikian luas dikaji, dibahas, dan diperdebatkan seperti Pancasila.
Maka, sangat wajar apabila kemudian Pancasila memiliki nilai sakralitas yang sangat tinggi dalam bingkai kenegaraan Indonesia.
Bahkan, pada eskalasi tertentu, perdebatan terkait Pancasila tak jarang menimbulkan polemik di tengah masyarakat, sampai melahirkan konflik dan mengguncang tatanan kehidupan politik di Indonesia.
Maka, pertanyaan yang seharusnya muncul dalam diskursus politik di Indonesia adalah bagaimana cara menjinakkan paradoks yang terjadi dalam medan tafsir atas Pancasila, agar pertarungan gagasan yang terjadi di dalamnya bisa termitigasi dengan baik dan tidak sampai menimbulkan turbulensi politik yang tidak sehat?
Ontologi Pancasila
Paradoks atau dalam bahasa Indonesia paradoksal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sesuatu yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Inilah yang tampak terjadi dengan Pancasila.
Di satu sisi, Pancasila menjadi polemik dan sumber perdebatan politik yang tak kunjung henti, tetapi di sisi lain, siapa yang bisa menyangkal bahwa setiap sila dalam Pancasila merupakan premis yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian atau bersifat aksiomatis.
Di dalam filsafat, diskursus yang membahas tentang bagaimana melihat sebuah paradoks dikenal dengan istilah ontologi.
Konsep yang dibahas dalam ontologi bersifat sederhana dan abstrak, tetapi mencakupi segala sesuatu. Salah satu yang paling mendasar adalah konsep eksistensi/ada/wujud. Di atas konsep inilah semua sistem pemikiran dan pandangan dunia— termasuk agama—berdiri. Namun, di sisi lain, konsep ini menjadi medan laga semua filsuf paling terkemuka sejak ribuan tahun lalu dan masih berlangsung hingga saat ini.
Ontologi bicara tentang eksistensi atau keberadaan sesuatu. Salah satu topik utama pembahasannya adalah sebab (cause) adanya segala sesuatu. Runtutan penelitian tentang rantai sebab akibat inilah yang nanti melahirkan konsep prima causa (sebab utama)—yang pada banyak istilah dikenal sebagai Tuhan. Selain prima causa, disebut sebagai akibat/ciptaan/makhluk.
Setiap akibat/makhluk—dalam bentuk apa pun, dan seabstrak apa pun—adalah ”sebab yang sempurna”. Sempurnanya sebab inilah yang membuat segala sesuatu menjadi mewujud/ada. Setelah sesuatu itu mewujud/ada, selanjutnya adalah medan diskursus epistemologi atau ke-apa-an. Pada tahap inilah suatu keberadaan dipahami esensinya, dimaknai, dan didefinisikan.
Dalam konteks Pancasila, diskursus soal nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila selama ini umumnya berkutat pada masalah epistemologi. Padahal, sesakral apa pun, Pancasila adalah makhluk atau sebuah hasil ciptaan. Untuk memahaminya, kita harus mengetahui dulu sebab keberadaannya (ontologi).
.
Sebagai sebuah nilai, Pancasila pasti lahir dari sebuah nilai, ilmu, dan metodologi yang dirumuskan secara khas. Inilah yang menjadi masalahnya. Dalam banyak diskursus tentang Pancasila, cukup jarang kita melihat penjelasan yang menguraikan rangkaian ilmu, nilai, dan metodologi yang digunakan para penggagasnya, yang dengannya mereka berhasil merumuskan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila dalam Pancasila.
Sebagaimana kita ketahui, Pancasila adalah kulminasi dari beragam pandangan dunia, nilai, ilmu, dan teori yang lahir pada sekitar abad pencerahan. Persoalannya, tidak semua nilai tersebut berhasil sintas di arus waktu. Sebagian ada yang hilang, bahkan diberangus, karena kalah di panggung politik. Akibatnya, tak sedikit nilai saat ini—sebagai produk dari tumpukan teori tersebut—kehilangan pijakan dan sulit dijelaskan.
Maka, tak ayal kita kehilangan gugus makna. Kita memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan menggunakan nilai dan ilmu yang berkembang belakangan, yang terlepas dari genetik keberadaan Pancasila. Maka, wajar jika kemudian tafsir kita tentang Pancasila menjadi liar. Bahkan pada titik tertentu bisa digunakan sebagai alat pemukul bagi kekuasaan kepada lawan-lawan politiknya.
Aziz Anwar Fahruddin, dalam salah satu jurnal ilmiahnya berjudul ”Polemik Tafsir Pancasila”, mengemukakan secara mendalam bagaimana diskursus tentang tafsir Pancasila sepanjang sejarah Indonesia tak bisa lepas dari wacana dan kontestasi politik pada periode tertentu (Fahruddin, CRCS UGM, 2018).
Dalam konstelasi politik yang berubah-ubah itu, Pancasila mendapat penafsiran yang beragam. Pada satu periode, Pancasila kental bernuansa sosialisme dan terinspirasi hingga tingkat tertentu oleh Marxisme, pada periode berikutnya komunisme dinyatakan bertentangan dengan Pancasila.
Pada satu periode, Pancasila dipertentangkan dengan Islam, pada periode lain Pancasila ditekankan sila pertamanya yang dimaknai sebagai terinspirasi konsep tauhid dalam Islam. Pada satu periode, Pancasila diusung sebagai simbol perekat kebangsaan dan penjaga kebinekaan, di sisi lain pada periode yang sama Pancasila dipakai untuk melegitimasi peraturan yang membatasi kebebasan kelompok minoritas keagamaan.
Sebagaimana kita ketahui, Pancasila adalah kulminasi dari beragam pandangan dunia, nilai, ilmu, dan teori yang lahir pada sekitar abad pencerahan.
Dalam kerangka ideal, negara memang pihak yang seharusnya mengambil peran untuk memberi pemahaman tentang universalitas nilai Pancasila. Hanya persoalannya, setiap kali negara/penguasa berusaha mengambil peran itu, pada saat yang sama kerap mengalami bias kepentingan politik. Dengan demikian, yang dilakukan negara justru menyimpulkan Pancasila tanpa merunut akar ontologisnya, lalu memunculkan satu tafsir tunggal yang absolut.
Masalah kedua, kesimpulan/ tafsir negara tersebut disakralisasi. Penyebarannya juga dilakukan dengan metode doktrinasi. Dan, sebagaimana sejarah juga menunjukkan, atas nama Pancasila itulah penguasa ”negara” memukul lawan politiknya dan siapa pun yang bertentangan dengannya. Bahkan, dalam kekerasan bahasa, memunculkan istilah ”tidak Pancasilais” dan sebagainya.
Dalam pandangan penulis, munculnya negara dengan tafsir tunggalnya atas Pancasila inilah yang menjadi sumber lahirnya kontestasi tafsir atas Pancasila. Kehadiran tafsir tunggal ini—dengan wajah eksklusif dan represifnya—seolah menantang tafsir lain, dan sekaligus membuka medan kontestasi yang tak terbatas. Meski, di sisi lain, sulit juga mengingkari, setiap kelompok juga akan secara natural melahirkan tafsir atau kesimpulan yang mengasosiasikan dirinya sebagai ”paling Pancasila”.
”Reinventing” Pancasila
Dalam kerangka itu, kita perlu kembali pada hukum ontologis yang paling awal, bahwa pemahaman kita tentang ”ada”/eksistensi tidak pernah bisa sempurna mewakili hakikat keber-ada-an itu sendiri.
Pemahaman kita tentang eksistensi hanyalah salah satu kemungkinan tafsir atas eksistensi itu sendiri. Itu sebabnya, kita harus selalu membedakan antara tafsir dan apa yang ditafsirkan.
Hal yang sama bisa kita berlakukan untuk memahami paradoks Pancasila. Bahwa tafsir Pancasila bukanlah Pancasila. Kedudukan tafsir selalu terbatas dan bersifat kemungkinan, karena dia terikat pada konteks dan pengetahuan si penafsir. Anggapan yang menilai tafsir Pancasila adalah Pancasila inilah yang membuat Pancasila tampak seperti paradoks.
Maka, yang paling penting dilakukan negara dengan segenap aparaturnya adalah menjaga jarak dari mengeluarkan tafsir tunggal atas Pancasila. Juga menjaga agar tak satu pun kelompok di negeri ini merasa paling ”Pancasilais”, karena Pancasila adalah milik semua dan merangkul semua, tetapi tidak bisa dimiliki sendiri.
Yang paling penting dari semua, negara harus bersedia membuka akses seluas-luasnya agar jejak pemikiran para perumus Pancasila bisa dipahami, dan ontologi Pancasila bisa menjadi jelas.
Dari sinilah nanti Pancasila bisa dirumuskan konsep epistemologinya sehingga Pancasila bisa dibuka dan dikaji, seperti layaknya komunisme, kapitalisme, dan -isme lainnya, bahkan kitab suci. Pancasila menjadi medan diskursus terbuka yang bisa dikritisi, digeledah, dan digugat, hingga inti sarinya keluar hingga perasan terakhir.
Dengan begitu, Pancasila akan menjadi otentik, dan yang terpenting tak perlu lagi dibela dengan logika kekerasan, tetapi dengan kekerasan logika yang mumpuni. Kelak akan lahir sosok ataupun kelompok yang cukup mumpuni untuk menjadi penjaga dan pembela narasi-narasi Pancasila. Yang bisa menafsirkan konteks dan menjawab gugatan atas nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila secara elegan.
Dari titik inilah nantinya Pancasila bisa tumbuh sebagai kesadaran bersama warga negara, bukan sekadar doktrin negara. Pancasila menjadi jati diri bangsa, bukan jargon penguasa. Dengan begitu, kita akan melangkah di tengah-tengah dunia sebagai bangsa yang otentik, bukan bangsa hibrida.
Selamat merayakan Hari Kesaktian Pancasila.
Baca juga : Pancasila di Era Disrupsi
Baca juga : Kesaktian Pancasila dan Kecelakaan Sejarah
Afdhal MahattaStaf Ahli Komisi III DPR RI, Dosen Tetap Universitas Agung Podomoro