Mentransformasi Agama
Meskipun Asia Tenggara memiliki tradisi toleransi kuat konflik antarkelompok agama masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah diselesaikan. Kekuatan agama harus mampu ditransformasikan ke arah yang lebih positif.
Belum lama ini, pada 12 September 2023, lembaga riset tepercaya di Amerika Serikat, Pew Research Center atau PRC, merilis hasil riset terbaru tentang budaya toleransi di Asia Tenggara. Riset berjudul ”Buddha, Islam and Religious Pluralism in South and Southeast Asia” itu difokuskan untuk melihat pluralisme dan toleransi di sejumlah negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Khusus Asia Tenggara, riset ini mengelaborasi negara yang penduduknya mayoritas Buddha (Kamboja, Thailand, dan Sri Lanka), negara yang mayoritas Muslim (Indonesia dan Malaysia), dan negara dengan keberagaman agama tanpa ada kelompok mayoritas (Singapura).
Riset ini memberi gambaran kuat bahwa meski wilayah Asia Tenggara dengan komposisi mayoritas pemeluk agama yang berbeda mempunyai tradisi toleransi yang kuat, di antara mereka terdapat ketegangan.
Riset ini juga menunjukkan adanya hubungan kuat antara agama dan negara, meskipun bias mayoritas yang dominatif sering tak bisa dihindari.
Sejumlah data hasil survei yang dikemukakan dalam riset ini menarik dicermati. Di Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand—dengan setidaknya 70 persen orang dewasanya memeluk Buddha—lebih dari sembilan dari sepuluh orang Buddha mengatakan, menjadi umat Buddha adalah hal penting untuk benar-benar menjadi bagian dari negara tersebut.
Pentingnya Buddha dalam identitas nasional di Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand tecermin dari kedudukan yang diberikan oleh hukum di ketiga negara itu terhadap Buddha.
Sebagian besar umat Buddha di ketiga negara ini lebih mendukung jika hukum negara mereka berasaskan pada dharma Buddha. Perspektif ini hampir disepakati secara bulat di antara umat Buddha di Kamboja (96 persen), Sri Lanka (80 persen), dan Thailand (56 persen).
Hal yang hampir sama terjadi di Indonesia dan Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim. Sebagian besar Muslim di kedua negara ini menyatakan menjadi Muslim itu penting untuk benar-benar menjadi orang Indonesia atau Malaysia. Mereka umumnya menggambarkan Islam bukan hanya sebagai agama yang dianut, melainkan juga sebagai budaya, tradisi keluarga, atau etnisitas.
Temuan lain dari PRC yang perlu digarisbawahi antara lain terkait toleransi beragama. Secara umum, toleransi terhadap agama lain berjalan dengan baik di keenam negara.
Tak dapat dimungkiri, agama dapat menjadi garis pembatas di antara berbagai kelompok agama meskipun upaya-upaya pembauran dilakukan.
Orang dewasa di Malaysia dan Sri Lanka (lebih dari 62 persen) cenderung menyatakan keberagaman agama, etnik, dan budaya menguntungkan negara mereka dibandingkan orang dewasa di Singapura (56 persen).
Di semua kelompok agama besar, sebagian besar orang menyatakan, mereka mau menerima anggota komunitas agama yang berbeda sebagai tetangga.
Contoh, sebanyak 81 persen umat Buddha Sri Lanka menyatakan mereka mau bertetangga dengan orang Hindu. Hal yang sama dinyatakan umat Hindu Sri Lanka (85 persen) mengenai orang Buddha.
Terkait keterlibatan pemuka agama dalam politik, kaum Muslim di Indonesia dan Malaysia lebih cenderung memilih para pemuka agama berperan penting dalam politik dibandingkan umat Buddha.
Sebagian besar Muslim di Indonesia (58 persen) dan Malaysia (69 persen) mengatakan, pemuka agama harus menyampaikan pendapatnya di depan umum mengenai politikus dan partai politik yang mereka dukung. Sementara, umat Buddha di Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand yang menyukai keterlibatan pemuka agama dalam politik kurang dari 50 persen.
Hal yang agak berbeda terlihat dari hal yang terkait dengan pendapat tentang pindah agama. Tak dapat dimungkiri, agama dapat menjadi garis pembatas di antara berbagai kelompok agama meskipun upaya-upaya pembauran dilakukan.
Banyak orang di semua negara yang disurvei menganggap meninggalkan agamanya atau berpindah ke agama lain tidak dapat dibenarkan. Di Indonesia, Muslim (92 persen) dan Kristen (83 persen) menyatakan, pindah agama merupakan tindakan yang tak bisa dibenarkan.
Sikap serupa ditunjukkan oleh lebih dari dua pertiga umat Buddha di Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand.
Pembacaan doa lintas agama pada Acara Puncak Peringatan Hari Ulang Tahun ke-13 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI di Djakarta Theatre, Jakarta, Jumat (28/7/2023).
Desekularisasi
Data perkembangan agama di negara-negara itu berbanding terbalik dengan teori sekularisasi yang berasumsi bahwa semakin penting peran ekonomi dan ilmu pengetahuan di suatu negara, akan semakin cenderung tidak religius juga masyarakatnya. Teori ini memang merefleksikan pengalaman negara-negara di Eropa Barat sejak akhir Perang Dunia II.
Riset akademis tentang agama dan sekularisasi mutakhir menunjukkan, sekularisasi memang membawa perubahan pada religiositas karena pertumbuhan ekonomi dan ilmu pengetahuan. Namun, itu terbatas pada tingkat pengenalan agama atau kehadiran dalam peribadatan, dan tak berpengaruh pada keyakinan agama (Kostanca dan Matt Golder, 2021).
Hal ini juga menjelaskan mengapa keyakinan agama tetap kokoh di tengah arus sekularisasi sebagai anak kandung modernitas. Kesimpulan itu memperkuat (dan juga mengoreksi) sejumlah teori sebelumnya tentang pengaruh agama di berbagai sektor kehidupan, justru ketika agama diramalkan akan mati karena menguatnya modernitas.
Jose Casanova, sosiolog kelahiran Spanyol, misalnya, mengusulkan cara-cara baru dalam melihat sekularisasi. Dalam Public Religion in the Modern World (1994), Casanova memilah tiga unsur dalam teori sekularisasi yang dipandang sebagai esensi modernisasi.
Tiga unsur itu ialah, pertama, diferensiasi struktural yang terus berlangsung dalam ruang- ruang sosial, yang berakibat pada merosotnya peran agama dan partisipasi keagamaan. Kedua, privatisasi agama, yang menjadikan agama tidak lagi memiliki signifikansi publik.
Ketiga, pemisahan agama dari wilayah kehidupan lain, seperti politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, yang disebut sebagai deprivatisasi agama.
Cara pandang deprivatisasi agama Casanova yang dianggap bisa menyelamatkan sekularisme itu pun tampaknya juga akan tergagap dalam melihat gejala semakin menguatnya kekuatan agama di berbagai bidang kehidupan seperti yang ditunjukkan dalam survei PRC.
Hal ini juga menjelaskan mengapa keyakinan agama tetap kokoh di tengah arus sekularisasi sebagai anak kandung modernitas.
Sosiolog kawakan seperti Peter L Berger telah lama mengakui kekeliruan teori sekularisme melalui karyanya, Desecularization of the World (1996). Bahkan, dalam bidang politik, sebagai institusi yang paling sekuler sekalipun, kekuatan agama semakin menguat sebagaimana ditunjukkan Ran Hirschl melalui karyanya, Constitutional Theocracy (2010).
Debat tentang sekularisasi dan sekularisme akan terus berlangsung. Para ilmuwan mencari penjelasan-penjelasan baru karena asumsi bahwa semakin modern masyarakat, dengan penataan kehidupan yang makin kompleks dan makin rasional, maka peran agama kian terpinggirkan, sulit untuk dipertahankan.
Transformasi agama
Survei PRC ini menunjukkan bahwa salah satu kekuatan penting di Asia Tenggara adalah agama. Karena itu, agenda apa pun untuk memperkuat hubungan antarnegara, sebagaimana ditunjukkan melalui KTT ASEAN 2023 di Jakarta beberapa waktu lalu, tak akan berhasil dengan maksimal tanpa melibatkan kekuatan agama.
Kekuatan agama tidak boleh hanya menjadi penonton dari proses perubahan yang terjadi.
Pertanyaannya, apakah kekuatan agama memang layak untuk diajak bicara dalam menentukan arah perubahan? Di sinilah titik krusialnya, karena kita tidak bisa menutup mata, kekuatan agama di berbagai tempat masih menjadi energi untuk memecah-belah daripada sebagai pemersatu.
Konflik antarkelompok agama masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah diselesaikan. Kekuatan agama harus mampu ditransformasikan ke arah yang lebih positif.
Dari sini gagasan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menggelar ASEAN Inter Religious and Inter Conference (IIDC) beberapa bulan lalu untuk memperkuat keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 patut dilanjutkan. Dalam konferensi itu, PBNU menginisiasi agar ASEAN tak hanya menjadi pusat pertumbuhan (epicentrum of growth), tetapi juga harus menjadi pusat kedamaian dan keharmonisan (epicentrum of peace and harmony).
Meski keketuaan ASEAN sudah beralih ke Laos, agenda ASEAN sebagai pusat kedamaian dan keharmonisan harus terus-menerus disuarakan.
Rumadi AhmadTenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Dosen Senior Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta