Ketika wacana Jokowi tiga periode ditolak, sementara kepuasan terhadap kinerja Presiden sangat besar, maka pertanyaannya: suara pendukung Jokowi akan diarahkan ke mana atau kepada siapa? Di sini Kaesang jadi magnet.
Oleh
ASVI WARMAN ADAM
·4 menit baca
Ketika Kaesang Pangarep secara cepat diangkat menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI)—dan sebelumnya putra dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) masing-masing menjadi Wali Kota Solo dan Wali Kota Medan, maka ada komentar tentang ”politik dinasti Jokowi”. Bagaimana menyikapi hal ini secara historis?
Kalau kita bicara dinasti politik, sebetulnya kita menyinggung tentang nepotisme yang sudah diatur dalam Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/1998 dan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Pelaku nepotisme diancam hukuman dua tahun penjara.
Pengertian nepotisme adalah penyelenggaraan negara yang mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan keluarganya secara melawan hukum. Kata kuncinya adalah melanggar hukum, kalau kebijakan itu sesuai dengan UU dan aturan hukum lainnya, tentu boleh saja.
TAP dan UU anti-KKN ini dikeluarkan awal Reformasi karena praktik nepotisme yang merajalela era Orde Baru, terutama pada masa akhir Orde Baru. Bisnis putra-putri Soeharto di mana-mana, salah seorang putrinya diangkat menjadi menteri sosial.
Namun, praktik ”dinasti”, terutama pada bidang politik, tetap berjalan pada era Reformasi karena sistem pemilihan yang terbuka dan langsung berbeda dengan sistem pemilihan berjenjang pada masa Orde Baru.
Agar bisa terpilih, seorang calon anggota legislatif dan eksekutif harus dikenal atau populer di masyarakat. Orang yang menjadi pejabat sipil/militer, pengusaha besar dan artis, termasuk tokoh yang dikenal oleh masyarakat.
Menjadi anak pejabat atau anak artis menyebabkan seseorang juga ikut terkenal.
Namun, praktik ”dinasti”, terutama pada bidang politik, tetap berjalan pada era Reformasi karena sistem pemilihan yang terbuka dan langsung berbeda dengan sistem pemilihan berjenjang pada masa Orde Baru.
Kaderisasi Jokowi
Para pengamat politik yang konvensional berpendapat bahwa kaderisasi anggota partai harus dimulai dari bawah. Secara bertahap dan sejalan dengan perkembangan waktu, baru posisinya meningkat.
Namun, proses atau perjalanan politik Jokowi tidaklah seperti itu. Jokowi bukan kader PDI Perjuangan (PDI-P) sejak muda, tetapi ketika dicalonkan sebagai Wali Kota Solo, ia masuk PDI-P. Jokowi bukan keturunan Soekarno.
Ia ”bukan darah biru, tetapi darah segar” bagi PDI-P yang memahami dan menerapkan ajaran Bung Karno. Jokowi menjadi ”petugas partai”. Setelah sekian tahun, ia ternyata bukan sekadar ”petugas partai”, tetapi seorang Presiden Republik Indonesia yang justru menyumbang dukungan pemilih bagi PDI-P.
Keberhasilan Jokowi memimpin Solo tentu sangat dirasakan segenap masyarakat. Ketika putranya, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai wali kota, ingatan kolektif warga tentu tak lepas dari kepemimpinan sang ayah. Terus melakukan perubahan dan perbaikan di Kota Solo sehingga ada kalangan yang berpendapat bahwa Gibran juga cocok menjadi calon wakil presiden.
Namun, ia belum cukup umur. Jokowi sendiri pernah berkomentar bahwa Gibran masih belum berpengalaman banyak di pemerintahan.
Diangkatnya Kaesang menjadi Ketua Umum PSI merupakan kejutan dan terobosan.
PSI adalah partai anak muda yang sangat majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Dalam pemilu lalu, suara yang diperoleh hanya 1,6 persen dari pemilih sehingga partai ini belum masuk parlemen.
Ketika wacana Jokowi tiga periode ditolak, sementara kepuasan terhadap kinerja Presiden sangat besar, pertanyaannya: suara pendukung Jokowi akan diarahkan ke mana atau kepada siapa? Maka, di sini Kaesang jadi magnet politik tersendiri. Ia seorang pengusaha muda yang sangat kreatif.
Apakah kreativitas itu akan diteruskan selama memimpin partai yang berlabel anak muda sehingga menembus ambang batas masuk parlemen? Dalam pidato pertamanya, Kaesang mengatakan, partai akan dipimpin secara optimisme dengan riang gembira, dan sekali lagi, oleh anak muda. Ini sesuatu yang baru dan bagus bagi dunia politik nasional.
Jangan lupa, Bung Karno pernah mengatakan ”Beri aku 10 pemuda, aku akan mengguncang dunia”.
Kaesang akan berkunjung kepada para ketua partai dan juga secara resmi menemui Presiden RI. Ia juga akan menyerap aspirasi konstituen mudanya, bisa saja pilihannya nanti berbeda dengan ketua umum PSI sebelumnya. Sementara itu, dalam rakernas PDI-P yang berlangsung sejak 29 September 2023, sebaiknya ditegaskan peran dan sumbangan Jokowi kepada PDI-P sehingga pilihan Joko Widodo akan sejalan dengan pilihan partai.
Kesinambungan
Ilmu sejarah membahas keduanya, bahkan kedua merupakan unsur utama. Calon presiden (capres) Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto mengusung tema kesinambungan, sementara Anies Baswedan cenderung pada perubahan. Presiden Jokowi sendiri sangat perhatian terhadap aspek kesinambungan.
Pada masa Orde Baru, periodisasi pembangunan dibingkai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh MPR. Namun, kini MPR tidak dapat lagi mengeluarkan ketetapan.
Apa yang dikritik sebagai ”politik dinasti” Jokowi itu sebetulnya bagian politik kesinambungan yang dilakukan Bung Karno sejak Pembangunan Semesta Berencana.
Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P, sangat peduli dengan pembangunan yang berkesinambungan ini agar tidak ”ganti presiden ganti arah pembangunan”. Rancangan Pembangunan Semesta Berencana yang dikeluarkan Presiden Soekarno tahun 1960-an (sayang terhenti karena Peristiwa 1965), bisa dijadikan model.
Saya kira Presiden Jokowi sudah mengadopsi Pembangunan Semesta Berencana ini, yang direalisasikan dengan mengeluarkan omnibus law. Pembangunan ibu kota baru IKN di Kalimantan juga melaksanakan apa yang belum berhasil pada era Soekarno.
Apa yang dikritik sebagai ”politik dinasti” Jokowi itu sebetulnya bagian politik kesinambungan yang dilakukan Bung Karno sejak Pembangunan Semesta Berencana. Namun, yang perlu diperhatikan adalah pembangunan yang akan dilanjutkan secara masif itu harus berdasar konstitusi, hukum, keadilan, dan hak asasi manusia.
Kita sepakat dan menginginkan dalam 100 tahun setelah Indonesia merdeka, yaitu tahun 2045, Indonesia sudah menjadi negara yang lebih maju.
Asvi Warman AdamProfesor Riset bidang Sejarah Sosial Politik BRIN