Dibukanya Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) oleh Presiden Joko Widodo, 26 September 2023, menandai dimulainya aktivitas perdagangan karbon di Indonesia.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Presiden Joko Widodo mengungkapkan, dari besaran target pengurangan emisi gas rumah kaca, potensi perdagangan karbon ditaksir mencapai Rp 3.000 triliun. Dana ini selanjutnya bisa diputar kembali untuk proyek-proyek pengurangan emisi karbon.
Keberadaan bursa itu wujud konkret komitmen dekarbonisasi Indonesia menuju nol emisi karbon pada 2060. Berdasarkan dokumen kontribusi nasional (NDC) terbaru, kita ditargetkan mengurangi lebih dari 3 gigaton CO2 hingga 2030.
Pada perdagangan perdana, Selasa (26/9/2023), berhasil diperdagangkan 459.953 ton unit karbon senilai Rp 29,2 miliar dalam 27 transaksi. Penjualnya Pertamina, sementara pembelinya didominasi industri perbankan dan keuangan.
Sayangnya, hari berikutnya tak terjadi transaksi. Ibarat barang baru, mungkin kita semua masih belajar. Bagaimana menggairahkan bursa karbon menjadi tantangan mendesak kita selanjutnya. Di sini perlu kerja keras, komitmen, konsistensi, dan transparansi. Hal ini penting bukan hanya karena potensi dan komitmen di NDC, melainkan juga karena kita menjadi salah satu pihak yang paling akan merasakan dampak perubahan iklim ekstrem.
ASEAN, tempat kita tinggal, menurut Swiss Re Institute, paling berisiko merasakan dampak terparah perubahan iklim. Dalam skenario terburuk, potensi penurunan produk domestik bruto (PDB) ASEAN mencapai 37,4 persen. Angka ini lebih besar daripada risiko penurunan PDB dunia yang hanya 18 persen di 2050 jika iklim dan suhu bumi terus meningkat.
Dilihat potensi ke depan, bursa karbon Indonesia akan menjadi yang terbesar di ASEAN, bahkan salah satu yang terpenting di dunia. Di sektor pembangkit listrik, kita memiliki puluhan PLTU berbasis batubara yang berpotensi ikut perdagangan. Belum lagi sektor kehutanan, pertanian, limbah, migas, industri umum, kelautan, dan lainnya.
Mengatasi berbagai tantangan yang menghambat perkembangan bergairahnya perdagangan di bursa menjadi kunci penting, termasuk terkait regulasi dan pengawasan. Juga bagaimana memaksa perusahaan memanfaatkan platform ini. Saat ini saja belum ada regulasi yang memaksa perusahaan men-disclose berapa emisi karbon yang dibuatnya untuk menghitung berapa kompensasi yang harus dibayarkan.
Dari pengalaman beberapa negara, perdagangan karbon harus dibarengi pajak karbon, upaya serius mendorong portofolio bisnis yang ramah lingkungan, dan keseriusan mewujudkan transisi energi yang terjangkau dan berkeadilan.
Pekerjaan rumah kita masing-masing juga besar. Komitmen dan konsistensi pemerintah sering dipertanyakan. Ada indikasi masih akan digunakan batubara yang tinggi emisi dan pemberian izin konsesi baru di lahan gambut dan hutan. Bank BUMN pun masih ada yang gencar mengucurkan kredit ke proyek yang mengotori bumi. Belum lagi kemungkinan perusahaan lebih suka membeli karbon ketimbang membangun bisnis hijau ramah lingkungan.