Embel-embel impor membuat barang dinilai lebih berkelas. Di sisi lain, barang impor produksi massal berharga murah sehingga menekan produk dalam negeri.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Topik perihalsocial commerce mencuat, yang dipicu, antara lain, barang impor yang dijual lewat platform digital dan kios-kios di Pasar Tanah Abang yang sepi. Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Perdagangan, lantas menegaskan, e-commerce tidak boleh menyatu dengan medial sosial dalam satu platform. Hal lain, kedua platform itu tak boleh menjual produknya sendiri, tetapi menjual produk usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM (Kompas.id, 27/9/2023).
Kedua hal itu disebutkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Permendag itu merupakan revisi atas Permendag Nomor 50/2020.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kondisi salah satu mesin produksi tekstil yang tidak diopererasikan oleh pabrik tekstil di Majalaya, Bandung, Jawa Barat, karena kurangnya orderan yang masuk, Kamis (30/3/2023). Masifnya kain impor yang membanjiri pasar lokal menyebabkan industri tekstil Majalaya kekurangan pesanan dan terpuruk. KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK) 30-03-2023
Di balik riuh rendah pembahasan soal social commerce, ada persoalan lain yang tak kalah mendesak untuk dituntaskan. Persoalan itu berupa kekuatan industri di dalam negeri untuk menghasilkan produk yang diperlukan masyarakat. Produk berkualitas dengan harga murah dan mudah diperoleh akan membuat masyarakat berpaling dari barang impor.
Kompas pernah memberitakan pengusaha tekstil yang mengaku tertekan produk impor yang membanjiri pasar dengan harga murah. Ada pula pelaku usaha industri keramik yang menyebutkan keramik impor banyak masuk ke Indonesia dengan harga yang lebih murah ketimbang produk sejenis yang diproduksi di dalam negeri.
Persoalan itu berupa kekuatan industri di dalam negeri untuk menghasilkan produk yang diperlukan masyarakat.
Barang yang diimpor Indonesia bermacam-macam, yang berdasarkan penggunaannya digolongkan menjadi bahan baku/penolong, barang modal, dan barang konsumsi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor pada Januari-Agustus 2023 senilai 147,178 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, 72,92 persen berupa bahan baku/penolong, 17,57 persen barang modal, dan 9,51 persen berupa barang konsumsi.
KOMPAS/PRIYOMBODO
(Ilustrasi) Aktivitas pengiriman mobil di Tanjung Priok Car Terminal, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu.
Pemerintah telah mengupayakan Indonesia menjadi basis produksi dan ekspor produk, bukan sekadar pasar, sehingga dapat menikmati devisa hasil ekspor dan tenaga kerja lokal dapat terserap. Tanpa cara itu, Indonesia, dengan jumlah penduduk 270,2 juta jiwa pada 2020, merupakan pasar produk impor yang menjanjikan.
Pasar yang besar juga jadi pertimbangan seorang pengusaha saat akan menutup pabriknya di Indonesia. Padahal, hati kecilnya sungguh ingin menjaga kelangsungan pabrik itu, berikut karyawan dan keluarganya. ”Kalau menilik situasi dan kondisi, lebih enak jadi pengimpor, enggak pusing ngurusin ini itu untuk produksi,” katanya, delapan tahun lalu.
Impor merambah pengusaha kecil hingga besar. Tak hanya mesin pabrik, makanan-minuman, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, tetapi benang yang dibutuhkan penenun di banyak wilayah di Tanah Air serta kain yang dikreasikan pelaku UMKM di Indonesia juga ada yang diimpor. Barang impor, yang dijual melalui berbagai platform, ada di mana-mana.