Tantangan Pensiun Dini PLTU
Benarkah energi yang murah tapi kotor seperti batubara (PLTU) meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan menarik investasi asing? Mungkin tidak. Satu dekade terakhir, kesadaran lingkungan meluas di seluruh dunia.

Ilustrasi
Dua tantangan mengadang program pensiun dini PLTU barubara, JETP, yaitu transparansi dan komitmen.
Pada pertemuan G20 tahun 2022 di Bali, Pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG) telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dan meluncurkan program Just Energy Transition Partnership (JETP). Dalam MoU itu, Indonesia berkomitmen mencapai target bebas emisi (net-zero emissions /NZEs) di bidang ketenagalistrikan pada 2050.
Untuk mencapai target ini, konsorsium IPG merekomendasikan penghentian pembangunan PLTU batubara baru di Indonesia mulai 2021 dan seterusnya, meningkatkan pembangunan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT), dan menutup lebih awal (pensiun dini) PLTU.
IPG berkomitmen menyediakan pendanaan 20 miliar dollar AS (sekitar Rp 310 triliun) yang terdiri dari hibah, pinjaman dari lembaga nirlaba, dan pinjaman komersial. Berdasarkan pengalaman negara-negara Afrika yang telah menjalankan program serupa, jumlah dana hibah “hanya” sekitar 3 persen dari total proyek. Kemungkinan besar, jumlah dana hibah untuk Indonesia juga akan berada di kisaran angkat ini. Artinya, mayoritas pendanaan program JETP akan berupa utang.
Fokus utama pendanaan JETP adalah menutup lebih awal PLTU sehingga tak memiliki imbal hasil (return) secara langsung. Dengan demikian, pembayaran utang dan bunga di masa depan kemungkinan besar menggunakan APBN.
Fokus utama pendanaan JETP adalah menutup lebih awal PLTU sehingga tak memiliki imbal hasil ( return) secara langsung.
Program ini melibatkan dana publik yang sangat besar dan akan menjadi beban masyarakat Indonesia di masa menda -tang. Sayangnya publikasi masalah ini masih tergolong minim. Berdasarkan survei yang dipublikasikan Center of Economic and Law Studies (Celios) pada 2023, sekitar 76 persen masyarakat belum tahu rencana ini. Selain itu, belum ada anggota Dewan atau lembaga pengawas lain yang membahas persoalan ini secara serius.
Dua masalah
Di tengah minimnya publikasi dan pengawasan, kami mencatat setidaknya ada dua masalah krusial di program JETP.
Pertama, transparansi. Perlu diketahui bahwa sebagian besar PLTU yang beroperasi di Indonesia milik pihak ketiga atau Independent Power Producer (IPP). PLN membeli listrik dari IPP berdasarkan kontrak dalam jangka waktu rata- rata 20-30 tahun. Jika PLTU ditutup sebe- lum waktunya, pemerintah harus mengganti keuntungan IPP sampai masa kontrak selesai.
Misalnya, jika PLTU ditutup 10 tahun lebih awal, maka pemerintah perlu mengganti keuntungan investor selama 10 tahun tersebut. “Ganti untung” untuk IPP inilah yang akan dibiayai dalam program JETP.
Selama ini, pembelian listrik PLN dari IPP berbentuk transaksi bisnis (B-to-B). Kontrak bisnis masuk kategori rahasia perusahaan sehingga publik tak bisa mengakses segala detail yang berhubungan dengan nilai dan harga kontrak. Kondisi ini akan berubah ketika PLTU ditutup lebih awal. Biaya penutupannya tak lagi menggunakan dana PLN, tapi menggunakan dana publik. Dengan demikian, transaksinya bukan lagi B-to-B, tapi B-to-G atau antara IPP dengan pemerintah (publik).
Adapun lembaga pembiayaan dan investor hanya membantu pembiayaan sementara. Posisi mereka sama seperti bank atau perusahaan pembiayaan dalam transaksi kredit motor atau mobil. Pembayar terakhir atau bohir-nya adalah publik atau pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus tahu detail angkanya. Perlakuan transaksi dalam program JEPT sama dengan perlakuan APBN lainnya yang harus dibuka kepada publik secara transparan.
Transparansi ini menyangkut segala hal mulai dari proses pemilihan pembangkit yang akan ditutup lebih awal, perhitungan nilai ganti untung, biaya bunga pinjaman, dan segala proses yang menyertainya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F31%2Fad756ffd-50ed-4691-a22c-237c18ef0ba5_jpg.jpg)
Aktivitas PLTU Surayala di Kecamatan Pulomerak, Kota Cilegon, Banten, Senin (28/8/2023). KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS) 28-8-2023
Kedua, komitmen. Penutupan PLTU hanya akan efektif jika tak ada lagi PLTU yang akan dibangun di seluruh kawasan Indonesia. Jika masih ada PLTU yang dibangun maka program ini jadi sia-sia, seperti menggarami air laut. Ini mirip program pembersihan bantaran sungai dengan relokasi penduduk yang tinggal di bantaran sungai. Jika setelah dipindahkan (dan diberi ganti untung), warga masih diizinkan membangun kembali rumah di bantaran sungai, maka program itu sia-sia.
Saat ini, kemungkinan besar pemerintah tak akan membangun PLTU di jaringan PLN. Beberapa PLTU yang tercantum dalam rencana jangka panjang PLN (RUPTL) pun juga akan dibatalkan. Namun, pembangunan PLTU untuk industri mungkin masih akan berlanjut karena hal itu berhubungan dengan daya saing industri, terutama untuk industri hilirisasi.
Daya saing
PLTU untuk meningkatkan daya saing industri masuk dalam area abu-abu. Benarkah energi yang murah tapi kotor seperti batubara (PLTU) meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan menarik investasi asing? Mungkin tidak.
Perlu diketahui, dalam 10 tahun terakhir, kesadaran lingkungan hidup telah menjalar di seluruh dunia. Perusahaan-perusahaan besar dan terkemuka mulai mengimplementasikan standar ESG dan lingkungan hidup yang tinggi untuk meningkatkan citra mereka.
Karena itu, perusahaan-perusahaan besar itu mencari negara-negara yang telah memenuhi standar lingkungan hidup yang tinggi dan bisa menyediakan energi yang bersih. Ini mungkin alasan Tesla memilih Malaysia dan Intel memilih Vietnam. Indonesia menjadi kurang menarik bagi mereka.
Perusahaan-perusahaan yang menerapkan standar tinggi dalam ESG, umumnya juga membayar karyawan lebih baik dan memiliki nilai tambah ekonomi lebih besar daripada perusahaan lain pada umumnya.
Benarkah energi yang murah tapi kotor seperti batubara (PLTU) meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan menarik investasi asing? Mungkin tidak.
Energi kotor yang murah (PLTU) hanya akan meningkatkan daya saing di lingkungan perusahaan yang berstandar rendah. Sementara, perusahaan-perusahaan berstandar rendah, secara umum, juga menggaji karyawan lebih murah dan memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih kecil.
Jadi, dengan mengandalkan energi kotor, kita menarik perusahaan-perusahaan berstandar rendah dengan upah yang lebih rendah dan nilai tambah ekonomi yang juga rendah. Sebaliknya, daya saing kita justru turun di lingkungan perusahaan-perusahaan terkemuka yang berstandar tinggi, yang membayar upah lebih mahal, dan bernilai tambah tinggi.
Selain menurunkan daya saing kita di level perusahaan berstandar tinggi, pembangunan PLTU untuk industri juga mengancam efektivitas program JETP. Sayang jika dengan biaya ratusan triliun yang akan menambah utang masyarakat di masa depan, program penutupan PLTU itu jadi sia-sia.
Baca juga : Sebanyak 15 PLTU Bisa Dipensiundinikan hingga 2030
Abdurrahman Arum Direktur Eksekutif Transisibersih.org