Tahun ini UU Statistik genap berusia 25 tahun. Perkembangan zaman menghadirkan urgensi atas revisi undang- undang tersebut. Dinamika kurun waktu 25 tahun memunculkan tantangan-tantangan baru penyelenggaraan statistik.
Oleh
MARGARETHA ARI ANGGOROWATI
·4 menit baca
Badan Pusat Statistik, sebagai lembaga pemerintah yang menyelenggarakan statistik dasar, bekerja sesuai amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik. Tahun ini UU Statistik genap berusia 25 tahun. Perkembangan zaman menghadirkan urgensi atas revisi undang- undang tersebut.
Divisi Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNSD) mendefinisikan national statistics office (NSO) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penyelenggaraan statistik nasional di sebuah negara. Sebagai NSO, Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki fungsi: mengumpulkan, mengompilasi, dan mendiseminasi statistik nasional (official statistics).
Capaian BPS signifikan dalam menghasilkan statistik untuk pembangunan nasional. Indikator-indikator penting yang dibutuhkan untuk menentukan arah pembangunan disediakan oleh BPS. Indikator itu, antara lain, angka pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan, nilai ekspor impor, capaian indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan indikator pertanian.
BPS telah berupaya membangun tata kelola statistik nasional yang terpadu melalui kerangka Satu Data Indonesia (SDI). Hal ini dilakukan melalui pemberian rekomendasi statistik, pembinaan statistik sektoral, pendampingan dalam pelaksanaan statistik sektoral, pembinaan statistik masyarakat dan perangkat desa, serta pengembangan statistik melalui Pojok Statistik di perguruan tinggi. Namun, dinamika pada kurun waktu 25 tahun memunculkan tantangan-tantangan baru dalam penyelenggaraan statistik nasional.
Tahun ini UU Statistik genap berusia 25 tahun. Perkembangan zaman menghadirkan urgensi atas revisi undang- undang tersebut.
Adanya ego sektoral dan tumpang tindih kegiatan statistik menjadi bentuk tantangan. Ada pula problem duplikasi dan minimnya keterpaduan statistik, serta keengganan berbagi-pakai data. Tantangan lain, kelembagaan statistik yang lemah. Hal ini terkait beragam ukuran dan kapasitas unit statistik di kementerian, lembaga, satuan kerja perangkat daerah, atau institusi.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga memunculkan tantangan. Misalnya, sumber data baru, yaitu big data yang semakin kuat. Hal ini menuntut adanya modernisasi penyelenggaraan statistik.
Problem lain, partisipasi masyarakat pada kegiatan statistik nasional juga dirasakan lemah.
Urgensi revisi
Kita perlu melihat apakah BPS sebagai NSO memiliki kewenangan dan otoritas yang cukup kuat. Tidak hanya untuk melaksanakan kegiatan statistik, tetapi juga membangun statistik nasional yang andal.
BPS sebagai penyedia data nasional seharusnya mendapatkan hak untuk mengakses data dari penyedia sumber data. Dengan kata lain, kedudukan BPS sebagai pembina statistik sektoral dan penyedia data nasional harus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan statistik nasional masih harus diperkuat. Hal ini dirasakan secara langsung oleh BPS, khususnya, ketika harus menghadapi respondent burden yang memengaruhi response rate dari pelaksanaan kegiatan statistik nasional.
Munculnya sumber data baru seperti big data perlu diperjelas dan diatur penggunaannya dalam tata kelola. Big data melibatkan mekanisme yang tidak sederhana, baik dari sisi regulasi maupun teknis implementasi.
Modernisasi pelaksanaan kegiatan statistik juga penting untuk diatur dalam undang-undang. Modernisasi ini akan melibatkan integrasi data dan kegiatan statistik dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pengelolaan sumber data, manajemen data, penjaminan kualitas, dan sebagainya.
Dibutuhkan rumah besar baru yang dapat menjamin statistik nasional Indonesia berkembang baik. Rumah besar statistik nasional akan menjadi tata kelola kegiatan statistik, agar dapat berjalan baik.
Beberapa hal yang perlu diatur dalam tata kelola statistik adalah pengaturan terhadap penyedia sumber data. Penyedia sumber data akan melibatkan sektor swasta dan masyarakat, kementerian, lembaga, dan daerah serta responden yang menjadi bagian dalam kegiatan pendataan statistik. Partisipasi masyarakat juga perlu didorong, baik dari perguruan tinggi, organisasi profesi, maupun forum statistik di masyarakat yang keberadaannya dapat sampai di tingkat desa.
Mengingat beberapa hal di atas, revisi UU Statistik penting dilakukan agar tata kelola statistik nasional lebih baik.
Dampak penguatan
Revisi UU Statistik akan berdampak langsung pada terbangunnya rumah besar statistik nasional. Tata kelola baru itu akan memperkuat kepastian hukum bagi penyelenggara kegiatan statistik, baik dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat.
Revisi juga akan menjamin kepentingan masyarakat sebagai pengguna statistik dan nilai informasi yang didapat. Tata kelola baru juga akan menjamin pelaksanaan koordinasi dan kolaborasi berbagai pihak secara efisien. Hal ini menjadi bentuk antisipasi terhadap perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat berdampak pada penyelenggaraan statistik.
Dibutuhkan rumah besar baru yang dapat menjamin statistik nasional Indonesia berkembang baik. Rumah besar statistik nasional akan menjadi tata kelola kegiatan statistik, agar dapat berjalan baik.
Pada 26 September 2023, Indonesia memperingati Hari Statistik Nasional. Penyelenggaraan kegiatan statistik tidak hanya dilakukan BPS dan pemerintah. Masyarakat dan pihak swasta pun menjadi bagian dalam pengembangan statistik nasional.
Sudah selayaknya penyelenggaraan statistik didukung semua pihak. Revisi UU Statistik termasuk bentuk dukungan ini. Koordinasi dan kolaborasi antarkementerian/lembaga menjadi kunci penting. Hal ini menuntut dilepaskannya ego sektoral agar terwujud tata kelola bersama yang efisien.
Semoga dengan revisi UU Statistik akan terbangun rumah besar statistik nasional. Selamat Hari Statistik Nasional.