Rancangan Perpres PKUB, Langkah Maju atau Jalan di Tempat?
Perpres PKUB telah banyak mengusulkan perubahan yang dapat memajukan kerukunan umat beragama di Indonesia, tetapi ada beberapa aspek yang membingungkan dan memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Ilustrasi
Pada 9 Juli 2018, Kompas memuat tulisan penulis, berjudul ”Mayoritarianisme Agama”, yang mengkritik lembaga Forum Kerukunan Umat Beragama. Kini, setelah lima tahun tulisan tersebut terbit, upaya untuk menata ulang lembaga ini tengah dilakukan. Hal tersebut dapat terlihat dalam draf Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama yang saat ini beredar luas di masyarakat.
Di draf tersebut, pemerintah berupaya mengatur ulang lembaga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan prosedur izin pendirian rumah ibadah yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006. Setelah membaca draf Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB) tahun 2023, penulis optimistis pemerintah berada di jalur yang tepat.
Meski begitu, ada beberapa hal yang tetap menjadi pertanyaan karena kurang lengkapnya penjelasan yang diberikan. Selain itu, ada beberapa bagian yang tampak tidak berubah, terutama dari sisi pendekatan yang dilakukan negara dalam melihat rumah ibadah.
Baca Juga: Pemerintah Daerah Dinilai Belum Optimal Menjaga Kerukunan Antarumat Beragama
Langkah maju
Selain dibentuk FKUB tingkat nasional, setidaknya ada dua perubahan besar yang memperlihatkan langkah maju pemerintah dalam mengelola umat beragama. Pertama, perubahan pada anggota yang lebih mempertimbangkan aspek proporsionalitas. Kedua, perubahan terhadap tugas dan wewenang FKUB dalam mengelola kerukunan agama.
Draf Perpres PKUB tahun 2023 mengatur perihal keterwakilan perempuan pada setiap level FKUB. Pada aturan sebelumnya, FKUB tidak mengatur soal keterwakilan perempuan. Maka, tidak mengherankan sangat sulit menemukan anggota FKUB dari unsur perempuan di seluruh Indonesia. Padahal, ada begitu banyak kasus konflik agama di masyarakat yang melibatkan perempuan sebagai korban.
Perubahan juga dilakukan dalam hal pendekatan pemilihan anggota yang tidak lagi berdasarkan perbandingan jumlah penganut agama dan beralih ke pendekatan proporsionalitas. Ini adalah langkah proaktif untuk mencegah dominasi agama tertentu dalam forum ini.
Terkait kewenangan FKUB, draf perpres 2023 tidak lagi memberi mandat kepada FKUB untuk mengeluarkan izin pendirian rumah ibadah.
Perpres PKUB ke depan juga akan secara rinci mengatur proses pengajuan dan pemberhentian anggota. Sebelumnya, proses ini sangat politis karena sangat kuat pengaruh dari kepala daerah dalam menentukan anggota FKUB. Kini, pengajuan menjadi anggota harus terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari organisasi keagamaan.
Terkait kewenangan FKUB, draf perpres 2023 tidak lagi memberi mandat kepada FKUB untuk mengeluarkan izin pendirian rumah ibadah. Ke depan, izin pendirian rumah ibadah hanya perlu rekomendasi dari Kementerian Agama. Ini adalah langkah yang baik karena laporan-laporan penelitian menunjukkan adanya pengaruh FKUB dalam konflik rumah ibadah di daerah-daerah.

Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto berpidato menjelang penyerahan simbolis lahan hibah untuk dibangun GKI Yasmin di halaman Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Pengadilan, Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (13/6/2021). Konflik masalah pendirian rumah ibadah GKI Yasmin berlangsung sejak 2006.
Ambigu
Meskipun Perpres PKUB telah banyak mengusulkan perubahan yang dapat memajukan kerukunan umat beragama di Indonesia, masih ada beberapa aspek yang membingungkan dan memerlukan penjelasan lebih lanjut. Salah satu hal yang masih dipertanyakan adalah posisi kepala daerah dalam FKUB.
Apabila pada aturan di tahun 2006 diatur soal dewan pengawas FKUB yang dibentuk oleh kepala daerah. Dalam aturan yang sedang disusun, tidak ada lagi struktur dewan pengawas. Hal ini memberi pertanyaan berkaitan peran aktif kepala daerah dalam FKUB yang baru. Apakah mereka masih memiliki otoritas untuk ”mengarahkan” FKUB? Atau FKUB menjadi independen dan lepas dari kepentingan kepala daerah. Meski memerlukan waktu yang lebih untuk mengetahui hal ini, tetapi kejelasan mengenai hal ini sangat dibutuhkan.
Baca Juga: Silaturahmi Antarumat dan Antariman
Kemudian, masalah lain yang membingungkan adalah syarat rekomendasi dari ormas keagamaan untuk menjadi anggota FKUB. Meski Perpres PKUB tahun 2023 sudah memberi penjelasan yang dimaksud ormas keagamaan, tetapi tidak ada rincian batasan ormas keagamaan yang dapat memberi rekomendasi. Apa kriteria yang digunakan untuk menentukan ormas mana yang memenuhi syarat untuk memberikan rekomendasi? Kekaburan dalam hal ini dapat membuka pintu bagi manipulasi dan konflik potensial. Oleh karena itu, penjelasan yang lebih rinci dan transparan mengenai syarat-syarat ini sangat penting.
Ambiguitas juga ditemukan pada Pasal 23 dari Rancangan Perpres PKUB yang menguraikan tiga jenis syarat, yaitu syarat khusus, syarat administrasi, dan syarat bangunan gedung. Hanya syarat khusus yang dijelaskan secara rinci, sementara kedua syarat lainnya tidak mendapatkan penjelasan yang sama. Hal ini bisa mengakibatkan kebingungan dan ketidakpastian dalam proses pendirian rumah ibadah.

Tidak berubah
Masih ada beberapa aspek dalam draf Perpres PKUB yang tampaknya tidak berubah dari pendekatan sebelumnya, terutama dalam pengaturan izin rumah ibadah. Misalnya, masih digunakannya paradigma kerukunan dan ketertiban untuk menyelesaikan masalah agama.
Hal ini misalnya pada Pasal 27 Ayat (2), izin penggunaan rumah ibadah sementara mempertimbangkan ketentraman dan ketertiban masyarakat di sekitar. Meskipun penting untuk memastikan ketertiban masyarakat sekitar, pemberian izin seharusnya lebih didasarkan kepada prinsip-prinsip hak asasi manusia daripada pertimbangan ketertiban semata. Menurut penulis, menggunakan pendekatan kerukunan dan ketertiban sangat berpotensi membatasi kebebasan beragama individu dan kelompok.
Syarat jumlah anggota yang masih tetap sebesar 90 anggota dan 60 masyarakat setempat untuk proses izin juga patut dipertanyakan. Syarat ini bisa menjadi hambatan bagi kelompok kecil atau minoritas yang ingin mendirikan rumah ibadah. Ini menciptakan ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadap berbagai kelompok agama.
Selain itu, hal ini juga bisa menjadi alat potensial bagi kelompok mayoritas untuk menghalangi kelompok minoritas dalam mendirikan rumah ibadah mereka. Ada begitu banyak kasus pelanggaran hak beragama yang terjadi karena menggunakan pendekatan ini sebagai syarat pendirian rumah ibadah.
Rancangan Perpres PKUB Tahun 2023 juga belum menyinggung kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selain aturan-aturan bermasalah yang masih tetap dipertahankan, rancangan Perpres PKUB Tahun 2023 juga belum menyinggung kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sangat disayangkan, kelompok kepercayaan belum mendapatkan tempat dalam kebijakan kerukunan umat beragama di Indonesia. Meski secara struktur dan kelembagaan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak disamakan dengan agama, tetapi secara empiris dimasyarakat ada banyak kasus-kasus konflik agama yang melibatkan kelompok penganut kepercayaan.
Salah satu yang paling mendesak ialah pemerintah perlu memberi perlindungan terhadap hak mendirikan tempat ibadah dan melakukan ritual kepercayaan bagi penganut kepercayaan. Rancangan Perpres PKUB haruslah berjalan seiringan dengan semangat pemerintah yang tengah berupaya untuk melakukan politik rekognisi terhadap masyarakat adat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2Fc0227a9b-3b2a-43a4-9a20-1845a6533654_jpeg.jpg)
Pemuda Islam ikut menjaga keamanan saat perayaan malam Natal di depan Katedral St Fransiskus Xaverius, Kota Ambon, Maluku, pada Sabtu (24/12/2016). Begini potret kebersamaan antarumat beragama di daerah yang pernah dilanda konflik sosial bernuansa agama itu.
Beralih ke syarat fungsi
Untuk memastikan keseimbangan antara kerukunan dan hak beragama dapat tercapai, penulis menawarkan syarat fungsi dalam memberi izin pendirian rumah ibadah. Syarat fungsi ini menggantikan syarat jumlah anggota yang selama ini digunakan pemerintah.
Setidaknya ada dua jenis syarat fungsi ini. Pertama, syarat fungsi operasional yang dapat dilihat dari kegunaan rumah ibadah bagi penganut agama. Kedua, syarat fungsi tata ruang yang dapat disesuaikan dengan konsep tata ruang di satu wilayah.
Pada syarat pertama, izin rumah ibadah diberikan berdasarkan adanya kebutuhan untuk melakukan ibadah dari penganut agama. Jadi, tidak lagi ditentukan oleh jumlah pengguna 90 orang seperti yang telah dipraktikkan.
Baca Juga: Pemerintah dan Konflik Rumah Ibadah
Pemerintah dapat mempertimbangkan pendirian rumah ibadah karena adanya kebutuhan umat beragama untuk mendirikan rumah ibadah ditempat tersebut. Misalnya, kebutuhan tersebut karena tidak ada lagi rumah ibadah lain yang dapat dijangkau. Meski Rancangan Perpres PKUB sudah mengatur rumah ibadah sementara, tetapi praktiknya ini sangat sulit terealisasi karena harus mendapatkan dukungan masyarakat sekitar.
Saat ini ada banyak rumah ibadah yang dibangun tidak mempertimbangkan konsep tata ruang yang baik. Dengan mempertimbangkan tata ruang ini, pemerintah dapat mengatur jumlah rumah ibadah yang ada di satu wilayah.
Saat ini, ada banyak rumah ibadah di mana penggunanya berasal dari ajaran keagamaan yang sama dibangun berdekatan. Padahal, dari sisi kegunaan, tidak diperlukan lagi rumah ibadah yang baru di wilayah yang sama. Pemerintah dapat mengevaluasi rumah ibadah yang tidak lagi memiliki pengguna dan memberi rekomendasi ditutup apabila memang diperlukan.
Yogi Febriandi, Ketua Prodi Pemikiran Politik Islam IAIN Langsa, Aceh; Anggota Institute for the Study of Freedom of Religion or Belief (ISFORB)
Instagram: yogi_febriandi