Perpajakan dalam Pilpres
Demokrasi memberikan rakyat kuasa untuk membicarakan apa-apa yang penting sebelum memutuskan. Ini berlaku juga untuk kebijakan perpajakan di Indonesia. Pilpres 2024 adalah momentum yang tepat untuk membicarakannya.

Ilustrasi
Dalam pidatonya pada upacara wisuda UC-Berkeley pada 2007, peraih Nobel Ekonomi Thomas Sargent mengatakan, ”Ketika pemerintah belanja, yang pada akhirnya membayar adalah rakyat.”
Meskipun singkat, pesan Sargent padat merangkum bagaimana program pemerintah seharusnya dipahami dan relevan dengan situasi Indonesia menjelang Pemilihan Presiden 2024.
Para kandidat presiden mulai melempar janji membangun. Mulai dari BBM gratis, dana desa Rp 5 miliar per desa per tahun, tunjangan atau subsidi untuk semua ibu hamil di Indonesia sebesar Rp 6 juta per orang per bulan, makan siang dan minum susu gratis untuk semua pelajar, kenaikan gaji guru, hingga melanjutkan pembangunan ibu kota baru. Dari pertanian hingga pertahanan.
Dalam konteks Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), fokus mereka terbatas pada ”belanja” saja. Belanja pemerintah tentu penting dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Namun, perlu diingat, membangun apa pun tidak bisa dikerjakan dengan cuma-cuma. Sayangnya, belum ada kandidat yang dengan rinci menjelaskan mekanisme pembiayaan untuk program-program mereka.
”Pendapatan” dalam APBN, yang mayoritas ditopang perpajakan, jarang diperhatikan, padahal kebijakan perpajakan langsung berdampak pada penghasilan bersih masyarakat.
Sayangnya, belum ada kandidat yang dengan rinci menjelaskan mekanisme pembiayaan untuk program-program mereka.
Pentingnya pajak
Pentingnya pajak dapat ditinjau dari segi kedaulatan, kesejahteraan, dan keadilan. Pertama, sejarah mencatat bagaimana nenek moyang bangsa Indonesia ”dipajaki” secara tak manusiawi semasa era kolonial. Salah satunya adalah verplichte leverantie, paksaan menyetor hasil bumi kepada Belanda, yang kemudian turut memicu Perang Jawa 1825-1830.
Pascakemerdekaan 1945, bangsa Indonesia memang tak lagi wajib membayar kepada para penjajah. Akan tetapi, negara tetap perlu beroperasi. Dukungan sumber daya dari rakyat justru makin diperlukan sehingga Indonesia tak bergantung pada bangsa lain. Agar bisa berdaulat, sebuah negara perlu memungut pajak.
Kedua, pajak yang dibayarkan rakyat idealnya kembali ke rakyat dalam bentuk barang publik demi mendukung kesejahteraan umum. Teori ekonomi menjelaskan bahwa individu-individu dalam sistem ekonomi tak akan menyuplai barang publik dengan sukarela.
Oleh karena itu, pemerintahlah yang harus melakukannya. Di negara-negara Skandinavia, sistem pendidikannya gratis sampai kuliah, biaya kesehatannya ditanggung pemerintah, dan transportasi umumnya terjangkau. Barang publik yang tersedia luas ini dimungkinkan oleh kebijakan perpajakannya.
Pada 2021, rasio pendapatan pajak atas produk domestik bruto (PDB) Denmark dan Swedia berturut-turut adalah 46,9 persen dan 42,6 persen, lebih tinggi daripada Amerika Serikat (24,5 persen) dan Singapura (12,6 persen). Sebagai pembanding, di Indonesia rasionya berkisar 10,9 persen.

Ketiga, pajak adalah alat mewujudkan keadilan sosial. Semangat ini mendasari penentuan tarif berlapis pajak penghasilan di Indonesia. Sistemnya progresif, yang artinya semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin tinggi tarif pajak yang ia bayarkan. Ada juga pajak penjualan atas barang mewah.
Barang-barang seperti jet pribadi (50 persen) dan kapal pesiar (75 persen) dikenai tarif jauh di atas pajak pertambahan nilai atas konsumsi umum masyarakat (11 persen). Atas nama keadilan, negara kemudian dibenarkan mendistribusikan pajak yang terkumpul dari kelompok kaya ini untuk membantu kelompok miskin.
Pajak bisa dikorupsi
Sistem perpajakan yang berlaku dalam sebuah negara, termasuk undang-undang dan administrasinya, adalah hasil pemikiran dan kerja manusia. Maka, seperti kebijakan pemerintah lainnya, pajak tak bebas dari potensi malaadministrasi dan bahkan korupsi.
Awal tahun ini, misalnya, perhatian masyarakat Indonesia tertuju pada pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rafael Alun Sambodo, yang terungkap punya aset pribadi bernilai puluhan miliar rupiah. Angka tersebut tidak masuk akal untuk standar gaji birokrat selevelnya. Jauh sebelumnya, Gayus Tambunan juga melegenda karena, tanpa status eselon, kekayaannya diduga menembus seratus miliar rupiah.
Rentetan kasus demi kasus semacam ini mencederai kepercayaan publik atas institusi perpajakan. Anjuran seperti ”lunasi pajaknya, awasi penggunaannya” dan ”orang bijak taat pajak” jadi kehilangan makna. Ibarat pedang bermata dua, pajak yang semula diaspirasikan membawa manfaat ternyata malah berujung mudarat.
Pemerintah punya banyak pekerjaan rumah, dan memulihkan integritas administrasi DJP adalah salah satunya.
Atas nama keadilan, negara kemudian dibenarkan mendistribusikan pajak yang terkumpul dari kelompok kaya ini untuk membantu kelompok miskin.
Kebijakan ke depan
Menimbang signifikansinya pada hajat hidup rakyat, sudah sepatutnya kebijakan perpajakan ditempatkan di tataran strategis. Alih-alih berjalan sebagai rutinitas birokrasi di bawah direktur jenderal atau menteri, urusan pajak harus menjadi prioritas agenda kebijakan presiden.
Masalahnya, perpajakan bukan isu yang menarik. Secara politis, komitmen mereformasi tata kelola perpajakan tak semenjual janji membangun jalan tol. Reformasi perpajakan yang memperluas basis pajak dan meningkatkan tarif juga sulit mendapat dukungan politik kalau hasilnya justru menaikkan pajak bagi masyarakat.
Secara teknis, pajak pun sulit dicerna karena peraturannya yang berlapis dan perhitungannya rumit. Dua ekonom AS, James Buchanan dan Richard Wagner, berargumen bahwa kerumitan-kerumitan pajak menghadirkan fiscal illusion.
Masyarakat, tanpa pengetahuan atas besarnya biaya menjalankan pemerintahan, cenderung menuntut penyediaan barang dan layanan publik. Konsekuensinya, belanja negara terus naik, melebihi level yang sepadan atas tingkat pendapatan pajaknya. Dalam jangka panjang, ketidakseimbangan pendapatan dan belanja dalam APBN ini dapat mengganggu keberlanjutan fiskal.
Nantinya, presiden terpilih tidak bisa tidak berurusan dengan pajak. Rakyat, yang bakal memilih pada Pilpres 2024, dan yang notabene merupakan pembayar pajak, berhak tahu kebijakan perpajakan yang ditawarkan setiap kandidat.
Di setiap janji membangun sesuatu, mereka mesti menjelaskan juga bagaimana membayarnya. Ini penting sekali, sebagaimana kutipan pidato Sargent pada awal tulisan ini, sebab rakyatlah yang kelak menanggung biayanya, entah hari ini atau di masa depan.
Demokrasi memberikan rakyat kuasa untuk membicarakan apa-apa yang penting sebelum memutuskan. Ini berlaku juga untuk kebijakan perpajakan di Indonesia. Pilpres 2024 adalah momentum yang tepat untuk membicarakannya.
Baca juga : Tantangan Rumit Mengerek Penerimaan Pajak
Aichiro Suryo Prabowo Postdoctoral Fellow, Cornell University