Semua bakal calon presiden menebar janji-janji politik, antara lain tentang peningkatan kesejahteraan guru dan dosen. Janji itu hendaknya dicatat dan direkam, apakah bakal diimplementasikan ketika terpilih atau tidak ?
Oleh
CATUR NURROCHMAN OKTAVIAN
·5 menit baca
Perhelatan pemilihan presiden sudah di ambang pintu. Bakal calon presiden mulai menyeruak tampil ke publik, menyampaikan janji politik, gagasan, dan pemikiran berbagai bidang pembangunan demi meraih simpati. Di bidang pendidikan, semua bakal calon presiden pun turut menebar janji-janji politik, antara lain tentang peningkatan kesejahteraan guru dan dosen.
Jumlah guru yang hampir mencapai 3,5 juta orang merupakan ceruk massa yang ”menggiurkan” bagi siapa pun yang mencalonkan diri sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini. Semua bakal calon presiden (capres) menyadari bahwa untuk melesatkan Indonesia menjadi negara maju dibutuhkan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Untuk meningkatkan kualitas SDM, peran penting pendidikan tidak dapat dipinggirkan dan guru menjadi motor penting yang menggerakkan dan menjalankan pendidikan tersebut.
Bagaimana mungkin meningkatkan kualitas pendidikan tanpa guru yang berkualitas? Bagaimana mungkin menghasilkan guru berkualitas jika pola perekrutan guru tidak ajek dan pemberian imbalan kesejahteraan sangat rendah? Mustahil pendidikan berkualitas apabila perhatian terhadap kesejahteraan guru dan dosen masih sangat minim.
Meski bakal capres menawarkan sejuta solusi, apabila tidak diimbangi dengan komitmen kuat untuk mengimplementasikannya, semua hanya menjadi retorika politik. Untuk itu, guru harus menelaah dan menyelisik secara mendalam janji-janji politik itu agar tidak salah langkah dalam memilih, dan akibatnya akan mereka rasakan setidaknya lima tahun ke depan.
Mustahil pendidikan berkualitas apabila perhatian terhadap kesejahteraan guru dan dosen masih sangat minim.
Peran guru dalam pendidikan
Pendidikan dan guru bagai dua sisi mata uang. Pendidikan bermutu hanya akan tercapai dengan guru yang berkualitas. Sebagus apa pun sistem dan kebijakan pendidikan yang diberlakukan tanpa memikirkan menghasilkan guru yang bagus, pendidikan berkualitas hanya sebatas impian.
Memang banyak ahli menyatakan peran guru sangat penting dalam pendidikan, tetapi dalam sistem pendidikan nasional kita, kurikulum menjadi subsistem yang lebih diperhatikan dan terus menjadi sasaran untuk diubah-ubah. Meskipun kurikulum berganti puluhan kali, apabila tidak disiapkan guru yang baik dan kepala sekolah yang hebat, hal itu tidak akan berdampak banyak terhadap pembelajaran.
Mengapa guru berperan penting dalam sistem pendidikan? Karena guru merupakan aktor utama yang strategis dalam menjalankan pendidikan. Guru merupakan inti dari sebuah sistem pendidikan, selain sarana dan prasarana, kurikulum, serta kebijakan pendidikan.
Sejauh ini rasanya guru hanya sering dijadikan obyek, dan bukan subyek, pendidikan. Guru lebih sering menjalankan kebijakan dari atas dan terkesan hanya dititipkan banyak persoalan ketimbang dibantu untuk menyelesaikan masalah yang membelitnya, seperti kesejahteraan, perlindungan, dan kompetensi guru. Tanpa kemauan politik dan komitmen serius dari para pengambil kebijakan, kesulitan guru tidak akan pernah terselesaikan.
Profesi guru kurang bergengsi
Berdasarkan amanah konstitusi, anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD wajib dikelola pemerintah untuk masyarakat. Seiring peningkatan APBN/APBD setiap tahun, anggaran pendidikan akan terus naik.
Sejauh mana efektivitas anggaran pendidikan untuk mengatasi persoalan kesejahteraan, perlindungan, dan kompetensi guru? Berapa persenkah dari anggaran pendidikan itu yang benar-benar dialokasikan untuk peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru?
Saat ini guru menjadi profesi yang kurang diminati anak-anak cerdas dan berbakat di negeri ini. Hal ini dapat dimaklumi karena profesi guru masih dianggap kurang memberikan jaminan kesejahteraan yang memadai.
Lulusan terbaik sekolah menengah favorit di negeri ini lebih memilih jurusan bergengsi di perguruan tinggi sehingga kelak mereka dapat menekuni profesi non-guru. Guru masih terkesan sebagai profesi ”kelas dua” sehingga kurang diminati anak-anak lulusan terbaik universitas bergengsi di negeri ini.
Guru pun kini menjadi profesi ”terbuka” yang dapat dimasuki sarjana bidang apa pun selama ia memiliki sertifikat pendidikan setelah menempuh pendidikan profesi guru. Berbeda dengan profesi lain, seperti dokter yang hanya dapat diisi oleh sarjana kedokteran, ataupun pengacara, hakim, dan notaris yang harus diisi oleh sarjana hukum, saat ini seseorang yang menekuni profesi guru tidak harus berlatar belakang sarjana pendidikan.
Pembenahan pendidikan memang harus dimulai dari pembenahan gurunya. Guru harus merdeka secara finansial, terlindungi, serta kompetensi dan kualitasnya harus terus ditingkatkan. Guru akan menjadi profesi yang bergengsi apabila kesejahteraannya baik, terlindungi, dan manajemen sistem perekrutan, jenjang karier, pelatihan, dan pemberian remunerasi yang baik.
Guru masih terkesan sebagai profesi ”kelas dua” sehingga kurang diminati anak-anak lulusan terbaik universitas bergengsi di negeri ini.
Jika ingin sistem pendidikan kita berjalan baik, hal itu harus dimulai dari penyelesaian persoalan guru dari hulu hingga hilir. Di hulu, mulai dari pembenahan lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) sebagai tempat penyiapan calon guru yang profesional.
Apakah pemerintah sudah membenahi secara serius kualitas LPTK yang ada? Pemerintah seharusnya mulai membatasi secara serius jumlah LPTK dan membenahi kualitasnya. Jangan dibiarkan lagi muncul LPTK ”abal-abal” dengan dosen yang tidak berkualitas, sarana dan prasarana yang minim, dan tidak memiliki sekolah laboratorium.
Pendidikan profesi guru (PPG) pun perlu menjadi prioritas pembenahan, khususnya untuk guru prajabatan, karena PPG bersifat pre-service teacher education. Untuk menyiapkan calon guru profesional yang akan terjun ke lapangan, perlu dilibatkan praktisi dan organisasi profesi guru, seperti PGRI, yang jejaringnya dan rekam jejaknya jelas dan panjang, untuk kemajuan pendidikan negeri ini.
Guru dalam jabatan lebih membutuhkan pendidikan dan pelatihan yang berjenjang dan berkelanjutan.
Pemerintah seharusnya membenahi sistem pendidikan dan pelatihan guru dan tenaga kependidikan tersistem dan berkelanjutan. Perluasan PPG untuk guru dalam jabatan yang lebih bersifat pre-service teacher education sepertinya tidak berdampak banyak terhadap pengembangan kemampuan guru untuk belajar sepanjang hayat.
Jika pemerintah serius membentuk guru dalam jabatan profesional, yang dibutuhkan adalah sistem pelatihan yang bermakna dan pembinaan profesi guru secara berkelanjutan. Misalnya, guru pertama dan guru muda tentunya memiliki kebutuhan peningkatan kompetensi yang berbeda dibandingkan guru madya sehingga semua guru tidak diberikan jenis pelatihan yang sama. Belum adanya peta jalan yang utuh dan lengkap dalam pembinaan profesi guru secara tersistem dan berkelanjutan membuat belum ada pola pembinaan dan pelatihan yang bersifat ajek dan jelas.
Para pengambil kebijakan pendidikan mendatang perlu melakukan transformasi pendidikan secara menyeluruh dan sistematis dalam dua faktor, yaitu instrumen kebijakan (kurikulum sekolah, proses pembelajaran, asesmen, dan sebagainya) dan guru sebagai aktor pelaksana yang mengeksekusi berbagai instrumen kebijakan tersebut.
Pemerintah di bawah kepemimpinan presiden mendatang harus fokus pada tata kelola guru dari hulu hingga hilir. Harus ada kemauan politik yang tinggi untuk mengalokasikan anggaran yang berorientasi pada peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru.
Semua pemimpin negeri ini jangan pernah berpikir untung rugi dalam investasi besar di dunia pendidikan melalui peningkatan kesejahteraan dan kompetensi guru, karena hal ini sesungguhnya menjadi elemen penting yang dapat melesatkan Indonesia kelak menjadi salah satu negara maju pada tahun 2045.
Janji capres untuk peningkatan kesejahteraan guru hendaknya dicatat dan direkam dengan saksama, apakah bakal diimplementasikan ketika terpilih atau tidak? Kita tunggu saja pembuktiannya kelak.
Catur Nurrochman OktavianWakil Ketua Dewan Eksekutif Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI)
Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, NUR HIDAYATI, YOHANES KRISNAWAN