Catatan untuk Undang-Undang Kesehatan
Pada dasarnya, 11 undang-undang terkait kesehatan yang dicabut masih berjalan baik. Hal-hal yang belum dapat mengantisipasi misi Presiden terkait transformasi kesehatan cukup disusun saja UU Transformasi Kesehatan.

Ilustrasi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang sempat menimbulkan kehebohan di media sosial dan unjuk rasa para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia telah disahkan Presiden Joko Widodo pada 8 Agustus 2023. Berikut beberapa catatan seputar UU Kesehatan tersebut.
Pertama, konsiderans UU Kesehatan tidak secara gamblang menjelaskan latar belakang dan alasan penyusunannya serta kekosongan hukum yang terjadi pada peraturan perundangan bidang kesehatan yang ada selama ini. Dalam poin (c) bagian menimbang disebutkan bahwa diperlukan transformasi kesehatan untuk tercapainya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Lebih lanjut dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa pandemi membawa kesadaran pentingnya penguatan sistem kesehatan nasional (health system strengthening) sehingga perlu dilakukan transformasi kesehatan. Penguatan sistem kesehatan juga dibahas dalam Naskah Akademik RUU Kesehatan. Tidak disebutkan secara jelas apakah selama ini upaya penguatan sistem kesehatan yang didasarkan kepada six building blocks yang dikembangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mencakup aspek pelayanan, ketenagaan, informasi, obat/vaksin/teknologi, dan kepemimpinan tersebut memiliki kendala yang serius.
Baca Juga: UU Kesehatan (Omnibus), Apa yang Diharapkan?
Kedua, di lain pihak dalam poin (d) disebutkan bahwa pembangunan kesehatan masyarakat semakin baik dan terbuka sehingga dapat mendorong perkembangan industri kesehatan nasional pada tingkat regional dan global. Bahkan, pada Desember 2021 Presiden Jokowi meletakkan batu pertama pembangunan Rumah Sakit Internasional Bali sebagai alternatif solusi bagi lebih dari 2 juta WNI yang berobat ke luar negeri setiap tahun dan membuat Indonesia kehilangan potensi devisa sekitar Rp 97 triliun (Kompas.com, 27/12/2021). Kemudian pada Maret 2023, Presiden Jokowi meresmikan Mayapada Hospital Bandung yang bertaraf internasional (Kompas.com, 7/3/2023).
Dengan demikian, penguatan sistem kesehatan yang ada selama ini dapat dikatakan telah berjalan dengan baik. Menjadi pertanyaan kemudian, mengapa harus mencabut dan menyatakan tidak berlaku 11 undang-undang yang telah ada (Pasal 454) dan ironisnya 10 undang-undang yang dicabut tersebut tetap menjadi landasan bagi peraturan perundangan yang ada saat ini (Pasal 453), ada pengakuan bahwa peraturan perundangan yang ada sebenarnya masih dapat digunakan.
Seharusnya kelemahan dalam pelaksanaan peraturan perundangan yang ada saat ini diperbaiki dengan menyusun peraturan menteri atau surat keputusan yang baru untuk menyempurnakannya. Sementara untuk penguatan sistem kesehatan, disusun saja UU tentang Transformasi Kesehatan untuk menyikapi kejadian seusai pandemi serta perkembangan nasional, regional, dan global sehingga tercapai efisiensi dan tidak perlu menyusun peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang berjumlah lebih dari 100 sesuai amanat UU Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Ketiga, pernyataan Presiden Jokowi bahwa ada 2 juta penduduk yang berobat ke luar negeri harusnya ditindaklanjuti dengan melakukan need analysis lebih komprehensif, harus dibedakan penduduk perkotaan dan perdesaan. Kebutuhan upaya kuratif penduduk perkotaan lebih dominan. Manakala ketersediaannya dirasakan kurang dapat memenuhi tuntutannya, dengan mudah mereka berangkat ke luar negeri. Tidak heran apabila pemerintah daerah juga berbenah dengan membenahi fisik puskesmas menjadi modern dan pembangunan rumah sakit daerah yang megah disertai ketersediaan peralatan medis canggih.
Untuk kebutuhan informasi kesehatan, penduduk perkotaan yang sudah melek teknologi informasi dengan mudah mendapatkan promosi kesehatan melalui berbagai kanal media sosial termasuk Chat GPT. Sayangnya, penyusunan UU Kesehatan tidak dapat menangkap isyarat dari Presiden Jokowi tersebut dengan baik sehingga dalam penjelasan UU Kesehatan malah disebutkan bahwa pelayanan kesehatan yang didominasi pendekatan kuratif merupakan suatu permasalahan serius, bukan peluang. Hal ini tentu berdampak kepada strategi pemecahan masalah kesehatan yang tertuang dalam UU Kesehatan ini.
Keempat, strategi pemerintah untuk menjawab ”eksodus” WNI berobat ke LN adalah dengan mendatangkan dokter dan rumah sakit asing untuk berinvestasi di Indonesia, melupakan tulang punggung investor kecil lokal WNI. Seyogianya dokter/pengusaha lokal WNI yang harus diutamakan untuk dapat berinvestasi membangun klinik, RS umum (RSU), RS khusus (RSK). Selama ini para dokter/pengusaha lokal WNI yang berhasil membangun RSU ataupun RSK menghadapi rumitnya perizinan serta mahalnya harga peralatan medis canggih.
Seyogianya dokter/pengusaha lokal WNI yang harus diutamakan untuk dapat berinvestasi membangun klinik, RS umum, RS khusus.
Insentif fiskal dan nonfiskal harusnya diberikan secara khusus kepada dokter/pengusaha lokal, dengan harapan akan bermunculan RSU/RSK baru yang mampu menawarkan pelayanan medis spesialistik yang bermutu dengan harga terjangkau. Dengan demikian, rakyat memiliki pilihan berobat di berbagai kota besar negara kita sehingga tidak perlu berobat ke luar negeri.
Kelima, pola resentralisasi kembali diterapkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), salah satu contoh adalah surat tugas dokter atau dokter gigi spesialis yang sebelumnya didelegasikan kepada kepala dinas kesehatan provinsi diubah dalam UU Kesehatan ini menjadi kewenangan Menteri Kesehatan (Pasal 267). Pola yang sama sebelumnya telah diterapkan pada izin penyelenggaraan pelayanan dialisis yang awalnya didelegasikan pada dinas kesehatan provinsi, berdasarkan Permenkes Nomor 8 Tahun 2022 menjadi kewenangan sentral kembali.
Bisa dibayangkan beban kerja Kemenkes yang harus hadir untuk melakukan penilaian kesesuaian dan pengawasan pada pusat pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia sehingga tidak efisien dan fokus pada tugasnya menjalankan manajemen strategik kementerian. Seharusnya Kemenkes lebih mengedepankan steering daripada rowing. Misalnya, dengan kembali mengaktifkan kantor wilayah kesehatan sebagai perwakilan pusat di daerah sehingga diharapkan kembali terjadi desentralisasi dan pemberdayaan aparat kesehatan di daerah, yang penting dalam transformasi kesehatan dalam kaitan dengan health system resilience.

Anggaran kesehatan
Keenam, lebih lanjut campur tangan pemerintah pusat dalam penyusunan anggaran kesehatan pemda tercantum pada Pasal 409 Ayat (6) melalui sinkronisasi kebutuhan alokasi anggaran kesehatan. Hal ini bersesuaian dengan UU No 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang sempat menimbulkan kontroversi terkait isu resentralisasi. Anggaran kesehatan dalam UU Kesehatan ini diubah dari mandatory spending menjadi prioritas anggaran kesehatan dengan sinkronisasi melalui rencana induk bidang kesehatan.
Sinkronisasi ini berpotensi bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang disusun berdasarkan visi misi kepala daerah terpilih yang telah mendapatkan mandat rakyat. Dalam RPJMD sudah ditentukan ukuran keberhasilan kinerja pemerintah daerah dengan indikasi anggaran yang ditetapkan agar kondisi kinerja pada akhir periode RPJMD dapat berhasil.
Bertolak dari hal ini, seharusnya bagi pemerintah daerah tetap diberlakukan mandatory spending. Pemerintah daerah diberdayakan untuk memperbaiki fiscal space dan melaksanakan program kesehatan yang langsung dapat dilaksanakan manfaatnya oleh masyarakat (money follow program) sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 17/2018 tentang Harmonisasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional.
Baca Juga: Mengamankan Anggaran Kesehatan
Ketujuh, isu lain yang mengemuka saat ini terkait polusi udara (perubahan iklim) yang berpotensi mengganggu kesehatan, tidak diakomodasi secara gamblang. UU Kesehatan ini hanya menyebutkan berdasarkan asas kelestarian lingkungan (Pasal 2 huruf q) untuk generasi sekarang dan yang akan datang demi kepentingan negara (bab penjelasan). Padahal, Indonesia termasuk dari 171 negara yang menandatangani Perjanjian Paris tentang perubahan Iklim pada 2016.
Salah satu upaya mengatasi perubahan iklim yang sepatutnya menjadi perhatian dan dapat dilakukan oleh rakyat di bidang kesehatan adalah carbon footprint, yaitu ukuran dalam ton gas CO2 ekuivalen dari total gas rumah kaca (greenhouse gasses) yang dikeluarkan ke atmosfer dari hasil kegiatan seluruh komponen bangsa (individu, organisasi sampai pada pemerintah). Contoh sederhana adalah mematikan listrik, hemat air, hindari produk plastik sekali pakai, beli produk sayur lokal, mencegah food waste, gunakan transportasi publik, bersepeda atau jalan kaki, sampai larangan menebang pohon (termasuk dalam seluruh proyek pemerintah).

Kedelapan, tentang pengamanan zat adiktif (Pasal 149). Dalam kondisi Indonesia belum meratifikasi dan belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), maka yang dapat dilakukan adalah menggalakkan komunikasi risiko tentang bahaya merokok dan bahan adiktif lain yang dilakukan secara masif dan berkelanjutan melalui berbagai media termasuk social media marketing guna menyaingi kampanya gencar dari produsen rokok. Hal tersebut seyogianya disertai dengan pemberlakuan ketentuan batasan usia berdasarkan KTP untuk membeli produk tembakau yang disertai dengan pemberlakuan packing kemasan rokok 40-an, tidak seperti sekarang rokok bisa dibeli dengan harga terjangkau dalam kemasan kecil atau secara ketengan.
Kesembilan, dalam Pasal 306 Ayat (3) disebutkan agar aparat penegak hukum mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Kendala yang akan dihadapi dalam proses hukum adalah para pengacara akan menemukan celah hukum yang lain dalam KUHAP/Perdata untuk melakukan penuntutan.
Alternatif solusi lain dapat dilakukan melalui penanganan insiden dengan analisis akar masalah (root cause analysis/RCA) Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), dan kejadian sentinel di rumah sakit (Permenkes No 11/2017 tentang Keselamatan Pasien). RCA dilanjutkan dengan pengungkapan terbuka (open disclosure/OD) kepada pasien dan atau keluarganya yang dapat didampingi kuasa hukumnya dan apa yang dibuka dalam OD di RS tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah di pengadilan.
Baca Juga: Membangun Sinergi Kesehatan Publik
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya UU yang dicabut beserta peraturan perundangan yang dibawahinya masih berjalan dengan baik. Tidak ada tumpang tindih di antaranya dan tidak ada alasan kuat yang menyatakan bahwa UU tersebut perlu diubah, apalagi peraturan perundangan di bawahnya masih diberlakukan.
Hal-hal yang belum dapat mengantisipasi misi Presiden terkait dengan transformasi kesehatan, cukup disusun saja UU tentang Transformasi Kesehatan. Lebih masuk akal, lebih fokus, simpel, serta lebih efisien daripada masih harus menyusun peraturan perundangan di bawah UU Kesehatan yang berjumlah lebih dari 100, belum termasuk peraturan atau SK Menteri di bawah PP-nya.

Stefanus Lawuyan
Stefanus Lawuyan, Dokter; Health Economist, Alumnus The University of Melbourne