Kawasan Industri Berbasis Kebudayaan
Kasus Rempang Eco City menyadarkan kita bahwa pembangunan kawasan industri harus berbasis kebudayaan, bukan semata-mata ekonomi. Yaitu, kawasan industri dengan sistem ekonomi Pancasila.

Ilustrasi
Terlepas dari kompleksitas masalahnya, termasuk kemungkinan adanya intervensi asing, kasus Rempang Eco City menyadarkan kita bahwa pembangunan kawasan industri harus memperhatikan kebudayaan. Sejarah lokal, cagar budaya, permukiman asli, adat-istiadat, dan komunitas etnis yang sudah lebih dahulu, apalagi sejak ratusan tahun, berdomisili, berkiprah, dan berkarya harus dihormati.
Jika di daerah itu dibangun peradaban baru berupa kawasan industri, harus merupakan up-grading dan keberlanjutan dari peradaban lokal yang sudah ada. Jangan justru membangun di atas puing-puing, apalagi di atas penderitaan penduduk aslinya.
Konsep pembangunan kawasan industri selama ini belum menyentuh soal kebudayaan. Basisnya semata-mata ekonomi. Dalam buku Kajian Kawasan Industri di Indonesia terbitan Kementerian Perindustrian, misalnya, dijelaskan bahwa tujuan kawasan industri adalah untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri, meningkatkan daya saing industri nasional, membuka lapangan kerja, dan pengembangan usaha lokal. Karena paradigma itu, demi kepentingan ekonomi nasional—dan investor—kebudayaan lokal dipinggirkan. Bahkan, kalau menghambat, penduduknya ”dikalahkan”.
Baca Juga: Narasi Kebudayaan dalam Pembangunan
Manusia dan kebudayaan
Membangun kawasan industri berbasis kebudayaan pada dasarnya memanusiakan manusia sebagai pengampu kebudayaan. Pertama, penduduk setempat harus dihormati, betapa pun sederhananya mereka, betapa pun miskin dan rendah pendidikan mereka. Kaum kolonialis di masa silam saja—betapa pun buas, rakus, licik, dan jahatnya mereka—tetap menghargai penduduk asli. Ketika bertugas di Hindia Belanda, Lucien Adams (1890-1974) menulis seri artikel dalam Bijdragen tot de Taak Land en Volkenkunde tentang suku Minahasa yang dikaguminya.
Apalagi, jika penduduk setempat itu ternyata punya sejarah dan silsilah yang penting, seperti orang-orang Rempang itu. Saat menjadi Gubernur di Yogyakarta, Adams menghormati raja dan rakyat Kasultanan Ngayagyakarta Hadiningrat sebagai pengampu sebuah ”daerah istimewa” (speciaal gebied) di era itu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F14%2Fa48bc0b2-f3dd-4741-b5ae-528de0262ff5_jpg.jpg)
Spanduk pendaftaran relokasi warga Pulau Rempang di depan Kantor Camat Galang di Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis (14/9/2023).
Kedua, tanah yang ditempati penduduk asli juga harus dihormati sebab bagi mereka tanah tersebut merupakan harta suci/keramat (sacred property). Itulah yang menurut Anthony D Smith (2001) menjadi akar nasionalisme (etnosentrisme) yang dalam ungkapan kita disebut ”tanah tumpah darah”. Vegetasi, bangunan, permukiman, apalagi tempat suci, termasuk makam di atasnya, adalah sistem makna yang mendalam. Itulah alasan mengapa kita mudik. Bukan hanya reunian keluarga, tetapi berziarah ke tempat kita berasal. Itulah pula sebabnya orang berjibaku demi tanah airnya.
Jika kawasan industri dibangun dengan restu penduduk setempat, mereka akan merasa memilikinya (Jawa: handarbeni) sebagai sacred property mereka. Jika demikian, penduduk pun akan berani pasang badan, bahkan berani mati demi kawasan industri itu. Namun, jika kawasan industri hadir tanpa permisi (Jawa: kulanuwun), mereka akan melawan dengan tekad ”lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut”. Karena itu, kawasan industri harus dibangun sebagai ”bangunan keramat” di atas ”tanah perjanjian” milik rakyat.
Ketiga, entitas lokal sebagai pengampu budaya setempat harus diajak sebagai bagian penting dalam kolaborasi pembangunan. Kawasan industri semestinya menjadi pemusatan kerja sama (konvergensi) dari unsur-unsur ABGC (academic, business, government, community). Kawasan Industri jangan hanya memosisikan komunitas lokal sebagai obyek dengan sekadar memberi kompensasi dengan, misalnya, merekrut penduduk lokal sebagai karyawan/buruh dan berbagi dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Jika kawasan industri dibangun dengan restu penduduk setempat, mereka akan merasa memilikinya (Jawa: handarbeni) sebagai sacred property mereka.
Di masa-masa awal Reformasi 1998, film dokumenter karya John Pilger berjudul The New Rules of The World sempat dicekal di sana-sini. Film itu menyingkap fakta bahwa industrialisasi global menjadikan rakyat di negara-negara berkembang sebagai budak. Pilger bahkan mengungkap hasil riset rahasianya yang menunjukkan kasus pabrik-pabrik industri di Indonesia yang mempekerjakan buruh secara tidak manusiawi. Artinya, jangan merangkul penduduk lokal untuk malah dijadikan sebagai ’pelengkap penderita’ dalam kerajaan baru yang dibangun.
Tentu konvergensi ABGC itu harus proporsional. Justru di sinilah kawasan industri hadir untuk memajukan sumber daya manusia penduduk lokal. Menolong mereka menemukan potensi diri, meng-upgrade kapasitas unggul sehingga bisa berkontribusi signifikan.
Keempat, konvergensi ABGC seperti itu akan menjadikan kawasan industri sebagai sistem ketahanan lokal dan nasional. Kawasan Industri akan menjadi pusat peradaban yang dijiwai oleh semangat nasionalisme. Meskipun investornya asing, para ahli dan pekerjanya banyak yang dari luar negeri, komunitas lokal yang ikut menjadi motor penggerak akan menjaga atmosfer, visi, dan misi keindonesiaan di dalam kawasan ekonomi baru itu.

Kebudayaan sebagai energi
Kelima, kawasan industri perlu didesain sebagai kawasan produktif yang digerakkan oleh energi kebudayaan. Karena itu, jangan hanya memperlakukan kebudayaan sebagai benda mati. Tidak cukup hanya dengan tidak menggusur cagar budaya atau membangunkan museum budaya di kompleks infrastruktur kawasan industri itu.
Inilah yang malahan dipikirkan Soeharto hingga dijuluki sebagai Bapak Pembangunan di era Orde Baru (1966-1998). Di masa itu, para sosiolog dan antropolog Indonesia—Koentjaraningrat, misalnya—banyak dikerahkan untuk mengkaji, menggali, memilah, dan memilih budaya tradisional untuk mendorong pembangunan ekonomi. Dalam karya Koentjaraningrat berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (1991) dibahas, misalnya, sisi positif dan sisi negatif budaya gotong royong. Sisi negatifnya, yaitu prinsip konformitas, harus diubah serta dimaknai ulang supaya orang Indonesia dinamis, kompetitif, dan reformatif.
Dalam budaya Jawa, ada beberapa nilai yang harus dimaknai kembali supaya relevan dengan pembangunan ekonomi. Misalnya, prinsip alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asal jalan) perlu di-upgrade menjadi alon-alon waton ”on-time”. Prinsip mangan ora mangan kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul) perlu di-upgrade menjadi kumpul untuk kolaborasi kerja mencari makan. Menurut Ferry Rustam (2000), industrialisasi di Jepang maju karena mereka menggunakan dan membarui nilai-nilai budaya tradisional sebagai energi pembangkit etos kerja.
Kawasan industri yang berbudaya dalam konteks Indonesia sejatinya adalah sistem ekonomi Pancasila yang pernah dibincangkan para sesepuh.
Keenam, jika diterapkan secara proporsional, kebudayaan bisa dihadirkan untuk mendukung proses produksi di kawasan industri. Pabrik gula Madukismo di Yogyakarta adalah salah satu contoh bagaimana kebudayaan memberi energi psikospiritual bagi kegiatan ekonomi. Pabrik yang punya ladang tebu seluas 6.200 hektar ini cukup produktif. Pada 2020, pabrik ini menghasilkan gula kristal putih sebanyak 20.178 ton. Pada 2021 meningkat menjadi 22.709 ton. Lumayan, meski masih jauh dari kebutuhan gula di Provinsi DIY yang setiap tahun sekitar 44.000 ton.
Adapun yang menarik adalah basis kegiatan budaya yang digelar rutin dalam area perusahaan dan pabrik gula itu. Setahun sekali sejak 1955 selalu diadakan ritual/upacara ”Giling” dan ”Suling” yang sangat memuliakan sejarah dan budaya setempat (Purnomo, 2009; Perdana, 2018). Mencakup setidaknya 15 rangkaian upacara, dimulai dengan menyebar ancak atau sesajian di 325 titik di kawasan industri itu.
Secara antropologis, ini bermakna bahwa seluruh area dan infrastruktur pabrik itu adalah kawasan budaya milik masyarakat. Puncaknya adalah prosesi kirab Tebu Manten yang disimbolkan oleh boneka mempelai pria dan mempelai wanita dari batang pohon tebu. Perkawinan dalam ritual ”Cebengan” ini merupakan simbol mendalam tentang harmoni, sinergi, dan kolaborasi yang produktif dan berkelanjutan.
Baca Juga: Menunggu Tuah Kawasan Industri
Ketujuh, kawasan industri didesain menjadi gerakan ekonomi yang berbudaya luhur. Ini lebih dari sekadar industri yang tak lupa ber-CSR atau bisnis yang bervisi sosial (sociopreneurship). Kawasan industri yang berbudaya adiluhung memiliki perilaku ekonomi yang mulia. Tidak menganut pola yang kuat memakan yang lemah (the strong eats the weak), yang besar memakan yang kecil (the big eats the small), dan yang cepat memakan yang lamban (the fast eats the slow)—free fight liberalism.
Kawasan industri yang berbudaya dalam konteks Indonesia sejatinya adalah sistem ekonomi Pancasila yang pernah dibincangkan para sesepuh, tetapi kini dianggap sepi. Kawasan industri sebagai pusat inovasi dan kreativitas semestinya juga menjadi pusat pengolahan kebudayaan menjadi energi terbarukan. Semoga, jika Rempang Eco City berlanjut, bisa menjadi demplot atau permodelan pembangunan kawasan industri berbasis kebudayaan.
Haryadi Baskoro, Pemimpin 3H Advocates & Consultants Yogyakarta; Dosen Antropologi di Sekolah Tinggi Teologi (STT ) Tawangmangu, Jawa Tengah

Haryadi Baskoro