Menjaga Sakralitas dan Revitalisasi Peran Tempat Ibadah
Masyarakat agama harus senantiasa memuliakan dan menjaga sakralitas tempat ibadah sebagai tempat suci. Bersama-sama menjaga tempat ibadah tak disusupi ajaran radikalisme, menarasikan kebencian, dan merusak persatuan.
Pro-kontra terhadap pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel, yang mengusulkan agar tempat ibadah dikontrol sebagaimana di negara-negara lain, harus dimaknai secara kritis dan bijaksana.
Pernyataan Kepala BNPT tersebut disampaikan pada rapat dengan Komisi III DPR, 4 September 2023.
Kalau dicermati secara saksama, BNPT sebenarnya mengharap seluruh masyarakat (terutama tokoh agama dan tokoh masyarakat), yang selama ini telah berkolaborasi bersama pemerintah merawat damai, menjaga kemajemukan, dan berikhtiar memutus mata rantai atau sel kelompok terorisme sampai ke akar-akarnya.
BNPT harus bergandengan tangan dengan semua pihak dan mengharap semua elemen masyarakat terus meningkatkan kewaspadaan dan deteksi dini. Hal ini karena terorisme sebagai ”kejahatan paling serius” (the most serious crime), sungguh sangat mengkhawatirkan dan telah menyasar seluruh elemen masyarakat.
Strategi ataupun pola penyebarannya begitu masif dan melalui berbagai cara. Di antaranya melalui media sosial, sekolah, kampus, dan tidak tertutup kemungkinan melalui tempat- tempat suci, seperti tempat ibadah, meskipun terorisme tidak mempunyai agama.
Kelompok-kelompok radikal tersebut tak segan-segan membawa nama agama untuk menjustifikasi kepentingan politik, kekerasan, dan mendirikan sistem pemerintahan atas nama agama, seperti khilafah.
Hasil berbagai penelitian selama ini sangat mencengangkan: terdapat tempat ibadah yang telah disalahgunakan untuk aktivitas politik dan gerakan kaderisasi kelompok radikal, seperti radikalisasi pemikiran, penyebaran paham kekerasan, intimidatif, dan intoleran.
BNPT harus bergandengan tangan dengan semua pihak dan mengharap semua elemen masyarakat terus meningkatkan kewaspadaan dan deteksi dini.
Salah satunya, penelitian Agus Sunaryo (2017) berjudul ”Masjid dan Ideologisasi Radikalisme Islam: Menyoal Peran Masjid sebagai Media Transformasi Ideologi”. Temuan sama juga diperoleh dari survei yang dilakukan oleh Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), pada 2017, terhadap 100 masjid yang ada di lingkungan pemerintah di DKI Jakarta.
BNPT, sebagai lembaga pemerintah di bidang penanggulangan terorisme, tidak salah kalau mengajak seluruh tokoh agama dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki ”mekanisme kontrol” yang tepat untuk menjaga tempat ibadah agar senantiasa teduh dan damai. Salah satunya, dengan melakukan deteksi dini di lingkungan masing-masing.
Jangan kemudian deteksi dini ini diartikan sebagai kecurigaan di antara sesama anak bangsa, tetapi lebih ke arah usaha semua pihak—BNPT bisa berkoordinasi dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan ormas keagamaan—untuk mengetahui ada atau tidaknya ideologi ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.
Tujuannya, agar tempat ibadah tak disusupi dengan ajaran radikalisme, suka menarasikan kebencian, propaganda untuk melemahkan pemerintah, dan merusak persatuan, serta jangan sampai masyarakat terpapar tindak pidana terorisme.
Masyarakat agama harus senantiasa memuliakan dan menjaga sakralitas tempat ibadah sebagai tempat suci. Tempat beribadah, memuji, dan mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa. Mengajarkan perdamaian, memperkuat nasionalisme, dan pergerakan positif yang lain.
Strategi optimalisasi peran tempat ibadah
Bukankah tempat ibadah mempunyai peran penting dalam menjaga budaya dan peradaban manusia selama ini?
Bahkan, semua telah maklum jika tempat ibadah selain berfungsi sebagai pusat dakwah dan tempat menyembah Tuhan, juga mempunyai peran penting bagi penguatan kapasitas keilmuan dan pengembangan kebudayaan masyarakat.
Segala macam ilmu pengetahuan sebagai penyangga kokohnya sebuah peradaban, serta survivalitas kebudayaan masyarakat, bisa digali dan dimulai dari tempat ibadah.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, masjid telah difungsikan sebagai pusat peribadatan, budaya, sosial, dan pendidikan Islam. Juga sebagai pusat dakwah, menjadi sarana penyebaran ajaran agama damai, santun, dan penuh toleran.
Masjid saat itu bersifat inklusif dan berperan sentral dalam membangun umat (Sunaryo, 2017). Rasulullah pada saat hijrah ke Madinah mulai membangun peradaban masyarakat melalui masjid. Selain sebagai tempat shalat berjemaah, masjid juga berfungsi sebagai pusat pembelajaran, rumah sakit, pusat rehabilitasi, pusat kesejahteraan, dan rekreasi (Tamuri, dkk. 2012, Omer, 2009).
Quraish Shihab mempertegas bahwa terdapat 10 fungsi Masjid Nabawi, yaitu sebagai tempat 1) ibadah; 2) konsultasi dan komunikasi masalah sosial, ekonomi, dan budaya; 3) pendidikan; 4) santunan sosial; 5) latihan dan persiapan peralatan militer; 6) pengobatan korban perang; 7) perdamaian dan pengadilan sengketa; 8) menerima tamu; 9) menawan tahanan; dan 10) pusat penerangan atau pembelaan agama.
Pada zaman sekarang ini, tak salah jika masyarakat ingin mengadopsi peran dan fungsi masjid seperti itu, tentu dengan kontekstualisasi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sekaligus berkeinginan melakukan revitalisasi peran masjid ke arah transformasi sosial yang baik dan maslahat.
Bukankah tempat ibadah mempunyai peran penting dalam menjaga budaya dan peradaban manusia selama ini?
Juga optimalisasi peran aktif masjid sebagai tempat pencerahan sisi spiritual dan sisi kemanusiaan, sekaligus sarana pemberdayaan masyarakat.
Dalam hal ini, peran masjid dapat ditingkatkan sebagai ruang publik dan aktivitas religi bagi umat Muslim untuk melakukan perubahan masyarakat, penguatan keagamaan moderat (wasatiyyah), eksplorasi nilai-nilai peradaban, pengembangan seni dan kebudayaan, peningkatan kemandirian, dan mengatasi kemiskinan.
Untuk menggerakkan dan mengoptimalkan peran masjid, memang dibutuhkan SDM yang mumpuni, kemampuan manajerial berwawasan luas, modern, terbuka, dinamis, dan memiliki kepekaan tinggi terhadap modal sosial dan kultural yang dimiliki masyarakat sekitar. Sekaligus mampu jadi pusat kajian berbagai keilmuan dan referensi bagi peradaban global.
Pengembangan masjid berbasis riset
Lebih jauh lagi, setiap pengurus masjid perlu menggairahkan aktivitas riset (bisa melalui divisi penelitian dan pengembangan masjid) untuk mengkaji dan menyelesaikan berbagai problematika kontemporer. Sekaligus melakukan berbagai inovasi program aktual yang bisa dinikmati masyarakat luas.
Lebih-lebih, masjid perlu mempersiapkan program yang bisa mencerdaskan dan membekali berbagai keterampilan (skill) dan keilmuan yang sangat dibutuhkan oleh para anggota jemaah.
Program yang memperkenalkan, mendekatkan nilai-nilai/kebudayaan pada setiap daerah sebagai upaya membentuk cultural identity, mempererat rasa solidaritas, persatuan dan kesatuan pada masyarakat Indonesia.
Berbagai inovasi program yang dilaksanakan masjid harus bertumpu pada hasil-hasil penelitian—yang pelaksanaannya bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat, peneliti, dan remaja masjid. Terutama penelitian untuk mengeksplorasi modal sosial dan budaya yang dimiliki masyarakat setempat. Ekspektasi masjid diselaraskan dengan kepentingan jemaah.
Ada beberapa prinsip manajemen yang bisa diterapkan sehingga mampu membawa pengelolaan masjid menjadi unggul, rujukan nasional, dan internasional; yaitu menerapkan manajemen modern Henri Fayol (General and Industrial Management, 2013).
.
Di antaranya: 1) ekuitas, dengan memperlakukan secara setara dan penuh hormat pada seluruh pengurus dan jemaah masjid, 2) inisiatif, dengan mendukung dan mendorong pengurus dan jemaah mengambil inisiatif serta membantu mereka meningkatkan minat.
Selain itu, 3) tatanan yang jelas sehingga menumbuhkan budaya kerja yang baik dan mendorong produktivitas pengurus masjid, dan 4) remunerasi secara berkeadilan, materi atau non-materi, kepada pengurus.
Berbagai inovasi program yang dilaksanakan masjid harus bertumpu pada hasil-hasil penelitian—yang terkadang pelaksanaannya bisa dilakukan dengan melibatkan peneliti dan akademisi. Terutama penelitian untuk mengeksplorasi modal sosial dan kapital yang dimiliki masyarakat setempat sehingga terdapat sinergi perkembangan masjid dengan kebutuhan masyarakat sekitar kampus. Ekspektasi dan pengembangan masjid diselaraskan dengan budaya masyarakat setempat.
Selain itu, usaha transformasi dan pengembangan masjid akan bisa terealisasi dengan baik melalui konsep ”scenario planning” (Schoemacer, 2016).
Dengan meminjam konsep ini, berbagai perkembangan masjid dan jemaah atau masyarakat pun mengalami perbaikan dan peningkatan seiring peningkatan dan perkembangan yang dilakukan masjid, dengan membuat program yang bertahap dan sebagai alternatif demi kemajuan di masa depan.
Misalnya, menjadi: 1) learning community, 2) kampung bahasa, 3) masyarakat madani, 4) kampung santri, 5) kampung toleran, moderat, dan kontra radikalisme, dan lain-lain.
Mungkin kontrol pemerintah terhadap masjid, termasuk BNPT, bisa diimplementasikan dalam bentuk kehadiran pemerintah/BNPT untuk membangun sinergi dan penguatan program-program yang direncanakan pada tiap-tiap masjid.
Demi mendukung keberlanjutan program dan eksistensi masjid, takmir dan pengurus masjid memang harus terfokus pada pelayanan pemangku kepentingan (stakeholder), mengutamakan pendekatan proses dan perbaikan yang berkesinambungan. Dengan demikian, mampu menimbulkan kesadaran setiap komponen di dalamnya untuk menganalisis setiap bentuk problematika yang dihadapi dan berusaha merencanakan perbaikannya secara kontinu dan berkelanjutan.
Merealisasikan transformasi dan optimalisasi peran masjid agar sesuai visi dan misi yang diharapkan memang tak mudah. Selain perlu kesadaran, perjuangan, dan keikhlasan dari seluruh takmir dan anggota jemaah, juga diperlukan bantuan dari pihak luar, termasuk dukungan dan kehadiran pemerintah.
Mungkin kontrol pemerintah terhadap masjid, termasuk BNPT, bisa diimplementasikan dalam bentuk kehadiran pemerintah/BNPT untuk membangun sinergi dan penguatan program-program yang direncanakan pada tiap-tiap masjid. Tujuannya, agar tempat ibadah bisa menjadi episentrum penguatan spiritualitas, kemajuan kebudayaan, dan peradaban masyarakat serta kontra radikalisme atau deradikalisasi.
Baca juga : Wacana BNPT Kontrol Rumah Ibadah Ditentang MUI
Syamsul Ma’arif Guru Besar,Dekan FPK UIN Walisongo, dan Pengasuh Pesantren Riset Al-Khwarizmi Mijen Semarang