Seiring kian majunya teknologi informasi, perangkat analisis, dan ketersediaan data, implementasi dari konsep ekspektasi rasional yang memasukkan interaksi dari pelaku-pelaku ekonomi menjadi semakin nyata.
Oleh
ARI KUNCORO
·3 menit baca
SALOMO TOBING
Ari Kuncoro
Seiring kian majunya teknologi informasi, perangkat analisis, dan ketersediaan data, implementasi dari konsep ekspektasi rasional yang memasukkan interaksi dari pelaku-pelaku ekonomi menjadi semakin nyata. Ketidakpastian dapat timbul jika terjadi divergensi ekspektasi di antara pelaku-pelaku ekonomi. Konsekuensinya, keseimbangan yang stabil ala Nash (1950, 1951, 1953) sulit tercapai. Evans (1986) menggambarkan hal ini dalam bentuk keseimbangan banyak (multiple equilibria) yang sulit diduga, manakah yang akan menjadi realitas sehingga menambah ketidakpastian. Berlainan dengan keseimbangan tunggal (unique equilibrium) yang jauh lebih mudah diantisipasi walaupun realisasinya belum terjadi.
Ketidakpastian ini dapat berasal dari perbedaan konsep dalam pilihan kebijakan. Salah satu contoh adalah perbedaan antara resep hard landing (meresesikan perekonomian) dan soft landing dalam meredam inflasi. Kemungkinan lain adalah interpretasi yang berbeda dari para pelaku ekonomi, terutama pemain utama, sehingga perilakunya yang beragam dapat memengaruhi terciptanya multiple equilibria. Contoh terkini adalah sinyal kabur dari bank sentral AS, The Fed, untuk kebijakan suku bunganya pada September ini apakah akan tetap atau naik.
Lembaga keuangan Goldman Sachs memberikan respons terhadap perkembangan di atas dengan menurunkan peluang resesi AS ke 15 persen. Selanjutnya, sejumlah pihak di dunia membuat ekspektasi sesuai kepentingannya masing-masing. Pedagang minyak di bursa berjangka menggunakan ekspektasi tidak terjadinya resesi di AS untuk menaikkan harga. Harga minyak WTI (West Texas Intermediate) melonjak dari 79 dollar AS per barel pada minggu ketiga Agustus 2023 menjadi 91 dollar AS per barel pada 16 September 2023. Dalam periode yang sama, minyak Brent naik dari 83 dollar AS per barel menjadi 94 dollar AS per barel. Lonjakan drastis ini terjadi karena pada saat yang bersamaan Arab Saudi dan Rusia mengurangi produksi minyaknya.
Di sisi lain, pemodal portepel global berekspektasi bahwa The Fed tetap akan menaikkan suku bunganya pada September. Apalagi, inflasi AS pada bulan Agustus sedikit naik menjadi 3,7 persen dari 3,2 persen pada bulan Juli. Dampaknya adalah pada balas jasa obligasi jangka pendek bakal lebih tinggi dari yang tenornya lebih panjang atau inverted yield curve yang merupakan sinyal resesi. Namun, ada pendapat yang mengatakan fenomena ini lebih merupakan gejala ketidakpastian yang meningkat dibandingkan dengan pertanda resesi.
Divergensi ekspektasi antara pedagang minyak di bursa berjangka dan pemodal portepel pasar global menyebabkan hubungan terbalik antara harga minyak dan indeks dollar AS menjadi searah. Selain itu, ada juga pedagang minyak sekaligus pemodal portepel yang mengambil strategi campuran. Mereka bertaruh untuk dua ekspektasi sekaligus, yaitu jika suku bunga The Fed naik sehingga AS mengalami resesi, dan skenario lainnya jika suku bunga tidak berubah sehingga AS tidak mengalami resesi. Apa pun realisasinya nanti, dampaknya adalah arus modal kembali ke AS sehingga angka indeks dollar AS meningkat dari 99 menjadi 105,3 antara 14 Juli dan 13 September 2023 yang membuat mata uang negara lain melemah.
Neraca berjalan terdiri dari neraca dagang, neraca jasa, serta pendapatan bersih faktor produksi dalam negeri versus luar negeri. Neraca pembayaran merupakan rekapitulasi yang memasukkan neraca berjalan plus transaksi finansial-modal. Neraca dagang belum tentu dapat membuat neraca berjalan surplus karena ekspor yang menurun akibat perlambatan manufaktur dunia. Bagi yang beruntung karena mempunyai produk yang dapat diekspor, neraca dagang dapat tetap surplus asalkan impor tetap terkendali.
Peluang surplus neraca dagang tetap dapat terjadi walaupun ekspor turun asalkan penurunan impor lebih besar daripada penurunan ekspor. Misalnya kasus Jerman, yang surplus neraca dagangnya membesar karena ekspor turun 1,4 persen, sementara impor turun lebih tajam 10,7 persen. Hasilnya, neraca berjalan mengalami pelebaran surplus dari 7,8 miliar euro pada bulan Juli menjadi 18,8 miliar euro pada bulan Agustus sehingga secara keseluruhan dapat menopang neraca berjalan-neraca pembayaran.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Para pencari kerja dalam ajang Indonesia Career Expo yang berlangsung di Gedung Smesco, Jakarta, Jumat (27/1/2023). Resesi global yang membayangi membuat banyak perusahaan menghadapi masa-masa sulit.
Seperti multiple equilibria, untuk Indonesia situasinya sedikit berbeda. Dampak dari perlambatan sektor manufaktur dunia yang ditunjukkan oleh indeks PMI global yang masih terkontraksi terlihat dari ekspor. Pertumbuhan tahunan bulan Agustus, ekspor tercatat minus 21,21 persen, sementara impor minus 14,77 persen. Berita baiknya, dalam jangka pendek sudah ada tanda stabilisasi untuk tidak turun lebih dalam lagi. Angka pertumbuhan bulanan ekspor adalah positif 5,47 persen, sementara impor minus 3,53 persen.
Neraca dagang tetap surplus dan sudah berjalan 40 bulan berturut-turut. Untuk bulan Agustus tercatat 3,12 miliar dollar AS. Naik dari 1,31 miliar dollar AS pada bulan Juli. Namun, dibandingkan dengan rerata bulanan pada tahun 2022, surplus tersebut menurun sehingga tidak cukup menutup defisit di neraca jasa dan pendapatan bersih jasa faktor produksi. Itulah sebabnya, neraca berjalan defisit pada triwulan II-2023 sebesar 0,5 persen dari PDB atau 1,93 miliar dollar AS. Arus modal portepel ke AS juga menimbulkan tekanan pada neraca pembayaran melalui transaksi finansial. Yang harus diwaspadai adalah modal keluar yang terjadi di setiap meningkatnya ketidakpastian global sebelum pengambilan keputusan suku bunga oleh The Fed, yang dijadwalkan pada pekan ke-3 hingga ke-4 September mendatang.
Implikasinya adalah pada rupiah. Kurs rupiah bertahan di kisaran Rp 15.200-Rp 15.400 per dollar AS karena terbantu ekspektasi surplus neraca dagang. Namun, tidak cukup untuk mengangkat rupiah menguat ke bawah Rp 15.000 per dollar AS seperti pada bulan Juli. Ketidakpastian global prakeputusan The Fed akhir September yang ditunjukkan oleh menguatnya indeks dollar AS juga merupakan faktor penghambat. Prioritas saat ini adalah menjaga kestabilan rupiah karena pertumbuhan seperti yang ditunjukkan data triwulan II-2023 ditopang oleh sektor-sektor berbasis mobilitas yang terkait dengan bahan bakar minyak, yang biaya pengadaannya dipengaruhi harga minyak dunia dan indeks dollar AS. Momentum pertumbuhan perlu tetap dijaga karena fenomena global divergensi ekspektasi membuat prospek pertumbuhan tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi arus modal, baik modal langsung maupun portepel, untuk masuk ke Indonesia.