Dalam riuh pergumulan politik sangat mungkin rakyat diracuni pikiran dan perilaku politicking. Tak sedikit yang gagal bertanya, apalagi memahami, apa sejatinya posisi presiden Indonesia yang sedang mereka perebutkan.
Oleh
BAHRUL ILMI YAKUP
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Menjabat presiden Indonesia bagi sebagian rakyat, terutama politikus, dianggap seperti prestasi tertinggi tanpa tanding. Oleh karena itu, hampir segenap rakyat dan politikus merasa perlu terlibat dalam riak pergumulan politik pemilihan presiden.
Pada tahun politik, pergumulan politik untuk memenangi jabatan presiden menjadi menu keseharian rakyat. Pergumulan politik tersebut akan terus berulang dalam siklus lima tahunan karena biasanya mulai menghangat setahun sebelum masa jabatan presiden tersebut berakhir.
Dalam riuh pergumulan politik yang meruyak, sangat mungkin rakyat diracuni pikiran dan perilaku politicking. Tak sedikit yang gagal bertanya, apalagi memahami, apa sejatinya posisi presiden Indonesia yang sedang mereka perebutkan dengan segenap upaya dan cara. Sampai-sampai, mereka yang merasa dirinya gagal dalam pergumulan politik rela meratap dan mencerca.
Rakyat ataupun politikus Indonesia juga sepertinya gagal memahami bahwa di negara maju seperti Amerika Serikat, warga negara yang sudah cerdas dan mapan dalam berpolitik dan berdemokrasi ternyata tidak lagi terlalu peduli pada pemilihan presiden.
Hal ini terbukti dari tingkat partisipasi politik warga negara dalam pemilihan presiden yang cukup rendah, sulit melebihi angka 60 persen dari jumlah pemilih.
Dalam riuh pergumulan politik yang meruyak, sangat mungkin rakyat diracuni pikiran dan perilaku politicking.
Warga AS telah memahami bahwa presiden bukan segala-galanya. Mereka juga paham bahwa presiden hanyalah jabatan temporal, yang tak akan mengubah lanskap kehidupan secara total dan instan. Oleh karena itu, adalah lumrah bahwa para mantan presiden AS hidup sebagai rakyat biasa setelah menjabat, sebagaimana yang dilakoni Barack Obama, George Bush, atau Ronald Reagan.
Kemampuan memahami jabatan presiden secara saksama dan komprehensif seyogianya menjadi pengetahuan elementer bagi rakyat Indonesia. Dengan demikian, rakyat tidak tersapu dalam keriuhan pergumulan politik licik dan culas, yang senyata tak banyak bermanfaat dalam mengubah kehidupan mereka, kalau tidak hendak dikatakan hanya sebagai ilusi yang menipu.
Kehidupan pada asasinya tetaplah harus diperjuangkan secara personal, dan dalam banyak hal tidak melalui politik.
Kekuasaan presiden
Ruang lingkup kekuasaan presiden Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara, adalah memegang kekuasaan pemerintahan dalam rangka menjalankan UUD 1945 dan undang-undang. Hal itu lazim disebut sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.
Dalam lingkup kekuasaan eksekutif, presiden juga memegang kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri, duta, konsul, atau menerima penempatan duta besar negara sahabat.
Presiden juga memegang kekuasaan kuasi legislatif dalam proses pembentukan undang-undang, penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden. Presiden juga memegang kuasi kekuasaan yudisial untuk memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi.
Mekanisme ”check and balances”
Meskipun terkesan cukup luas cakupan kekuasaannya, nyatanya presiden Indonesia tidaklah bebas melakukan tindakan kepemerintahan semaunya, karena presiden dibatasi sekaligus dikendalikan oleh tanggung jawab politik ataupun tanggung jawab hukum. UUD 1945 mengatur presiden Indonesia tidak dalam kondisi ”The president can do no wrong”.
Namun, sayang, sampai saat ini Indonesia masih enggan membentuk UU jabatan presiden yang mengatur lembaga kepresidenan secara komprehensif agar presiden lebih transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan kekuasaannya.
Dalam melaksanakan kekuasaannya, presiden Indonesia diawasi, bahkan dibatasi, oleh mekanisme check and balances antara kekuasaan legislatif yang dipegang DPR dan kekuasaan yudisial yang dilaksanakan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Bahkan, presiden juga diawasi oleh pers sebagai pilar keempat kekuasaan politik, baik media arus utama maupun media sosial. Dalam praktiknya, media sosial bukan hanya mengawasi dan mengkritisi, melainkan lebih sadis lagi, sampai mencerca dan memaki presiden.
Implikasi pengawasan oleh mekanisme check and balances ataupun pengawasan oleh pers itu membuat presiden Indonesia pascareformasi tidak lagi leluasa mengeksekusi kekuasaannya berdasarkan persepsi pribadi atau kelompok (inner circle). Sebaliknya, presiden Indonesia cenderung terkungkung dalam rantai aturan yang kadang kala memang terlalu detail dan bertele-tele.
Dalam konteks inilah sebetulnya muncul kehendak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan simplifikasi aturan dan terobosan prosedur. Sayang, ide cermat Presiden Jokowi ini dibajak oleh pembantunya dengan kerangka omnibus law yang secara konstitusional keliru.
Sayang, ide cermat Presiden Jokowi ini dibajak oleh pembantunya dengan kerangka omnibus law yang secara konstitusional keliru.
Akibat aturan yang rumit dan bertele-tele, untuk melaksanakan proyek strategis seperti pembangunan jalan tol dan pelabuhan, Presiden Jokowi sampai perlu menerbitkan peraturan presiden tersendiri sebagai upaya shortcuting (terobosan) terhadap kejumudan aturan hukum dan prosedur birokrasi.
Selain itu, secara personal, Presiden Indonesia sejatinya tidak lagi merengkuh kemuliaan (dignity) karena setiap hari presiden bisa saja menerima cacian dan makian rakyat.
Fatamorgana
Seyogianya, rakyat mulai cerdas menyadari bahwa cara pandang terhadap jabatan presiden sebagai kedudukan yang penuh kuasa, sehingga mampu berbuat semaunya dalam mengubah kualitas kehidupan pribadi atau rakyat banyak secara instan dan otomasi, hanyalah fatamorgana.
Jabatan presiden hanyalah organ negara yang diamanati untuk meningkatkan kesejahteraan umum secara gradual dan sistemis. Justru merupakan pelanggaran terhadap konstitusi apabila presiden Indonesia menyalahgunakan kekuasaannya dengan tujuan memberikan kesejahteraan dan kemanfaatan khusus kepada pribadi atau kelompoknya.
Sudah saatnya rakyat memperlakukan proses pemilihan presiden sebagai mekanisme konstitusional yang wajar tanpa perlu menciptakan korban, kerusakan, atau sakit hati.