Persoalan air harus segera diatasi karena dalam sejarah telah terbukti bahwa air merupakan masalah peradaban.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga mencari ikan di Waduk Cengklik di Desa Ngargorejo, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (15/9/2023). Penyusutan air setiap musim kemarau membuat area tepi waduk yang dibangun saat masa kolonial Belanda itu dapat dimanfaatkan untuk lahan bercocok tanam. Waduk Cengklik dibangun pada 1923 dengan volume efektif 9,7 juta meter kubik.
Sejak beberapa pekan lalu kita mendapati berita kekeringan di berbagai daerah. El Nino menguat, tetapi ekosistem air sebenarnya telah lama bermasalah.
Kekeringan panjang akibat El Nino menyebabkan jumlah air di beberapa waduk dan bendungan di sejumlah daerah produsen beras mendekati titik kritis. Kendati saat ini masih dapat dimanfaatkan untuk pengairan, kondisi sumber-sumber air itu dapat mengancam pasokan air untuk musim tanam padi tahun depan. Untuk menjaga stok air waduk atau bendungan tersebut, pengairan areal sawah diatur bergiliran. Perum Jasa Tirta II, badan usaha milik negara yang mengelola Waduk Jatiluhur, bahkan telah merencanakan untuk membuat hujan buatan guna menambah air waduk tersebut (Kompas, 18/9/2023).
Fenomena El Nino memang telah lama dikemukakan beberapa ahli. Akhir tahun lalu, mereka sudah memperlihatkan kepada kita bahwa fenomena La Nina dengan ditandai hujan yang berlimpah bakal berhenti dan segera digantikan El Nino, ditandai dengan air yang makin sulit didapat.
Kita sudah sering menghadapi masalah ini dan respons pun segera dilakukan. Akan tetapi, bisa dipastikan respons yang ada tidak bakal memadai. Penyebab utamanya adalah ekosistem air yang sudah rusak. Daerah-daerah tangkapan air telah berubah fungsi menjadi permukiman dan dikuasai sebagian oleh perusahaan-perusahaan untuk menjalankan bisnis mereka. Desakan kebutuhan permukiman karena jumlah penduduk dan berbagai kebutuhannya telah mengalahkan keharusan untuk melindungi daerah tangkapan air yang lebih berguna bagi masa depan manusia.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Tanah retak di dasar Waduk Brambang, Wonokerso, Kedawung, Sragen, Jawa Tengah, karena kekeringan, Kamis (14/9/2023). Kemarau berkepanjangan menyebabkan air di sejumlah waduk surut sehingga fungsinya sebagai sumber irigasi pertanian menjadi terganggu.
Kita telah sejak lama melihat dampak masalah di atas, seperti fenomena bencana banjir di berbagai tempat, sedimentasi di berbagai waduk dan aliran sungai, serta kekeringan di mana-mana. Hanya saja, kejadian ini tidak menumbuhkan kesadaran baru untuk menghentikan peralihan lahan itu. Permukiman tetap saja tumbuh di area-area tangkapan air.
Ada usulan untuk memulihkan kawasan seperti ini. Kita kadang berpikir bahwa langkah itu mustahil. Namun, kita bisa mencontoh tempat lain yang dapat melakukan hal itu. Di sebuah kawasan di Jepang, pemulihan itu bisa dilakukan sehingga warga terbebas dari banjir sekaligus mereka bisa mengembangkan ekonomi baru yang lebih berkelanjutan.
Kerusakan ekosistem air diperparah oleh pembuangan limbah di aliran sungai serta pemanfaatan air yang tidak terkendali. Ke depan, air akan makin sulit didapat dan akan makin mahal. Bencana, baik di dalam maupun luar negeri, sepertinya harus menjadi pengingat kita untuk segera membereskan masalah ekosistem perairan. Tanpa pemberesan, kita hanya akan melakukan tindakan tambal sulam dan masalah tetap saja akan muncul, bahkan mungkin akan lebih besar lagi. Persoalan air harus segera diatasi karena dalam sejarah telah terbukti bahwa air merupakan masalah peradaban.