Urgensi dan Titik-titik Kritis Manajemen Risiko Pembangunan Nasional
Manajemen risiko merupakan salah satu instrumen utama dalam proses organisasi pemerintah dan sangat efektif untuk mengelola ketidakpastian masa depan dalam dunia yang berciri VUCA dan BANI.
Pada 16 Juni 2023, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2023 tentang Manajemen Risiko Pembangunan Nasional. Perpres ini merupakan pemuncak dari perundang-undangan yang terkait dengan manajemen risiko sektor publik, setelah sebelumnya beberapa menteri secara sendiri-sendiri menerbitkan peraturan yang secara eksplisit mengatur implementasi manajemen risiko di kementerian masing-masing.
Pengelolaan risiko dalam praksis pemerintahan juga telah cukup lama ditekuni oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selaku auditor internal pemerintah. Dalam kerangka itu, pemerintah daerah juga telah mengimplementasikan manajemen risiko dengan tingkat kematangan yang amat beragam.
Manajemen risiko telah diselenggarakan jauh lebih awal di sektor swasta daripada di sektor publik. Praktik manajemen risiko sangat berkembang terutama di sektor keuangan yang memang bisnis utamanya pada dasarnya berkaitan dengan pengelolaan risiko. Sektor-sektor lain yang juga yang sensitif terhadap risiko juga intensif menerapkan manajemen risiko.
Baca Juga: Membenahi Tata Kelola
Tidak mengherankan jika kemudian studi-studi manajemen risiko berkembang pesat di sektor-sektor itu. Dengan fakta-fakta itu, sudah selayaknya apabila para praktisi manajemen sektor publik memanfaatkan pengalaman-pengalaman berharga dari implementasi manajemen risiko di sektor swasta.
Studi kami (Risk Management in Private Companies and Public Sector Organizations: A Preliminary Comparative Study) menghasilkan temuan tentang perbedaan dan kemiripan antara manajemen risiko sektor swasta dan sektor publik. Perbedaan dan kemiripan itu terobservasi pada nilai-nilai, struktur tata kelola, proses organisasional (termasuk proses pengambilan keputusan), ataupun pada lingkungan strategis yang melingkupi kedua sektor itu. Temuan tersebut dapat menjadi titik tolak strategi pengembangan manajemen risiko di sektor publik.
Ada dua alasan utama yang melandasi urgensi implementasi manajemen risiko pembangunan nasional (MRPN). Pertama, semakin disadari bahwa dewasa ini pengelolaan organisasi semakin tidak mudah seiring dengan situasi dunia yang berciri bergejolak, tak pasti, rumit, dan ambigu (volatile, uncertain, complex, ambiguous/VUCA). Belakangan, situasi itu kemudian dipersepsikan sebagai bersifat rapuh, mencemaskan, diliputi bentuk hubungan sebab-akibat yang serba tak jelas, dan tak bisa dipahami (brittle, anxious, non-linear, incomprehensible/BANI).
Contoh mudah untuk menggambarkan fenomena itu adalah perubahan iklim yang mengancam eksistensi kehidupan manusia, bencana global pandemi Covid-19, disrupsi teknologi yang menimbulkan banjir bandang informasi, dan sebagainya. Semua seolah serba mendadak dan membuat dunia tergopoh-gopoh.
Semakin tinggi tingkat kematangan suatu korporasi dalam implementasi manajemen risiko, semakin tinggi pula efektivitasnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Alasan kedua, pengalaman dunia korporasi yang kemudian melahirkan keyakinan bahwa manajemen risiko ternyata sangat efektif untuk mengelola ketidakpastian masa depan dalam dunia yang berciri VUCA dan BANI itu. Berbagai studi ilmiah telah membuktikan, baik secara teoretis maupun empiris, bahwa semakin tinggi tingkat kematangan suatu korporasi dalam implementasi manajemen risiko, semakin tinggi pula efektivitasnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi sehingga semakin baik dalam capaian kinerjanya.
Kini sudah menjadi pemahaman umum di kalangan korporasi bahwa manajemen risiko merupakan salah satu instrumen utama dalam pengelolaan organisasi. Dengan pengalaman sektor swasta yang seperti itu, sudah selayaknya apabila sektor publik juga mengimplementasikan manajemen risiko, tentu saja dengan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan perbedaan dan kemiripan di antara kedua sektor itu.
Tititk-titik kritis
Untuk mengidentifikasi titik-titik kritis dalam implementasi MRPN, kiranya perlu diuraikan terlebih dahulu garis besar perpres itu. Dapat dikatakan bahwa dalam hal prinsip dan proses manajemen risiko, Perpres No 39/2023 mengadopsi rumusan ISO 31000 yang oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah ditetapkan sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI).
Perpres ini pada dasarnya mengatur dua jenis pengelolaan risiko, yakni yang diselenggarakan oleh entitas MRPN (pengelola MRPN organisasi yang bersangkutan) dan yang diselenggarakan oleh entitas MRPN sektor utama (pengelola MRPN lintas sektor). Adapun yang dimaksud dengan entitas MRPN adalah kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, dan badan lainnya yang menyelenggarakan MRPN; sedangkan pemilik risiko lintas sektor adalah menteri koordinator beserta menteri-menteri lain yang terkait.
Karena beberapa kementerian dan lembaga telah menyelenggarakan manajemen risiko sebelum perpres tersebut terbit, kebaruan yang terkandung dalam perpres tersebut sebenarnya lebih banyak terdapat pada bagian MRPN lintas sektor. Dengan analogi sederhana, penyelenggaraan MRPN organisasi lebih mirip dengan pengelolaan risiko korporasi tunggal, sedangkan penyelenggaraan MRPN lintas sektor lebih mirip dengan pengelolaan risiko perusahaan holding yang mempunyai banyak anak perusahaan. Tentu saja analogi itu tidak mampu mengungkapkan keragaman ukuran, jenis, kompleksitas dan lingkungan strategis yang melingkupi sektor swasta dan sektor pemerintahan.
Baca Juga: Mutlak, Pembangunan Berbasis Kajian Risiko
Baik MRPN organisasi maupun MRPN lintas sektor mempunyai beberapa titik kritis yang sama, terutama yang terkait dengan budaya dan kepemimpinan. Sungguh tepat bahwa perpres ini secara khusus mengatur strategi pembangunan budaya risiko. Pada akhirnya, manajemen risiko adalah persoalan pembangunan budaya risiko. Adapun kepemimpinan risiko pada banyak kasus merupakan kunci keberhasilan manajemen risiko.
Pada umumnya manajemen risiko perlu dilakukan dengan pendekatan top-down dan ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Pemimpinlah yang dapat diharapkan visioner dan mampu melihat manfaat manajemen risiko yang memang baru dapat dinikmati dalam jangka panjang. Adapun anak buah pada umumnya miopik dan hanya dapat merasakan beban tambahan dari penerapan manajemen risiko serta kurang sabar menantikan buah manisnya. Dengan demikian, pemimpin dengan visi dan kewenangannya menjadi penentu keberhasilan manajemen risiko.
Apabila presiden dan para menteri tidak mampu memberikan sinyal kuat (tone at the top) kepada jajaran anak buah mereka bahwa manajemen risiko itu penting dalam upaya pembangunan nasional, prakarsa MRPN berada dalam bahaya besar. Sinyal kuat itu harus disertai dengan komitmen yang kuat pula dalam menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk implementasi MRPN.
Kementerian PPN/Bappenas berdasarkan perpres itu mempunyai posisi sentral dalam implementasi MRPN. Motor MRPN adalah komite MRPN yang diketuai Menteri PPN/Kepala Bappenas. Memang MRPN organisasi ditangani oleh kementerian/lembaga masing-masing, tetapi MRPN lintas sektor dikoordinasikan oleh komite MRPN itu. Dengan demikian, Bappenas tidak hanya bertanggung jawab atas MRPN organisasi internalnya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab mengorkestrasi penyelenggaraan MRPN dalam pemerintah secara keseluruhan.
Titik kritis di sini sebenarnya mirip saja dengan titik kritis pada perencanaan pembangunan nasional, yakni persoalan koordinasi. Dapat dibayangkan bahwa persoalan ini tidak mudah, bahkan dalam tiap tahap mulai dari perencanaan, penetapan target, hingga penyusunan prioritas, persoalan penyerasian (alignment) selalu muncul. Ego sektoral dan kepentingan kedaerahan selalu menjadi kendala dalam pemerintah sebagai sebuah organisasi.
Dari pengalaman praktik manajemen risiko dalam perusahaan holding dengan banyak anak perusahaan, fungsi Komite manajemen risiko di induk perusahaan selain terkait dengan persoalan koordinasi juga terkait dengan fungsi assurance dan bahkan fungsi advisory. Dengan demikian, Bappenas dapat memosisikan diri juga sebagai think tank bagi penyelenggaraan MRPN.
Baca Juga: Kesinambungan Pembangunan
Dalam kaitan dengan itu, Bappenas dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang sudah lama menekuni pengembangan manajemen risiko, seperti BSN (penyusun SNI MR), BPKP, OJK, dan forum-forum komunitas profesional manajemen risiko, seperti Indonesian Risk Management Professional Association, Forum MR BUMN, dsb.
Perpres No 39/2023 memperkuat posisi manajemen risiko sebagai salah satu instrumen utama dalam proses organisasi pemerintah. Dengan keyakinan bahwa pengelolaan ketidakpastian di masa mendatang dengan manajemen risiko mampu meningkatkan kinerja organisasi, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa perpres itu membawa angin segar bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
DS Priyarsono, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University; Anggota Komtek Standar Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan Badan Standardisasi Nasional