”Social Commerce”, Siapa Diuntungkan?
Penyatuan media sosial dan ”e-commerce” buka celah penguasaan data yang eksesif. Jika tak diatur, memungkinkan penguasaan data ”end-to-end” dan penguasaan rantai nilai perdagangan elektronik oleh satu platform asing.
Wacana pemisahan platform media sosial dan lokapasar secara bersamaan, seperti halnya di China, Uni Eropa, dan India, yang disampaikan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, mendapat respons keberatan dari forum diskusi kebijakan terkait perkembangan teknologi finansial.
Dalam ulasannya, perwakilan forum diskusi terkait teknologi finansial (tekfin) itu menjabarkan perkembangan Tiktok sebagai platform media sosial yang sejak 2021 mulai merambah ke pasar social commerce, beserta segudang manfaat positifnya.
Salah satu contoh kasus yang diangkat adalah live sale Richard Lee selama 23 jam tanpa henti yang mampu membukukan omzet hingga Rp 40 miliar. Fantastis! Selain Richard Lee, sederet nama beken telah memanfaatkan platform tersebut dan menghasilkan nilai penjualan yang mentereng.
Namun, contoh kecil ini perlu disikapi secara mendalam. Kesuksesan live sale pada platform tersebut melibatkan banyak faktor sehingga tidak mudah direplikasi oleh orang-orang kebanyakan. Faktor pertama tentu host live sale tersebut. Keterlibatan sosok terkenal sebagai host tentu menjadi daya tarik tersendiri.
Kemudian, tawaran diskon atau harga barang yang dijual lebih murah dari harga pasar untuk memancing minat para netizen yang tadinya iseng berselancar pada platform tersebut akhirnya ikut membeli.
Hal ini rentan memicu aksi jual rugi atau predatory pricing, strategi perang harga yang kerap mematikan UMKM.
Faktor berikutnya adalah interaksi antara pembeli dan penjual. Sosok beken dengan dukungan tim kreatif tentu memiliki segudang amunisi untuk menyemarakkan sesi live sale mereka. Tidak hanya jualan, tetapi juga menghibur.
Sosok beken dengan dukungan tim kreatif tentu memiliki segudang amunisi untuk menyemarakkan sesi live sale mereka. Tidak hanya jualan, tetapi juga menghibur.
Publik juga seharusnya mampu melihat lebih jauh di balik kampanye penjualan via platform social commerce. Apakah artis yang terlibat adalah pemilik UKM sesungguhnya; dengan dinamika usaha, seperti halnya pelaku lainnya, atau menjadi endorser yang memang secara profesional membantu menyukseskan kampanye pemasaran platform tersebut.
Dengan pengaturan sulap algoritma, live sale artis tentu bisa langsung ”nampang” di halaman FYP (for your page) platform tersebut. Namun, ini bisa menjadi pesan yang salah kepada pelaku UMKM karena live sale tidak seindah seperti yang terjadi ketika artis endorser yang melakukannya.
Kondisi yang kontras dirasakan oleh pelaku UMKM bukan berlatar belakang figur publik. Live sale yang diharapkan menjadi solusi quick win mendongkrak penjualan jalur daring ternyata tak kunjung membuahkan hasil positif.
Keluhan ini salah satunya disampaikan akun Tiktok @viodi_fashion. Ia mengaku dagangannya tak banyak terjual, padahal ia sudah berjualan di platform ini selama satu setengah tahun dengan live sale delapan jam per hari di waktu yang sama. ”Namun, apakah (penjualan) naik? Tidak,” katanya.
Ia kembali bercerita, rata-rata orang yang menonton dirinya live di bawah 15 orang. ”Lima belas itu pun tidak bertahan lama, hanya dua menit saja, kemudian drop, bahkan sampai nol. Kalau dibilang sabar-sabar, itu sudah satu tahun setengah kurang sabar? Delapan jam kita berdiri tegak lurus, disangkanya tidak capek? Capek. Tapi, kenapa tidak dikasih penonton?” protes dia.
Kisah yang sama pula dari berita yang beredar di media belakangan ini, terjadi pada pedagang di Tanah Abang, serta masih banyak lagi keluhan yang kami terima melalui forum diskusi para penjual (seller) marketplace serta hotline pelaporan di Kementerian Koperasi dan UKM serta Smesco Indonesia.
Larangan penggabungan
Pemerintah sudah melihat apa yang dilakukan Tiktok berbeda dengan e-commerce, seperti Shopee dan Tokopedia. Fitur live sale pada e-commerce lazimnya ditanamkan di platform mereka sendiri, bukan platform media sosial.
Apakah lokapasar daring itu bisa menggunakan algoritma dari media sosial lain seperti Instagram? Jawabannya belum tentu. Penargetan iklan melalui media sosial hanya menggunakan beberapa parameter, seperti kelompok usia dan wilayah domisili serta histori aktivitas warganet di platform media sosial yang dimaksud.
Lantas, bagaimana dengan platform media sosial yang memiliki fitur berbelanja, seperti Instagram Shopping atau Facebook Shops? Pada platform milik Meta Group tersebut, proses penyelesaian transaksi juga tidak bisa dilakukan di dalam media sosial.
Sebaliknya, platform hybrid, seperti Tiktok, bisa dengan mudah mengoptimalkan big data terkait dengan perilaku, seperti pemberian like di produk tertentu yang tayang di video pada platform media sosial. Kemudian, data tersebut diolah menjadi algoritma yang dapat diarahkan dan menguntungkan produk tertentu, sampai dengan mendorong pengguna untuk berbelanja secara impulsif.
Penyatuan media sosial dan e-commerce membuka celah penguasaan data yang eksesif, antara data perilaku individu sebagai makhluk sosial dan individu sebagai shopper. Jika tak diatur, akan memungkinkan penguasaan data end-to-end dan penguasaan rantai nilai perdagangan elektronik oleh satu platform asing.
Media sosial yang bergerak sebagai agregator bagi platform berjualan digital pasti akan mendominasi pasar di suatu negara, bahkan dunia.
Ancaman monopoli dan ”predatory pricing”
Sulit memalingkan pandangan dari dugaan monopoli berdasarkan kenyataan di atas ini. Media sosial yang bergerak sebagai agregator bagi platform berjualan digital pasti akan mendominasi pasar di suatu negara, bahkan dunia.
Menjadi tidak heran jika kekhawatiran yang sama muncul juga di negara lain. Negara maju, seperti Amerika Serikat dan bahkan China sebagai tempat kelahiran Tiktok, sudah menetapkan kebijakan yang membatasi ruang gerak platform digital agar tidak mengancam perekonomian negaranya.
Pembatasan ini jelas untuk melindungi pelaku UMKM domestiknya dari ancaman praktik persaingan yang tak sehat.
Apalagi barang yang diperjualbelikan merupakan hasil impor dari luar negeri yang rentang harganya jauh lebih murah daripada produk serupa milik UMKM. Harga barang impor murah berkat bantuan subsidi dan insentif yang besar dari negara asal. Memangnya ada UMKM lokal yang bisa produksi hijab dan menjualnya dengan harga Rp 5.000 per potong?
Terkait hal ini, World Economic Forum (WEF) sempat melakukan studi pada 2021 yang memunculkan temuan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan sekitar Rp 105 triliun untuk membeli 1.02 miliar potong hijab per tahun, Dari angka ini, hanya 25 persen yang diproduksi lokal, sementara sisanya sebanyak 75 persen merupakan produk impor.
Institute for Development of Economic and Finance (Indef) pun membenarkan angka ini dengan menyebutkan bahwa setidaknya 74 persen produk yang dijual di Tiktok Shop berasal dari produk impor.
Kementerian Koperasi dan UKM telah meminta klarifikasi tentang kebenaran data ini ketika memanggil Tiktok pada Juli 2023. Hingga tulisan ini dirilis, Tiktok masih belum dapat menginformasikan perihal besaran proporsi produk impor dijual di Tiktok Shop Indonesia.
Ketika pasar dibanjiri barang dengan harga yang dipatok sedemikian murahnya, otomatis pelaku UMKM di platform digital lain juga akan ikutan membanting harga. Kalau kondisi ini dibiarkan terlalu lama, otomatis UMKM yang notabene adalah motor perekonomian nasional jadi sulit berkembang dan akan bertumbangan.
Indonesia Emas 2045
Transformasi digital menjadi salah satu pendorong mewujudkan target Indonesia Emas 2045 dan ikhtiar untuk mengoptimalkan sepenuhnya potensi ekonomi digital Indonesia untuk seluas-luasnya kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pada 2030, ekonomi digital Indonesia diprediksi berkontribusi 18 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), melonjak tajam dari realisasi 2022 sebesar 8 persen terhadap PDB. Lonjakan kontribusi ekonomi digital ini ditopang oleh konsumsi kelompok usia produktif yang jumlahnya terbesar di piramida populasi Indonesia.
Kemilau pasar digital ini tentu menjadi rebutan tidak hanya investor domestik, tetapi juga asing. Sayangnya, sebagian besar transformasi digital UMKM Indonesia masih hanya terfokus di sisi hilir.
Padahal, transformasi digital secara utuh menjadi kunci untuk memastikan lahirnya ekonomi baru dari sektor ekonomi digital bagi UMKM Indonesia, sekali lagi demi memastikan manfaat ekonomi digital dirasakan oleh rakyat.
Oleh karena itu, pemerintah perlu berbenah diri dan segera menerbitkan aturan yang diharapkan mampu menciptakan pasar digital yang sehat, mencegah penguasaan big data, dan eksploitasi algoritma di satu platform saja.
Saat ini, harapan tersebut bersandar pada revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Elektronik (PPMSE).
Di antara poin revisi ini diharapkan praktik predatory pricing melalui perdagangan lintas batas ilegal bisa dihentikan sepenuhnya, termasuk mewajibkan semua produk yang masuk ke Indonesia mencantumkan keterangan negara asal, pemenuhan standar, label halal, keterangan impor resmi, dan keterangan berbahasa Indonesia.
Kemilau pasar digital ini tentu menjadi rebutan tidak hanya investor domestik, tetapi juga asing.
Ada banyak pertanyaan yang kami terima, memangnya kalau impor dihentikan, UMKM kita bisa menyediakan sarung telepon genggam dengan harga murah? Atau aksesori lainnya?
Pertanyaan ini perlu dikoreksi. Apakah mungkin UMKM dapat bertahan jika setiap hari harus bersaing harga dengan para predatory pricing yang tidak dikendalikan? Bersaing murah-murahan hanya akan mematikan UMKM, bukan usaha dengan kemampuan manufaktur raksasa dan rantai pasok efisien.
Kenyataannya jangan anggap sepele UMKM kita. Nyatanya, ada UMKM yang jadi pemasok industri pertahanan, perhubungan, hingga alat-alat canggih simulator alat tempur. Perusahaan-perusahaan rintisan dengan potensi ekonomi digital masif juga bagian dari ekosistem UMKM.
Kini, pertanyaan yang harus dilontarkan kepada diri kita masing-masing, seberapa jauh kita mau memperjuangkan UMKM Indonesia, sebagai pahlawan ekonomi nasional?
Tb Fiki C Satari Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif