Dalam beberapa tahun ke depan, investasi "hijau" atau ESG akan semakin marak di Indonesia. Sudah waktunya aparat hukum Indonesia menyiapkan cara untuk mencegah praktik greenwashing, khususnya di industri keuangan.
Oleh
NURKHOLISOH IBNU AMAN
·4 menit baca
Kesadaran tentang perubahan iklim dan perlunya tanggung jawab sosial kian meningkat. Tak terkecuali di industri keuangan. Banyak investor kini tertarik pada investasi ”hijau” atau yang mematuhi standar lingkungan, sosial, dan tata kelola atau disebut ESG.
Sayangnya, tren ini juga memunculkan fenomenagreenwashing, yakni fenomena ketika suatu produk keuangan dipasarkan sebagai ramah lingkungan atau bertanggung jawab sosial meski kenyataannya tak demikian. Dalam laporan terbaru tahun 2023, European Banking Authority menyebutkan, kasus greenwashing telah meningkat hingga enam kali lipat dibandingkan sepuluh tahun lalu.
Klaim berlebihan tentang sifat ”hijau” suatu produk keuangan atau perusahaan keuangan tidak hanya menyesatkan investor, tetapi juga dapat berdampak luas pada ekonomi dan lingkungan.
Kerugian utama greenwashing adalah teralihnya dana dari proyek yang benar-benar berkontribusi pada lingkungan. Hal ini jelas akan memperlambat upaya kolektif kita untuk melawan dampak negatif perubahan iklim seperti pencemaran udara dan pemanasan global.
Padahal, saat ini proyek-proyek bertema ESG sedang gencar dikebut oleh pemerintah ataupun lembaga swasta di berbagai belahan dunia. Semua itu butuh biaya yang tidak sedikit.
Kerugian lain greenwashing adalah hilangnya kepercayaan pelaku pasar. Apabila investasi yang diakui sebagai ”hijau” atau ”etis” ternyata tidak sesuai seperti yang diiklankan, kepercayaan publik pada skema pembiayaan ESG akan rusak.
Hal itu dapat berujung pada keengganan untuk berinvestasi pada produk keuangan ESG sehingga tujuan mulia pembangunan berkelanjutan semakin sulit digapai. Umat manusia akan semakin lama terjebak dalam kondisi lingkungan ataupun sosial yang buruk.
Sayangnya, tren ini juga memunculkan fenomena greenwashing, yakni fenomena ketika suatu produk keuangan dipasarkan sebagai ramah lingkungan atau bertanggung jawab sosial meski kenyataannya tak demikian.
Konsekuensi hukum
Praktik greenwashing ternyata juga membawa konsekuensi hukum serius, seperti yang belakangan ini menimpa sejumlah institusi keuangan. Mereka terbukti melakukan penggambaran yang keliru tentang komitmen perusahaan terhadap ESG ataupun status produk keuangan ESG yang mereka jual.
Tahun lalu di Inggris, HSBC diperintahkan mencabut iklan mereka yang menyebut rencana perusahaan menanam dua juta pohon untuk membantu mengurangi gas beracun. Iklan HSBC itu juga menyebutkan rencana untuk menyalurkan triliunan rupiah kredit ”hijau”.
HSBC sebenarnya tak sedang berbohong, tetapi regulator menganggap HSBC menyembunyikan informasi penting yang relevan. Hal yang tak disampaikan adalah bahwa HSBC masih dan akan terus memberi kredit kepada perusahaan perusak lingkungan seperti perusahaan tambang minyak dan batubara.
Pada Juli 2023, Vanguard Investment harus masuk pengadilan Australia karena dinilai membuat klaim berlebihan tentang salah satu produk keuangan ESG mereka. Otoritas keuangan Australia, ASICS, menemukan bahwa salah satu index fund milik Vanguard yang diklaim ”hijau” ternyata masih mengandung emiten pencemar lingkungan.
Di Jerman, sebuah perusahaan manajemen aset bernama DWS menghadapi masalah hukum pelik. Salah satu pegawai perusahaan itu sendiri membocorkan ke publik bahwa laporan keuangan mereka memuat pernyataan yang tidak benar (misleading) tentang aset ESG.
Kasus ini kemudian menjadi heboh karena menyeret pemilik utama perusahaan, yaitu Deutsche Bank. Ramai beredar foto dan berita ketika polisi Jerman menggeledah kantor DWS dan Deutsche Bank untuk mengumpulkan barang bukti. Otoritas keuangan Amerika Serikat dan Jerman pun sampai turun tangan melakukan investigasi.
DWS saat ini sedang menanti ”hukuman” resmi, tetapi sudah memperkirakan bahwa mereka akan dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, pada Juli 2023 DWS mengaku telah mencadangkan anggaran ganti rugi hingga puluhan juta euro.
Kondisi di Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan atau OJK selaku otoritas terkait di Indonesia telah mewajibkan lembaga jasa keuangan dan perusahaan publik untuk rutin menerbitkan laporan keberlanjutan (sustainability report). OJK juga sudah merinci informasi apa saja yang perlu dilaporkan, antara lain jumlah emisi dan limbah yang dihasilkan selama tahun laporan.
Meski demikian, konsep greenwashing sendiri masih absen dalam perangkat hukum Indonesia. Belum ada regulasi yang dapat secara spesifik mendefinisikan, mencegah, dan menghukum praktik tersebut, terlebih di industri keuangan.
Praktik greenwashing sejatinya adalah implikasi dari asymmetric information yang merupakan fenomena alami di suatu transaksi keuangan. Hal ini terjadi ketika pihak penjual memiliki informasi lengkap tentang suatu produk atau proyek, tetapi tidak utuh menyampaikannya kepada calon pembeli.
Hal yang tak disampaikan adalah bahwa HSBC masih dan akan terus memberi kredit kepada perusahaan perusak lingkungan seperti perusahaan tambang minyak dan batubara.
Literatur sudah mendokumentasikan berbagai dampak buruk asymmetric information yang pada intinya menyebabkan transaksi keuangan menjadi tidak efisien. Dampak paling akut adalah mandeknya transaksi sehingga pasar keuangan gagal total menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana.
Oleh karena itu, sudah waktunya aparat hukum Indonesia menyiapkan cara untuk mencegah praktik greenwashing, khususnya di industri keuangan. Dalam beberapa tahun ke depan, proyek ESG akan semakin marak di Indonesia.
Hal ini perlu didukung dengan pasar keuangan yang efisien. Dimulai dengan adanya informasi yang simetris antara penjual dan pembeli produk keuangan ESG.