Dalam perekonomian neoliberal komunikasi, krisis lingkungan akan memiliki ruang dan efek terbatas, jika bukan yang terjadi malah krisis komunikasi itu sendiri. Hal ini berlangsung dalam berbagai jenjang.
Oleh
IDI SUBANDY IBRAHIM
·4 menit baca
SALOMO TOBING
Idi Subandy Ibrahim
Dunia sedang dikepung berbagai krisis! Katastropi mengancam planet ini. Korban utama adalah manusia sendiri.
Menulis di Foreign Affairs (25/7/2022), Joseph E Stiglitz, Todd N Tucker, dan Isabel Estevez mengingatkan, ”Krisis iklim semakin tak terkendali. Selama beberapa dekade terakhir, paparan panas ekstrem telah meningkat sebesar 200 persen pada populasi perkotaan, menyebabkan ribuan kematian dini setiap tahunnya di Amerika Serikat. Gelombang panas yang baru-baru ini terjadi di India dan Pakistan menyebabkan suhu melebihi 120 derajat fahrenheit sehingga membahayakan lebih dari 1 miliar jiwa. Meningkatnya suhu di Eropa pada bulan Juli telah menewaskan ribuan orang, memicu kebakaran hutan yang hebat, dan melelehkan landasan bandara. Pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan kemanusiaan bagi orang-orang yang kehilangan tempat tinggal akibat pemanasan global telah meningkat sebesar 800 persen....”
Ketika harian ini memuat gugatan warga atas polusi Jakarta yang mengancam kesehatan warganya, tempat-tempat di berbagai belahan dunia sedang mengalami anomali iklim dan suhu panas abnormal serta badai dan curah hujan tinggi yang menimbulkan malapetaka.
Melihat bencana itu, kita berharap pembentukan IKN bukanlah sekadar membangun ”Jakarta baru” di Kalimantan! Selama ini gambaran kota dunia serba seragam dan membosankan: keangkuhan gedung pencakar langit, kepadatan, dan kemacetan. Kota hijau dan berkelanjutan sering hanya retorika. Ini mengkhawatirkan mengingat data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa secara global setiap 3 dari 5 megakota yang berpenduduk 500.000 jiwa di dunia berisiko tinggi terdampak bencana alam. Sementara megakota merupakan rumah bagi 1,4 miliar jiwa yang tersebar di 679 megakota dari 1.146 megakota (Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, 2018). Di Indonesia, data 2012-2022 menunjukkan, dari 30.771 kejadian bencana, mayoritas melanda kawasan perkotaan dengan 44,95 juta jiwa terdampak (Kompas, 15/5/2023).
Peran media
Kerusakan lingkungan global diprediksi akan terus berlanjut dengan kian bertambahnya penduduk dan terbatasnya daya dukung alam. Keserakahan dan kerakusan aktivitas manusia yang berakumulasi mengeksploitasi sumber daya alam yang tanpa batas juga dinilai sebagai biang kerok degradasi lingkungan dan bencana ekologis.
Sampai sejauh ini, skeptisisme terhadap perubahan iklim dan pemanasan global dan ketidakpedulian pelaku usaha, abainya pemangku kebijakan, hingga perilaku kecil sehari-hari warga baik secara kolektif maupun individu ikut menyumbang dalam mempersulit penyelesaian masalah lingkungan hidup.
Dalam situasi seperti ini, komunikasi krisis lingkungan akan memiliki ruang dan efek terbatas, jika bukan yang terjadi malah krisis komunikasi itu sendiri.
Dalam perekonomian neoliberal yang bersemboyan kemajuan dan kenikmatan, konsumerisme kian menjadi norma budaya. Dalam situasi seperti ini, komunikasi krisis lingkungan akan memiliki ruang dan efek terbatas, jika bukan yang terjadi malah krisis komunikasi itu sendiri. Hal ini berlangsung dalam berbagai jenjang.
Dalam beberapa kasus, sebuah perusahaan misalnya bisa menghabiskan lebih banyak uang untuk iklan atau PR ramah lingkungan ketimbang pendanaannya untuk kelompok aktivitas lingkungan atau CSR untuk lingkungan. Bahkan, tak jarang selebritas yang dinilai peduli lingkungan pun memiliki citra publik kontradiktif karena pada saat yang sama masih mengiklankan produk komersial tak ramah lingkungan seperti rokok.
Tantangan juga terjadi di dunia media yang kian digerakkan pasar. Media yang sejatinya bisa mendorong debat publik tentang isu dan masa depan lingkungan karena tekanan komersialisasi bisa membatasi wacana lingkungan dalam pemberitaannya. Pertimbangan layak atau tidak secara komersial bisa membuat wacana komunikasi hijau kalah bersaing dengan isu-isu lain lebih ”seksi”. Agar konten layak secara komersial, konten tersebut biasanya dibatasi pada beberapa genre berita politik, bisnis, hiburan, dan olahraga yang telah teruji dan dapat dijual ke pasar lebih besar. Dengan semakin dihilangkannya profitabilitas komunikasi ramah lingkungan dalam komunikasi publik modern, semakin kecil kemungkinan komunikasi tersebut akan dipilih untuk digunakan dalam representasi berita media.
Di tingkat individu, komunikasi krisis lingkungan menghadapi tantangan oleh pandangan hidup konsumerisme itu sendiri. Konsumerisme mengasumsikan manusia adalah mesin penghitung yang dirancang untuk berbelanja dan mencari kesenangan. Obsesi memiliki dan menghabiskan menghambat kesadaran akan dampak jangka panjang terhadap lingkungan, bahkan mengurangi kemampuan etis kita untuk memikirkan keterhubungan antara diri dan alam, masa kini dan masa depan. Keterputusan ikatan diri dengan alam juga tercerabut dalam kurikulum pendidikan yang terlalu berdimensi kognitif bukan afektif.
Keterputusan hubungan emosional diri-manusia dengan alam merupakan akar krisis komunikasi fundamental yang terus menjauhkan kita dari alam. Mengomunikasikan krisis lingkungan menempatkan komunikasi sebagai pusat perubahan yang kita perlukan dalam memberikan strategi konkret yang membantu memecahkan hambatan yang menghalangi transformasi sosial dan budaya. Dalam krisis dan bencana lingkungan yang dahsyat ini pilihan ada dua: aktif menjadi bagian pemecahan masalah atau larut sebagai bagian dari masalah.
Ketika hampir merampungkan karya monumentalnya, Silent Spring, pencinta lingkungan, Rachel Carson, mengingatkan kita saat menulis kepada seorang teman dekatnya: ”Tidak, saya sendiri tak pernah mengira fakta buruk bakal mendominasi dan saya berharap hal itu tak terjadi. Keindahan dunia kehidupan yang saya coba selamatkan selalu menjadi hal utama dalam pikiran saya-dan kemarahan atas hal-hal brutal yang tak masuk akal yang sedang dilakukan. Saya merasa terikat oleh kewajiban serius untuk melakukan apa yang saya bisa-jika saya tak mencobanya, saya tak kan pernah bisa lagi bahagia di alam. Tetapi sekarang saya yakin setidaknya saya telah membantu sedikit. Memang tidaklah realistis untuk percaya bahwa satu buku bisa membawa perubahan total.”
Idi Subandy Ibrahimadalah Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar LB di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang: dan Pengajar LB di Program Doktor (S-3) Agama dan Media/Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung