/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F15%2F47587590-7c92-43b7-8c4d-2b594b05af04_jpg.jpg)
Beberapa pekan lalu, dunia Twitter trending dengan tagar ”Goodbye, Twitter”. Tagar ini merujuk pada logo lama burung biru yang sudah dikenal sejak lama untuk platform media sosial tersebut, yang kini berubah menjadi logo baru menampilkan huruf X berwarna putih di atas latar belakang hitam. Perubahan logo ini bukan satu-satunya kontroversi yang dibuat Elon Musk sebagai pemilik Twitter saat ini.
Pemutusan hubungan kerja besar-besaran pada awal pembelian Twitter yang mencapai 6.000 pegawai, hingga menyisakan 1.500 orang saja, juga menjadi kondisi semacam El Nino atas berkembangnya teknologi yang bisa menggantikan peran manusia dalam bekerja.
Walaupun Musk berdalih bahwa pemecatan pegawai secara masif dilakukan sebagai strategi peningkatan laba perusahaan untuk pembiayaan utang, hal itu sebenarnya bentuk pemangkasan biaya bagi perusahaan yang telah tergantikan dengan berkembangnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
AI memberikan ancaman untuk pegawai di masa depan karena perusahaan mulai berlomba beradaptasi mengembangkannya sendiri.
Pekerjaaan masa depan
Kisah modernisasi atas pekerja tidak berlangsung saat ini saja. Sejak revolusi industri, hal ini selalu menjadi tantangan bagi pasar tenaga kerja. Revolusi industri pertama kali muncul di Inggris pada pertengahan abad ke-18, dengan terjadinya pergeseran sisi pertanian (agraris) dan kerajinan ke industri serta manufaktur mesin.
Periode saat ini, saat semua beralih ke AI, merupakan bagian dari revolusi industri yang tak mudah untuk mentransformasi pasar tenaga kerja.
Jenis pekerjaan yang dinilai akan hilang adalah pekerjaan repetitif sehingga diperlukan suatu zona paling aman untuk keluar dari zona repetitif, seperti pemanfaatan AI.
Gejolak berkurangnya pekerjaan terlihat dalam Future of Jobs Report 2023 oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF), yang menyatakan pekerjaan administratif akan terus menurun, digantikan oleh AI. Jenis pekerjaan yang dinilai akan hilang adalah pekerjaan repetitif sehingga diperlukan suatu zona paling aman untuk keluar dari zona repetitif, seperti pemanfaatan AI.
Data Litbang Kompas menunjukkan terdapat sepuluh pekerjaan yang paling dicari dan paling terancam hilang dalam lima tahun ke depan. Jenis pekerjaan yang paling banyak bertambah jumlah pekerjanya dan banyak dicari adalah spesialis AI dan machine learning, konsultan perusahaan, analis bisnis intelijen, analisis keamanan informasi, fintech engineer, analis data dan saintis, robotic engineeer, spesialis big data, operator mesin pertanian, dan spesialis transformasi digital.
Sementara itu, sepuluh pekerjaan yang akan berkurang jumlah pekerjanya dan terancam hilang adalah teller bank dan sejenisnya, petugas pos, petugas tiket dan kasir, petugas entry data, sekretaris dan administrasi, petugas gudang, akuntan dan sejenisnya, pemasang dan perbaikan alat rumah tangga, penjual asuransi dan konsultan keuangan, dan petugas keamanan gedung.
Kondisi ini mestinya menjadi cikal bakal dalam mengidentifikasi jenis pekerjaan yang akan bersaing di lingkungan global bagi sektor publik.

Namun, eksistensinya tetap memperhatikan bahwa munculnya AI dan machine learning adalah untuk membantu secara berdampingan dengan sumber daya manusia, bukan malah menggantikan. Konsep ini harus benar-benar dicermati untuk mengantisipasi dampak negatif lingkungan dan psikologis bagi pegawai yang digantikan perannya oleh AI.
Kesiapan ASN dan kompetensi digital
AI akan terus memberikan dampak yang signifikan bagi administrasi publik, terutama bagi masyarakat. Dampak positif akan terlihat jelas dengan adanya manfaat yang diperoleh dan membantu pegawai di sektor publik untuk mengoptimalkan layanan publiknya.
Pemerintah Indonesia, dengan jumlah aparatur sipil negara yang mencapai 4,5 juta orang pada tahun ini, menghadapi tantangan tersendiri bagaimana mengelola ASN dan menyiapkan kompetensinya sesuai dengan pekerjaan yang bersaing di masa depan.
Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 45 Tahun 2022 tentang Jabatan Pelaksana Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Instansi Pemerintah, klasifikasi jabatan pelaksana terdiri dari klerek, operator, dan teknisi.
Jenis jabatan pelaksana ini mungkin nantinya ada yang masih bisa relevan dengan persaingan penggunaan AI, tetapi ada yang tereliminasi. Ini juga berlaku pada jabatan fungsional dan jabatan pimpinan tinggi.
Kesiapan ASN juga tertuang dalam Peta Jalan 25 Tahun Transformasi Digital dari Bappenas. Hal itu diperjelas dengan arahan Presiden Joko Widodo sebagai agenda percepatan transformasi digital nasional.
Kesiapan itu haruslah didukung dengan kompetensi digital dari sumber daya manusianya, terutama kompetensi soft skills yang meliputi kepemimpinan digital, kemampuan membangun jaringan (networking) dan kolaborasi, critical thinking, creative problem solving, dan manajemen diri.
Dukungan dan kesiapan kompetensi digital ASN pasti menjadi harapan dalam mempercepat transformasi digital nasional.
Baca juga: AI dan Kecemasan soal Masa Depan Pekerjaan
AI akan terus memberikan dampak yang signifikan bagi administrasi publik, terutama bagi masyarakat.
Tak bisa dimungkiri bahwa percepatan transformasi digital nasional menjadi agenda penting menghadapi ancaman pekerjaan dan jabatan yang saat ini berlaku di ASN.
Banyaknya pekerjaan yang akan hilang di pasar tenaga kerja secara global dalam waktu lima sampai sepuluh tahun mendatang harus disikapi oleh sektor publik dengan melakukan antisipasi pencegahan dari bagian revolusi industri seri ke sekian ini.
Tidak hanya berupa munculnya kebijakan yang menyesuaikan jenis pekerjaan, tetapi juga perlu update jenis pekerjaan, dengan membuat pengklusteran dan penyederhanaan atas jabatan-jabatan yang ada di lingkungan pemerintah, mulai dari tingkat jabatan pelaksana, jabatan fungsional, hingga jabatan pimpinan tinggi.
Orientasi perpindahan pekerjaan menggunakan AI memang akan sangat menguntungkan dalam segi nilai ekonominya, tetapi perlu diperhatikan dampak psikologisnya yang salah satunya bisa menghilangkan common sense sebagai manusia seutuhnya.
Azizah Puspasari, Analis Kebijakan Ahli Muda Pusat Kajian Manajemen Aparatur Sipil Negara