Bapeten menilai pelepasan air olahan dari limbah nuklir Fukushima tak berdampak negatif terhadap manusia dan lingkungan, asalkan kandungan tritium dalam olahan air limbah nuklir tersebut di bawah batas yang ditetapkan.
Oleh
L WILARDJO
·3 menit baca
Pro dan kontra terjadi terhadap pembuangan air limbah musibah PLTN Fukushima, yang sudah diolah dengan diencerkan oleh Jepang ke laut. Yang pro, selain tentu saja Jepang sendiri, ialah Badan Tenaga Atom Internasional atau IAEA.
Badan internasional yang berpusat di Vienna, Austria, itu telah menyetujui dan mengizinkan pembuangan air limbah tersebut ke laut. Penulis kira Indonesia juga setuju.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) menilai pelepasan air olahan dari limbah nuklir Fukushima itu tidak berdampak negatif terhadap manusia dan lingkungan asalkan kandungan tritium dalam olahan air limbah nuklir tersebut di bawah batas yang ditetapkan (oleh IAEA).
Berapa kuintiliun inti per cc air persisnya? Kita tidak tahu. Yang tahu, ya, IAEA dan Bapeten. Sebutannya secara kualitatif ialah ALARA (as low as reasonably achievable). Serendah yang dapat dicapai secara bernalar. Dalam hal ini, nalarnya para ahli nuklir di IAEA yang menggunakan alat-alat canggih untuk mengukur kandungan radioisotop itu.
Tidak ada konsensus tentang ukuran kuantitatif dari patokan kualitatif ALARA itu. Karena itu, negara-negara kepulauan di Lautan Pasifik tidak menyetujui pelepasan olahan air limbah Fukushima itu.
Sikap mereka bisa dimengerti. Masih belum hilang trauma akibat uji coba senjata fusi nuklir di kawasan itu oleh Amerika Serikat dan kemudian juga oleh Perancis. Yang paling keras menentang pelepasan olahan air limbah Fukushima ke laut itu ialah China.
Transaintifik
Para epidemiolog cenderung berada di pihak yang kontra terhadap ALARA itu, sebab ”batas” atau ”ambang”-nya hanya didasarkan pada prakira-kiraan (judgement) plus perhitungan ekstrapolatif. Ekstrapolasinya juga hanya linear atau—paling banter—eksponensial.
Padahal, apa yang terjadi pada aras kontaminasi radioaktif yang sangat rendah tak diketahui. Siapa tahu, jangan-jangan di sana, atau bahkan sebelum sampai ke sana, ada taji-taji (peaks) pada kurva epidemiologis probabilitas timbulnya kanker versus aras (level) kontaminasi isotop radioaktif itu?
Masalah ini termasuk dalam kategori ”transaintifik” (melampaui gapaian sains). Yang pasti tahu hanya Tuhan! Dua belas tahun sejak musibah Fukushima, berarti kira-kira hanya satu umur paruh tritium (12,3 tahun). Jadi, masih ada 50 persen jumlah inti tritium yang dimuntahkan reaktor PLTN Fukushima.
Mereka yang tetap menentang ”ulah” Jepang yang notabene sudah mendapat lampu hijau dari IAEA itu bisa saja kita anggap waton suloyo, memakai ”aji pengeyelan”. Namun, di antara mereka itu—bahkan di barisan terdepannya—ada negara adidaya China.
Dan, China tidak main-main. Negerinya Xi Jinping itu siap menyeret Jepang ke depan meja hijaunya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Prosesnya mahal
Tritium (T) dalam molekul air terberat (heaviest water), T2O, tidak dapat dipisahkan secara kimiawi dari ketercampur-adukannya dengan deuterium (D) dalam air berat (heavy water), D2O, dan dengan air ringan (light water), H2O.
Penyebabnya, ketiga atom non-oksigennya—T, D, dan H—merupakan unsur kimia yang sama, yakni sama-sama mengandung satu proton di dalam intinya dan satu elektron di luarnya.
Pemisahannya dapat dilakukan secara fisikawi, misalnya dengan pengemparan—dengan mesin centrifuge—atau dengan difusi beriam (cascading diffusion) melalui banyak sekali selaput berpori-pori renik, tetapi prosesnya mahal. Oleh karena itu, air limbah yang tercemar tritium tersebut oleh Tepco hanya diencerkan (diturunkan konsentrasi tritiumnya) sebelum dibuang ke laut.
L Wilardjo GuruBesar (Emeritus) Fisika, Dosen Filsafat Ilmu, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro