Kasus Munir, Kejahatan Masa Lalu, dan Politik Kita
Sudah 19 tahun berlalu, Indonesia belum juga menuntaskan kasus Munir. Sudah semestinya para kandidat dalam Pemilu 2024 dapat menawarkan solusi nyata untuk menuntaskan kasus kejahatan kemanusiaan masa lalu.
Oleh
USMAN HAMID
·4 menit baca
Ada yang selalu hilang dalam dinamika politik kita. Menjelang ajang Pemilu 2024, dinamika perbincangan kepartaian dan elite cenderung fokus kepada siapa, subkultur apa, dan yang paling dominan adalah siapa paling populer. Yang hilang adalah kebijakan mereka di bidang penegakan hak asasi manusia dan bagaimana mereka menuntaskan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan, misalnya kasus kematian Munir yang terjadi pada 19 tahun silam.
Indonesia adalah negara yang berbentuk republik. Kata ”republik” ini bermakna bahwa politik kita ditumbuhkembangkan berlandaskan kepada tiga sendi kehidupan kebangsaan, yaitu martabat kemanusiaan (human dignity), penegakan aturan hukum (rule of law), dan kesetaraan warga (equal citizenship).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ketiganya merupakan prinsip-prinsip pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Isu HAM dengan demikian menjadi relevan dalam konteks pemilu serta penting untuk dimasukkan dalam bahan kampanye para calon presiden (capres) dan calon anggota legislatif (caleg) untuk diketahui rakyat pemilih.
Hak asasi manusia adalah nilai dasar dalam masyarakat majemuk dan demokratis karena mencakup hak-hak dasar seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan hak atas kehidupan yang layak secara sosial ekonomi. Faktor-faktor ini sangat relevan dalam menggalang dukungan para pemilih.
Dalam kampanye pemilu, para caleg dan timses capres dapat menyoroti masalah-masalah HAM yang menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia, seperti menyempitnya ruang kebebasan, ketidaksetaraan, diskriminasi, kekerasan politik, dan ketidakadilan sosial yang merendahkan human dignity.
Begitu pula soal 12 kasus pelanggaran HAM berat, yang walaupun sudah diakui dan disesalkan negara, tetapi penegakan rule of law kasusnya tak terlihat. Masih ada kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum diakui, seperti Tanjung Priok 1984, pembunuhan Munir 2004, dan kerusuhan 27 Juli 1996.
Rakyat pemilih perlu mengetahui rekam jejak para caleg dan capres serta cawapres terkait dengan HAM, termasuk apakah mereka pernah terlibat dalam pelanggaran HAM atau memiliki catatan positif dalam memperjuangkan HAM. Ini membantu pemilih membuat keputusan yang lebih informatif dan berdasarkan nilai-nilai yang mereka anggap penting.
Keadilan untuk Munir
Munir adalah aktivis HAM yang dibunuh dengan racun arsenik dalam penerbangan Garuda 974 dari Singapura ke Amsterdam pada 6 September 2004. Ia tiba-tiba dibunuh setelah sebelumnya dituduh dengan prasangka religio-ideologis yang negatif.
Pembunuhannya terjadi kurang dari dua pekan sebelum berlangsungnya putaran kedua Pilpres 2004. Di antara dua momen itu, terjadi peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia, 9 September 2004.
Atas desakan kalangan masyarakat sipil, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Tim Pencari Fakta pada 23 Desember 2004. Dalam laporannya, tim ini mengidentifikasi orang-orang yang terlibat membunuh Munir, dari seorang kopilot yang sedang tidak bertugas dan berada dalam penerbangan Munir, hingga pejabat senior maskapai Garuda dan pejabat tinggi intelijen.
Ini adalah kasus pembunuhan seorang aktivis HAM yang terkenal secara internasional. Dibunuh di luar negerinya, diikuti penyelidikan yang melibatkan petugas koroner Belanda serta agen FBI, dan menarik perhatian banyak kalangan termasuk Kongres Amerika Serikat, anggota parlemen Australia, Parlemen Eropa, dan juga para pelapor PBB mengenai pembunuhan ekstra yudisial, independensi peradilan, serta pembela hak asasi manusia.
Kasus Munir menambah kekecewaan terbesar atas kegagalan negara dalam mengadili dalang kejahatan masa lalu.
Kini sudah 19 tahun berlalu sejak meninggalnya Munir. Indonesia belum juga menuntaskan kasus ini. Saat menjabat Presiden, SBY berjanji kepada istri Munir, Suciwati, dan menyebut kasus ini sebagai ”ujian sejarah kita”.
Kasus Munir menambah kekecewaan terbesar atas kegagalan negara dalam mengadili dalang kejahatan masa lalu. Negara gagal menghukum penjahat kemanusiaan selama turbulensi politik 1965/1966, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, penculikan aktivis 1997/1998, hingga Tragedi Trisakti 1998, Mei 1998, Semanggi 1998/1999 pada pengujung kekuasaan Orde Baru.
Selama hampir sepuluh tahun menggantikan SBY, Presiden Joko Widodo yang berjanji menuntaskan kasus Munir ternyata belum memenuhi janji itu. Banyaknya sahabat Munir di pemerintahannya tak cukup membuat Jokowi menyebutkan kasus ini saat memberikan pernyataan pengakuan dan penyesalan atas 12 pelanggaran HAM berat masa lalu.
Keadaban politik kita
Sudah semestinya para calon presiden, calon anggota legislatif, dan tim sukses dapat menawarkan solusi dan kebijakan nyata untuk mengatasi masalah ini. Kita ingin pemilu dapat menemukan pemimpin yang benar-benar adil (personal virtue) dan berani membawa bangsa ini menuju keadaban bersama (civic virtue).
Memasukkan isu HAM dalam kampanye memungkinkan pemilih untuk memahami nilai dan komitmen calon terkait HAM. Ini menciptakan tingkat akuntabilitas yang lebih besar karena pemilih dapat memantau kinerja para pejabat terpilih dalam melindungi HAM selama masa jabatan mereka.
Selama tragedi kejahatan masa lalu dibiarkan tanpa kejelasan, selama itu pula keadaban politik kita berada di titik rendah. Tragedi pembunuhan orang-orang pada 1965/1966 atau pada tragedi Priok 1984 dan Talangsari 1989 membuktikan politik kita belum memuliakan martabat manusia. Jika dibiarkan, maka akan berulang. Politik kita akan terus gagal mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyetarakan warga bangsa.
Kasus Munir merusak keluhuran politik, melemahkan citra reformasi karena ia dibunuh enam tahun setelah jatuhnya Soeharto dan beberapa hari sebelum pemilihan presiden langsung yang pertama di negara ini. Jika kasus Munir dan kejahatan masa lalu merupakan sebuah ujian sejarah, sebenarnya ia adalah ujian bagi keadaban politik kita. Penyelesaian kasus-kasus ini menunjukkan bukan hanya reformasi yang efektif di sektor intelijen, militer, kepolisian, dan keamanan yang lebih luas di Indonesia, tetapi juga perlunya memastikan tidak adanya kekerasan dalam kehidupan politik.
Jika kita ingin meninggikan keadaban politik kita, harus ada kesungguhan untuk mengajak partisipasi seluruh komponen bangsa. Partai politik dan para elite wajib menghormati martabat manusia, supremasi hukum, dan kesetaraan warga sebagai dasar-dasar kehidupan dari sebuah republik.
Kita tidak ingin generasi masa depan Indonesia mewariskan ingatan kolektif bangsanya sekadar perebutan kekuasaan, menghalalkan segala cara untuk meraihnya, dan mengkhianati keadilan.
Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia; Pengurus LHKP PP Muhammadiyah