Penghapusan kewajiban skripsi memang memberi kebebasan mahasiswa memilih tugas akhir sesuai bidang yang diminati. Meskipun begitu, mahasiswa harus memahami tugas akhir lain pengganti skripsi.
Oleh
HAIYUDI
·3 menit baca
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengeluarkan Peraturan Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Salah satu isi dalam peraturan tersebut adalah menghapuskan kewajiban skripsi bagi calon sarjana. Ini menjadi banyak pertanyaan berbagai kalangan. Pro dan kontra saling bertukar tempat di berbagai media sejak peraturan menteri tersebut diumumkan pada 20 Agustus 2023.
Hari ini, yang perlu dilakukan bukan menghujat atau memuji tak berkesudahan, tetapi yang perlu dilakukan adalah mempertimbangkan beberapa sisi, baik positif, negatif atau hal-hal yang perlu dipertanyakan. Melalui tulisan ini, ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan, bukan untuk mencegah kebijakan, melainkan untuk menjadi pendidikan bagi semua, utamanya bagi mahasiswa. Beberapa hal jika dikaji berdasarkan plus dan minus kebijakan tersebut.
Dalam sudut pandang positif, pertama, mahasiswa diberi kebebasan memilih tugas akhir sesuai bidang yang diminati. Beberapa mahasiswa memang tidak memiliki atau memiliki passion rendah dalam penulisan dan melakukan penelitian. Mereka justru tergolong dalam orang lapangan yang senantiasa memilih terjun dan melaksanakan beberapa proyek.
Kedua, beberapa bidang ilmu menuntut mahasiswa untuk terjun langsung. Selama prosesnya, penulisan laporan adalah hal terpisah. Meskipun praktik lapangan adalah kompetensi utama, menulis tentu harus menjadi aspek yang dipertimbangkan. Oleh karena itu, perlu diketahui bahwa proses pelaporan terhadap kerja lapangan sebagian mahasiswa itu sebetulnya sudah masuk ke ranah skripsi. Hanya saja terbatas kepada narasi dan kemampuan literasi yang dapat mendukung proses tersebut.
Berkaitan dengan kedua hal di atas, mahasiswa dapat memilih bidang tugas akhir sesuai dengan peminatannya dianggap lebih siap untuk memasuki dunia kerja. Hal ini tentu karena mereka sebelumnya bebas memilih metode pembelajaran yang berupa kerja lapangan, magang industri, atau melakukan proyek yang memiliki luaran berupa prototipe tertentu. Oleh karena itu, gagasan ini sepertinya menjadi segelintir alasan Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk mengambil kebijakan penghapusan kewajiban skripsi.
Namun, perlu diketahui bahwa beberapa negara memang sudah menerapkan ini jauh hari sebelum Indonesia saat ini. Sepertinya mereka menjadi kiblat Nadiem menghadap selain memang mempersiapkan mahasiswa untuk lebih berpikir ke lapangan sejak menjadi mahasiswa. Meski demikian, tentu tidak bisa disamaratakan atau dibandingkan antara kesiapan beberapa negara di luar dan Indonesia.
Akan tetapi, jika menilik dari berbagai aspek tertentu, penghapusan kewajiban skripsi bagi calon sarjana tentu memiliki sisi negatif atau yang perlu dipertanyakan. Pertama, penghapusan kewajiban skripsi bagi calon sarjana akan dipastikan menurunnya performa mahasiswa dalam bidang pelaporan karya ilmiah atau penelitian. Beberapa mahasiswa memiliki tujuan yang belum final di jenjang sarjana dan memilih untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Ini akan menjadi bumerang bagi mereka (yang ingin melanjutkan ke jenjang pascasarjana) yang memilih tidak mengambil skripsi lantaran dianggap susah.
Oleh karena itu, program studi yang dianggap memiliki tugas dalam menentukan keputusan harus melakukan pemetaan yang baik. Tidak dimungkiri bahwa hari ini ada banyak lulusan pascasarjana, tetapi masih (awam) dalam bidang penelitian. Ini harus menjadi perhatian khusus bagi kampus utamanya dalam jajaran program studi.
Pemerintah harus mempersiapkan instrumen penilaian yang lebih baik dari sekadar penulisan karya ilmiah (skripsi).
Kedua, peringkat PISA Indonesia masih tergolong rendah. Sebelumnya, awal 2023 Nadiem pernah meminta maaf sebab peringkat PISA Indonesia tidak juga meningkat (Media Indonesia, 2023). Namun, permintaan maaf itu tidak sejalan dengan kebijakan hari ini. Dengan diwajibkannya skripsi bagi mahasiswa saja peringkat PISA Indonesia tidak meningkat sehingga dikhawatirkan ada penurunan performa setelah skripsi bukan lagi menjadi syarat wajib kelulusan calon sarjana.
Selain itu, pemerintah harus mempersiapkan instrumen penilaian yang lebih baik dari sekadar penulisan karya ilmiah (skripsi). Hal ini dikhawatirkan muncul bias dalam melihat performa kualitas mahasiswa terutama calon sarjana. Dengan demikian, meskipun syarat kelulusan sarjana bukan lagi menyusun karya ilmiah, performa peningkatan kualitas mahasiswa dapat terukur dengan baik.
Di luar dari beberapa poin baik plus ataupun minusnya, tentu ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan dan harus menjadi perhatian khusus bagi calon sarjana. Jangan sampai menganggap keputusan Mendikbudristek ini hanya terbatas kepada mudah dan susah saja. Mahasiswa harus lebih jeli dalam memilih nanti. Apakah pengganti skripsi akan lebih mudah? Itu pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh siapa pun.
Mudah dan susah adalah hal yang sangat relatif. Oleh karena itu, mahasiswa jangan sampai terjebak kepada euforia penghapusan skripsi ini. Substansi yang sering kali diusung dan sangat popular adalah perihal penerimaan terhadap penghapusan skripsi lantaran sebelumnya dianggap menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa.
Selain itu, apakah penghapusan kewajiban skripsi ini akan mempercepat masa studi? Tentu penjelasan yang sama akan muncul. Lama dan sebentarnya proyek atau tugas akhir mahasiswa akan bergantung kepada jenis yang merupakan implikasi dari pemilihan bidang studi.
Mahasiswa harus memahami prototipeatau tugas akhir lain pengganti skripsi. Analisis waktu terhadap pelaksanaan tugas akhir harus juga menjadi pertimbangan matang. Terlebih ini merupakan kebijakan baru, adaptasi sistem dan pola penerimaan dari mahasiswa, program studi dan kampus sangat memengaruhi berjalannya keputusan Nadiem ini.