Jender dan Semangat Zaman
Tentu pameran 78 perempuan perupa yang telah digelar untuk menyambut peringatan 78 tahun kemerdekaan bangsa merupakan puncak manifestasi jender dalam seni rupa.
Baru-baru ini, tepatnya tanggal 14-20 Agustus 2023, karya 78 perempuan terkumpul dan dipamerkan di Pos Bloc Jakarta untuk menyatakan marwahnya yang bertepatan dengan perayaan 78 tahun Proklamasi Indonesia.
Dengan berbagai karya seni, atau mungkin istilah yang dianggap Jim Supangkat lebih pas untuk terjemahan seni, yaitu kagunan.
Pameran Marwah bisa diartikan sebagai manifestasi perempuan tentang keberadaannya, semacam revolusi perempuan yang merebut tempatnya di peta seni rupa Indonesia.
Marwah, suatu dignity yang pernah mencapai tingkat begitu rendah sehingga perempuan menganggap protes mengenai ketidakikutsertaan dalam suatu pameran arus utama, sesuatu di bawah marwah mereka, ”lebih baik berkarya saja”. Apakah kini, pameran Marwah yang diadakan untuk menyambut 78 tahun kemerdekaan bangsa menjadi suatu momentum untuk merayakan kemenangan yang selama ini tertahan?
Jender yang umumnya dikait-kaitkan dengan masalah persamaan pria dan perempuan awalnya diartikan secara tradisional. Peran setiap jender ditentukan oleh norma dan kepercayaan yang telah ada sejak berabad-abad lamanya. Menciptakan sesajen, tekstil, dan keramik mungkin merupakan ungkapan seni pertama dari kaum perempuan.
Beda halnya pada penciptaan karya perempuan kontemporer, di mana hasrat pribadi si perupa ikut berbicara.
Baca juga: Pergolakan Rasa Carla
Sejarah perempuan perupa di ajang seni rupa kontemporer secara nyata bisa ditelusuri dengan menelusuri pameran besar di mana perempuan ikut serta.
Sebelum tahun 2000-an, perempuan jarang ikut serta dalam pameran besar. Seperti juga di mana-mana, perempuan sebagai pelaku seni seperti tidak dianggap atau diabaikan. Pada pameran arus utama (KIAS di Amerika Serikat 1990-1992), misalnya, tidak terdapat satu peserta perempuan pun. Demikian juga tidak ada satu perempuan pun di antara 22 peserta pada pameran Karya Seni Indonesia Modern di Amsterdam (1993). Begitu pun sembilan peserta dalam Asia Pacific Triennial di Brisbane, semuanya pria.
Memang keikutsertaan dalam berbagai pameran itu kebanyakan ditentukan oleh kurator pria. Adapun perempuan perupa pada zaman itu masih merasa di bawah martabat dan kehormatan mereka untuk berprotes.
Namun, keikutsertaan perempuan dalam tim kuratorial pun tidak menjamin keikutsertaan perempuan perupa dalam pameran. Sebut saja kuratorial/seleksi untuk Traveling Exhibition”Modernities and Memories” (1997) yang berfokus karya dari dunia Islam, tidak ada satu pun perempuan Indonesia yang dipilih tim Indonesia walaupun ada dua perempuan terhormat yang ikut dalam tim kuratorial. Bertolak belakang dengan Pakistan dan Turki yang perempuan perupanya diikutsertakan. Mungkinkah perempuan dalam tim kuratorial Indonesia kewalahan menghadapi kekuatan laki-laki dalam timnya? Entahlah.
Pameran perempuan perupa profesional menjadi momentum ketika pada April 1994, Menteri Negara Peranan Wanita bersama dengan Taman Mini Indonesia Indah memprakarsai pameran karya perupa. Saat itu, untuk pertama kalinya jenis kelamin dan kualitas karya 42 perupa dipadukan dengan baik dan seimbang.
Tapi adalah tahun 1998 yang menjadi momen kebangkitan perempuan perupa. Pameran Women in the Realm of Spirituality yang diprakarsai Ibu Toeti Heraty N Roosseno dengan kurator Jim Supangkat digelar di Universitas Gregoriana, tempat para pastor mendapat pendidikan untuk menjadi misionaris. Tempat maskulin itu dipenuhi karya 16 perempuan perupa, yang baru mengalami peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan etnik Tionghoa. Menarik sekali bahwa ternyata karya perupa senior berubah total dari yang biasanya ber-image tekstil atau bunga-bunga.
Ratmini Soedjatmoko melukis ”Dasamuka” dengan karakter angkara murka. Wiranti Tedjasukmana menghadirkan lukisan seorang perempuan berbusana kebaya encim yang di dirinya dikerumuni ular berwarna hijau. Adapun Paula Isman yang menyatukan dalam satu frame Bunda Maria dan Eve. Pameran yang diberitakan di media Italia, koran maupun Radio Vaticana, menyentuh publik dan gaya mereka disebut bahasa baru dalam seni rupa.
Kemudian tahun 2001, Cherry Salim dari Galeri Embun mengadakan pameran karya 14 perempuan perupa berusia antara 24 tahun dan 35 tahun di Galeri Nasional yang bertajuk Women and the Dissemination of the Meaning of Space. Pameran pertama di Galeri Nasional ini menandakan munculnya perempuan generasi baru di ajang seni rupa kontemporer, tetapi harus menunggu enam tahun sebelum pameran berikutnya yang dibarengi dengan terbitnya buku Indonesian Women Artists: The Curtain Opens, di Galeri Nasional pada 2007, yang mencakup 34 perempuan perupa.
Baca juga: Bienial sebagai ”Think Tank” Peradaban Alternatif
Setelah 2007, baru 12 tahun kemudian ada lagi pameran yang menyertakan publikasi buku Indonesian Women Artists: Into the Future (2019). Beruntung bahwa Yayasan Cemara Enam juga berminat untuk mengisi kekosongan dalam sejarah seni rupa Indonesia. Yayasan ini giat mendukung publikasi dan pameran berikutnya, yaitu Indonesian Women Artists: Infusions into Contemporary Art (2022) yang mencakup sepuluh perempuan perupa. Kinerja mereka dianggap telah memperkaya cakrawala seni rupa Indonesia. Ternyata sebagian besar diketahui sudah berkarya mulai lebih dari dua dekade sebelumnya dan beberapa kinerjanya sudah tercatat di buku yang diluncurkan pada 2007.
Kinerja mereka dianggap telah memperluas cakrawala dan memperkaya khazanah seni rupa kontemporer Indonesia.
Tentu pameran 78 perempuan perupa yang telah digelar untuk menyambut peringatan 78 tahun kemerdekaan bangsa merupakan puncak manifestasi jender dalam seni rupa yang tak terbantahkan. Tentu lebih bermakna lagi apabila eksekusi karya juga mengikuti perkembangan zaman di mana ilmu pengetahuan, teknologi, dan bahan eksekusi menandakan zaman terkini. Perlu ditambahkan bahwa beberapa perupa muda dalam pameran Marwah yang lintas usia memang sudah menghadirkan visi dan praxis demikian, tetapi belum mengimbangi kuantitas peserta.
Dengan harapan, semoga gelaran Marwah menjadi catatan yang tak terhapuskan dari prestasi perempuan perupa dalam sejarah seni rupa Indonesia. Diharapkan pula bahwa di kemudian hari pameran besar dapat mengikutsertakan lebih banyak perempuan perupa yang sudah berevolusi sesuai zaman.
Jurnalis dan Pengamat Seni Rupa Kontemporer