Riwayat Rentan Taman Patung ASEAN
Sejumlah peristiwa unik terjadi di Taman Suropati menjadikan taman yang juga dikenal sebagai Taman Patung ASEAN ini menempel dalam ingatan. Mulai dari ruang untuk menjajakan lukisan hingga markas darurat tentara.

Ketika Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 2023 digelar di Jakarta pada September ini, Taman Suropati, yang kemudian juga dikenal sebagai Taman Patung ASEAN, kembali menjadi perhatian. Apalagi, taman ini banyak menghasilkan kisah, baik sebagai ruang publik maupun sebagai infrastruktur seni rupa.
Taman Suropati, yang bersentuhan dengan Jalan Diponegoro dan Jalan Imam Bonjol, adalah taman legendaris yang ada di Jakarta. Taman ini dibangun oleh FJ Kubatz dan FJL Gijshels. Pola desain mereka diarahkan oleh PAJ Van Moojen, arsitek yang mendirikan gedung Bataviasche Kunsktring (kini Resto Kunstkring Paleis) yang terletak tak jauh dari taman itu. Mereka bertiga bekerja atas instruksi Burgemeester (Wali Kota) Batavia GJ Bisschop yang memerintah pada 1916-1920. Maka, taman seluas 16.328 meter persegi ini pun diberi nama Bisschopplein.
Taman ini dibuka pada 1919 dan menjadi tempat rekreasi bagi para warga di kawasan Menteng, Batavia. Pada 1950, nama Bisschopplein dinasionalisasi menjadi Taman Suropati. Sebuah nama yang merujuk kepada Untung Suropati (1660-1706), seorang budak yang menjadi panglima perang kala melawan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Foto Cerita: Suatu Pagi di Taman Suropati
Selama puluhan tahun Taman Suropati eksistensial sebagai ruang hijau di pusat Kota Jakarta. Posisinya di kawasan elite menjadikan Taman Suropati sebagai wilayah yang paling diperhatikan kesuburan dan estetisme kebunnya. Hampir seratus jenis pohon yang dahulu ditanam oleh Bisschop tampak selalu dipelihara. Pohon mahoni, sawo kecik, ketapang, serta pohon tanjung tetap menjadi bagian yang memperkaya pandangan.
Namun, bukan hanya ijo royo-royo itu saja yang menyebabkan taman ini dikenal. Sejumlah peristiwa unik yang terjadi di sini juga menjadikan taman ini menempel dalam ingatan.

Pintu masuk Taman Suropati, Jakarta
Aliran Taman Suropati
Pada 1970 hingga awal 1980 di sekitar taman banyak pedagang yang menjual lukisan komersial. Lukisan-lukisan produksi Bandung, Sukaraja, dan Tasikmalaya itu digantung berjajaran di trotoar taman. Meski mengganggu keindahan, keberadaan penjual lukisan kaki lima ini diizinkan oleh pemerintah kota karena dianggap sejalan dengan konsep Van Moojen.
”Apabila para orang kaya punya rumah seni lukis di gedung Batavasche Kunstkring, rakyat kecil punya taman seni di Taman Suropati,” kata Fauzi Bowo, Gubernur Jakarta 2007-2012.
Keberadaan pajangan lukisan komersial di Taman Suropati itu menyenangkan publik sehingga melahirkan wacana ”seni lukis bawah”, atau seni yang diproduksi para seniman berkelas sosial bawah, yang umumnya nonakademis (Sanento Yuliman, 2001). Begitu pula distribusi dan konsumsinya, yang juga berlangsung di lapisan sosial bawah atau menengah-bawah, bagai yang dilakukan di Taman Suropati.
Sebalik dari itu adalah ”seni lukis atas”, yang dicipta oleh para pelukis akademis, atau yang mengacu kepada kaidah dan wacana akademi modern. Karya-karya mereka eksklusif sehingga menggunakan sarana distribusi yang juga khusus, seperti galeri atau promotor seni. Oleh karena seni lukis mashab ini terbilang berharga relatif tinggi, konsumennya adalah kelas menengah atas atau kelas atas.
Keberadaan pajangan lukisan komersial di Taman Suropati itu menyenangkan publik. Dan lantas melahirkan wacana ’seni lukis bawah’.
Fakta menunjukkan bahwa seni lukis yang dijajakan di Taman Suropati umumnya adalah hasil repainting dari karya ”pelukis atas”. Seperti lukisan realisme dan naturalisme Mooi Indie (Indonesia Molek) yang dicipta oleh pelukis berpendidikan modern, seperti Basoeki Abdullah, Wakidi, dan Henk Ngantung. Lukisan yang di-repainting dipilih yang secara tematik dan visual gampang dinikmati, dan diperkirakan laku. Pada hari-hari kemudian jajaran lukisan di taman itu disebut ”Lukisan Taman Suropati” atau ”Aliran Taman Suropati”.
Predikat itu tentu tepat. Meskipun sebutan itu akhirnya di balik logika pemahamannya oleh sejumlah kritikus, dengan tujuan merendahkan sejumlah figur ”pelukis atas”. Mereka mengatakan bahwa Basoeki Abdullah, Wakidi, dan lain-lain itu adalah penganut aliran Taman Suropati. Dengan begitu, kualifikasinya adalah pasaran atau murahan. Pembalikan fakta ini dijadikan wacana dan berusaha dimasifkan dalam sejarah dan dalam waktu lama selalu diperkarakan dalam perbincangan.
Tak terduga Taman Suropati sebagai ruang seni lukis nyata punya peranan dalam memicu masyarakat seni rupa untuk berwacana dan berpleset ria dalam logika.

Patung Peace karya Sunaryo di Taman Suropati, Jakarta.
Taman Patung ASEAN
Dari taman seni lukis, Taman Suropati berubah menjadi taman patung. Itu terjadi pada akhir 1984 ketika pemerintah Jakarta meletakkan patung-patung para seniman pilihan ASEAN. Patung-patung yang didirikan oleh Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara itu diberi tema persahabatan dan kesatuan hati negara-negara ASEAN.
Di hamparan taman itu lantas berdiri patung Harmony karya Awang Hj Latif Aspar (Brunei Darussalam); Rebirth karya Luis E Yee Jr (Filipina); Fraternity karya Nonthivathn Chandhanaphalin (Thailand); Peace Harmony & One karya Lee Kian Seng (Malaysia); The Spirit of Asean” ciptaan Wee Beng Chong (Singapura). Indonesia diwakili oleh Peace karya Sunaryo, pematung dari Bandung, yang mengabstraksikan dua manusia sedang berpelukan.
Banyak kebahagiaan yang tumbuh ketika para pengunjung berada di situ. Perjumpaan kehijauan dedaunan dan semarak aneka bunga dengan patung-patung indah menjadikan taman sebagai tempat rekreasi budaya. Meski beberapa tahun menjelang 1990 taman ini kerap menjadi wilayah singgah tunawisma, yang disusupi pencoleng dan penodong. Walau demikian, Taman Suropati, yang juga disebut Taman Patung ASEAN atau ASEAN Scupture Park, tetap dianggap sebagai taman paling terperhatikan di Jakarta.
Lihat Galeri Foto: Taman Suropati sebagai Oase bagi Warga Ibu Kota
Namun, sejauh-jauh diapresiasi sebagai tempat yang nyaman, taman ini pernah menjadi tempat yang mencekam. Itu terjadi pada 1997-1998.
Pada waktu itu, Indonesia sedang mengalami krisis moneter yang berujung dengan kejatuhan Presiden Soeharto pada Mei 1998. Berkenaan dengan itu, kediaman keluarga Soeharto di Jalan Cendana diincar masyarakat sebagai sasaran kemarahan. Untuk menghindari itu, jalan-jalan di sekitar Jalan Cendana disterilisasi selama berbulan-bulan. Maka, sejumlah peleton tentara membuat kemah di Taman Suropati. Alhasil, taman pun menjadi seperti markas darurat tentara. Keindahannya runtuh. Patung-patung yang ada di situ mendadak bagai onggokan barang rongsok.
Kondisi dan situasi taman ini sangatlah jauh berbeda dengan ASEAN Scupture Park di negara tetangga, seperti di Fort Canning Park, Singapura; di Distrik Nong Kai (Thailand); di Pesiaran Damuan (Brunei Darussalam); di Pesiaran Sultan Salahhudin Kuala Lumpur (Malaysia). Di negara-negara itu, ASEAN Sculpture Park dilindungi sebagai wilayah luhur, dihormati seperti sebuah museum. Tidak pernah ada kemah-kemah darurat dan senjata apa pun yang bisa masuk di area itu.

Di teks papan sejarah singkat Taman Suropati tertulis kata yang salah, yaitu Boorgermeester yang berarti tukang bor, seharusnya Burgemeester yang berarti wali kota.
Pada suatu hari, saya berkunjung ke Taman Suropati. Kesuburan dan keteduhan taman masih terpelihara. Namun, desain taman yang kurang terpola menyebabkan taman luas itu terasa ruwet. Kurang estetis dan seperti area perkebunan belaka. Selebihnya, kelihatan sekali patung-patung dari batu, logam, dan kayu itu kurang diurus.
Lumut tampak dibiarkan menempel lama sehingga, ketika dibersihkan, tetap menyisakan bercak yang mengganggu pandangan. Sementara posisi patung yang dipertahankan seperti dulu terasa terdesak oleh materi taman yang semakin bertambah. Bahkan, sebuah patung tampak bersaing rupa dengan bakupon (rumah burung merpati).
Keadaan ini melahirkan kritik. Sebaiknya kedudukan patung-patung itu, yang selama ini mendarat langsung di tanah, direnovasi. Patung selayaknya diletakkan di atas pelataran baru (fondasi) yang memiliki ketinggian dari permukaan tanah sehingga patung memiliki otonomi wilayah sendiri. Selama ini, apabila hujan agak lama, patung-patung itu ikut berbecek-becek karena kontur tanahnya sangat datar. Lampu-lampu yang menyinari patung perlu direka artistik agar patung hadir sebagai aksen-aksen yang atraktif pada malam hari.
Baca Juga: Dari Baca Gratis sampai Berlatih Biola di Taman Suropati
Lalu, anggota ASEAN kini sudah berjumlah 10 dengan masuknya Laos, Myanmar, Vietnam, dan Kamboja. Karena itu, bijak apabila komite Taman Patung ASEAN juga mulai berinisiatif mengajak para pematung empat negara itu untuk berpartisipasi. Syukur-syukur apabila Timor Leste dan Papua Niugini juga bergabung.
Hal yang tak boleh dilupakan, pengelola taman harus mengganti tulisan dalam prasasti ”Sejarah Singkat” yang sampai ujung 2020 dipasang di tengah taman itu. Di sana tertulis kata Boorgermeester, seharusnya Burgemeester yang artinya wali kota karena merujuk kepada Wali Kota Bisschop, sementara boorgermeester artinya tukang bor! Tidak ada hubungan sama sekali dengan dunia pertamanan dan Bisschop.
Ujung kalam, mengiringi eksistensi Taman Suropati, kini di kawasan Jalan Pattimura, Jakarta Selatan, terhampar Taman ASEAN. Di taman indah itu berdiri satu patung artistik berbentuk jajaran 10 pilar yang melambangkan 10 negara ASEAN. Namun, monumen itu terkesan jadi remanen ketika tubuh monumen dibentangi tulisan ”ASEAN Matters Epicentrum of Growth”, tagline KTT ASEAN 2023.
Agus Dermawan T, Kritikus; Penulis Buku-buku Budaya dan Seni; Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden RI

Agus Dermawan T