Urusan Rokok yang Tak Kunjung Selesai
Pendekatan ”social marketing” dapat digunakan dalam upaya pengendalian kebiasaan merokok. Dengan pendekatan ini, pesan negatif diubah dengan pesan positif untuk memicu rasa percaya diri atau kesenangan atau kebanggaan.
Rupanya berbagai upaya yang dilakukan berbagai pihak untuk mengurangi, bahkan menghilangkan, konsumsi rokok di Indonesia tidak berjalan sesuai harapan.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, penduduk usia 15 tahun yang merokok masih sebesar 28,25 persen, tidak berbeda signifikan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sementara, menurut WHO, pada 2020 prevalensi perokok dewasa di Indonesia tertinggi kelima di dunia, yakni 37,6 persen. Jika ditinjau dari jumlah perokok, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia, sebanyak 70,2 juta orang.
Kenapa upaya-upaya tersebut seakan-akan kandas? Yang paling sering dituding sebagai penyebabnya adalah berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai setengah hati” dalam upaya menurunkan konsumsi rokok. Atau ”kegamangan” pemerintah untuk bertindak tegas akibat devisa yang didapat dari pajak rokok sangat signifikan.
Di luar semua itu, salah satu penyebab kegagalan suatu program adalah tidak tepatnya memilih strategi. Apakah ini terjadi juga dalam mengurangi atau menghapus perokok?
Manajemen teror
Salah satu upaya agar masyarakat menjauhi rokok adalah dengan memicu rasa takut. Tidak tanggung-tanggung, yang dipicu bukan hanya rasa takut di dunia (kesehatan dan kematian), melainkan juga urusan akhirat (rokok haram).
Namun, kenapa rasa takut ini tidak membuat perokok menghentikan kebiasaannya? Bahkan, ada candaan di kalangan perokok bahwa pelaku korupsi kelas kakap yang ditangkap KPK, semua bukan perokok. Jadi, kalau berhenti merokok, jangan-jangan malah jadi koruptor. Ketakutan yang diharapkan justru dijawab dengan candaan.
Ada sebuah teori yang bernama terror management theory (TMT), yang secara sederhana merupakan model pertahanan ganda untuk menjelaskan bagaimana orang melindungi diri dari kekhawatiran tentang kematian (mortality salience).
Jika ditinjau dari jumlah perokok, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia, sebanyak 70,2 juta orang.
Semua orang pasti takut mati (sebagai rasa takut tertinggi), tetapi tak ada orang yang setiap saat memikirkan kematiannya. Hal ini disebabkan manusia punya mekanisme pertahanan untuk menghilangkan rasa takut.
Jadi, tidak mengherankan jika perokok tidak menghentikan kebiasaannya karena rasa takut yang dipropagandakan. Apalagi mereka menyaksikan ada perokok yang hidup sehat walafiat sampai usia tua, sementara yang tidak merokok sakit-sakitan dan berumur pendek. Merokok dikatakan akan menurunkan kecerdasan. Nyatanya, banyak perokok yang tergolong sebagai orang-orang pintar.
Merokok memicu penyakit jantung dan kanker, orang yang tidak merokok ternyata mengalaminya juga. Merokok dihukumkan haram sehingga mereka yang mengonsumsi menanggung dosa, nyatanya banyak pemuka agama yang merokok. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa memicu rasa takut bukan strategi yang tepat untuk mengurangi perokok. Oleh karena itu, tidak mengherankan prevalensi merokok di Indonesia tetap juara.
Peningkatan cukai rokok
Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah untuk menanggulangi masalah rokok ini adalah menekan aspek finansial penduduk dengan meningkatkan cukai rokok. Nyatanya upaya ini juga gagal total.
Jangankan terhadap orang- orang berduit, bahkan peningkatan cukai rokok ternyata belum mampu menurunkan jumlah penduduk miskin yang merokok. BPS mencatat, pada 2015 persentase merokok usia 15 tahun ke atas untuk golongan pengeluaran terendah adalah 26,91 persen, dan 2022 meningkat menjadi 27,27 persen.
Indikator lain mengungkapkan bahwa pada Maret 2022, persentase pengeluaran rata-rata per kapita untuk tembakau dan sirih 6,19 persen. Padahal, sepuluh tahun lalu, pada Maret 2012, sebesar 6,16 persen.
Statistik lain menginformasikan bahwa pada 2015 rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk tembakau dan sirih pada kelompok penduduk dengan pengeluaran di bawah Rp 150.000 adalah Rp 4.655, meningkat menjadi Rp 6.055 pada 2022. Data di atas menunjukkan bahwa mahalnya harga rokok tidak menghentikan kebiasaan merokok, dan orang berpendapatan rendah sekalipun bersedia mengorbankan pendapatan dalam jumlah yang lebih tinggi.
Beberapa pengamat menyatakan bahwa cukai rokok tidak berpengaruh terhadap prevalensi merokok karena kenaikannya tidak berbeda signifikan dengan kenaikan pendapatan.
Oleh karena itu, disarankan untuk meningkatkan harga rokok dengan lebih agresif. Dengan harga sangat mahal diharapkan permintaan (demand) akan berkurang. Selama ini pemerintah memang sulit untuk mengambil kebijakan yang tegas dalam soal rokok.
Penerimaan cukai hasil tembakau tahun 2022 yang mencapai hampir Rp 200 triliun tentu membuat pemerintah happy. Jika rokok dilarang, pendapatan negara akan turun secara signifikan, dan ini akan berdampak pada kegiatan pemerintahan. Akibat lainnya adalah menurunnya pendapatan masyarakat dan meningkatnya pengangguran. Dampak semakin tinggi jika memperhitungkan dampak bergandanya.
Harapan permintaan rokok berkurang akibat harga yang tinggi perlu dikaji lagi. Pasokan permintaan selalu mencari jalan sendiri untuk mencapai titik ekuilibrium. Harga yang sangat mahal memang menyebabkan turunnya permintaan di sebuah pasar, tetapi permintaan tersebut tidak selalu ”hilang”, tetapi migrasi ke pasar lain.
Penerimaan cukai hasil tembakau tahun 2022 yang mencapai hampir Rp 200 triliun tentu membuat pemerintah happy.
Harga mahal di pasar legal memicu pergerakan di pasar ilegal (black market) untuk memenuhi permintaan. Akhirnya pemerintah hanya bisa gigit jari. Pendapatan dari cukai rokok yang sangat signifikan hilang, jumlah perokok tak berkurang, dan pemerintah tetap terbebani biaya kesehatan, termasuk sakit yang diakibatkan rokok.
Baca juga: Indonesia Belum Termasuk Negara yang Serius Mengendalikan Rokok
”Social marketing”
Merokok adalah kebiasaan atau sebuah bentuk perilaku yang berulang. Kebiasaan ini tidak dapat diubah dengan cepat.
Sosialisasi, edukasi, dan promosi tak akan banyak manfaatnya jika dilakukan sesaat dan temporer. Sekarang tahu, besok sudah lupa. Oleh karena itu, perlu upaya terencana, sistematis, dan berkesinambungan untuk mengubah perilaku ini.
Salah satunya adalah melalui pendekatan social marketing, yang merupakan cabang ilmu pemasaran. Pemerintah pernah menggunakannya dan mencapai keberhasilan dalam melaksanakan program keluarga berencana dan wajib belajar, dengan memengaruhi cara berpikir masyarakat sehingga mengubah perilakunya. Ilmu tersebut tentunya juga dapat diterapkan untuk menghentikan kebiasaan merokok.
Untuk itu, kita dapat memulai dari langkah sederhana, yang merupakan unsur ”kecil” dari social marketing, yaitu mengubah pesan negatif untuk memicu rasa takut dengan pesan positif untuk memicu rasa percaya diri atau kesenangan atau kebanggaan.
Jika dahulu kita mengatakan merokok penyebab berbagai penyakit, menurunkan kecerdasan, atau merokok haram, mulailah kita menyebarkan pesan bahwa tidak merokok menyehatkan, membuat badan bugar, wajah bersinar, aura positif terpancar, aroma tubuh menyegarkan, dan sebagainya.
Citra positif perilaku tak merokok ini harus mampu diposisikan dalam otak setiap orang, yang dikenal dengan positioning, sebagaimana suatu produk diletakkan atau diposisikan oleh marketer di otak konsumen.
Anak-anak harus menjadi prioritas dalam program ini. Seharusnya mencegah seseorang untuk menjadi perokok lebih mudah daripada menghentikan kebiasaan merokok.
Profesor Rhenald Kasali dalam kanal Youtubenya mengungkapkan bahwa kata-kata positif akan menghasilkan kecerdasan, optimisme, dan logika yang runut, di samping mendorong kreativitas, berorientasi pada proses, serta menciptakan kerukunan. Diharapkan melalui program yang dilakukan, semakin banyak anak yang terhindar dari kebiasaan merokok sehingga benar-benar menjadi generasi emas yang akan mewujudkan Indonesia Emas.
Hardius Usman,Guru Besar di Politeknik Statistika STIS