Pak Diro, Semar, dan Butet
Sudiro lahir dari keluarga bersahaja. Ibunya penjual emping di Pasar Beringharjo. Ayahnya abdi dalem Keraton Yogyakarta yang juga pembuat bordir atau jahitan pada pinggiran baju untuk keperluan keraton.
Di dalam perut gendut Semar itu terkandung burung Garuda Pancasila. Di samping sosok Semar tampak Bung Karno sedang menuliskan ”Pancasila”. Di kejauhan tampak Semar turun dari langit biru. Itulah lukisan “Melahirkan Pancasila” karya perupa Valentinus Sudiro, yang meninggal pada usia 85 tahun di Yogyakarta, Kamis, 7 September 2023.
Sudiro segenerasi dengan Djoko Pekik yang meninggal pada usia 86 tahun pada 12 Agustus lalu. Jika Djoko Pekik mempunyai celeng sebagai karya yang banyak dibicarakan orang, Pak Diro memiliki Semar sebagai salah satu karya terbaiknya.
Pak Diro pernah menggelar pameran tunggal Samar-Samar Semar Sudiro di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 2016. Pameran dengan tema Semar karya Pak Diro juga digelar oleh Bentara Budaya Yogyakarta pada 2015.
Atas Semar-semar karya Pak Diro tersebut tersebut, Romo Sindhunata dalam buku Samar-Samar Semar Sudiro merangkai cerita lebih kurang seperti ini. Orang-orang bersamadi dari hari ke hari, dari abad ke abad menunggu pecahnya sebutir telur.
Sudiro bukan politisi yang terampil bicara, ia seniman yang lewat permenungan dan penghayatannya mewujudkan apa itu Pancasila dalam gambar, dengan perantara sosok Semar.
Akhirnya telur itu pecah dan dari dalamnya muncul seekor garuda. la membawa bintang tunggal berkepala lima; Gelang dari untaian manik-manik indah; Pohon beringin yang rindang, dan padi-kapas yang segar. Begitu garuda itu terbang, pecahan telur pun hilang dan menjadi perut Semar.
Begitu mengenanya Sudiro yang pendiam itu bertutur tentang Pancasila, riwayat kelahiran, dan pemikiran dasar oleh penggalinya. Sudiro bukan politisi yang terampil bicara, ia seniman yang lewat permenungan dan penghayatannya mewujudkan apa itu Pancasila dalam gambar, dengan perantara sosok Semar.
Semar, tulis Sindhunata, adalah sejarah, bayang-bayang samar, yang sudah bertahun-tahun bahkan berabad-abad ada di bumi tempat mereka dan nenek moyang mereka berada. Seperti halnya Semar, tulis Romo, Pancasila adalah bawah sadar mereka yang ada di luar sejarah, tetapi terus hidup dalam sejarah.
Melupakan Semar
Pada karya-karya Sudiro yang lain tentang Semar, Romo Sindhu menceritakan orang yang mulai melupakan Semar. Semar bahkan dianggap hilang. Orang-orang kehilangan identitas dan pegangan. Mereka menjadi tidak sabar, cepat marah, dan memaksakan apa yang diyakini sebagai kebenaran.
Mungkin Semar harus mati, tulisnya. Kahyangan yang hendak dibangunnya bertentangan dengan dunia yang selama ini mereka bangun: kegelapan yang dipertahankan dengan kekuasaan, kekayaan, keserakahan, dan kebohongan atau kepalsuan.
Kahyangan Semar adalah kebalikan dari dunia mereka. Terang Semar adalah lawan dari kegelapan mereka. Begitu tulis Sindhunata yang lahir dari permenungan atas lukisan Sudiro.
Lewat sosok Semar, Pak Diro bisa berbicara tentang wajah Indonesia dengan segala tabiat dan perilaku warganya. Semar adalah sederhana, jujur, bijaksana, mengayomi. Sudiro menggunakan karya seni rupa untuk menyuarakan, merenungkan, juga menyindir realitas.
Koleksi Butet
Di balik Semar ada sosok sederhana Sudiro. Kesederhanaan adalah kesan saya ketika bertandang ke rumahnya di tengah perkampungan padat di Singosaren Kidul, Yogyakarta. Saya berpapasan dengan Pak Diro yang sedang dibonceng istrinya, Kristina Tini Sukapti, dengan sepeda motor.
Di balik helm itu tampak wajah sepuh sang seniman. Kami dipersilakan masuk ke rumahnya yang bersahaja. Tak ada lukisan yang terpasang di dinding rumah itu kecuali satu lukisan yang sedang diselesaikannya.
Sudiro lahir dari keluarga bersahaja. Ibunya penjual emping di Pasar Beringharjo. Ayahnya abdi dalem Keraton Yogyakarta yang juga pembuat bordir atau jahitan pada pinggiran baju untuk keperluan keraton. Kakaknya adalah kemasan atau perajin emas dan perak.
Kakaknya yang lain membuat wayang dari bahan karton bekas. Dari sang kakak, Sudiro kecil sudah ikut mencorat-coret. Ia kemudian kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta, tahun 1960-1965, seangkatan dengan pelukis Nyoman Gunarsa.
Baca juga: Wirid Butet Menyapa Tubuh, Jiwa, dan Pikiran...
Puluhan tahun melukis untuk menghidupi, Sudiro tak banyak memiliki karya yang tersisa di rumahnya. Dia menceritakan, suka menangis kalau mengingat lukisan-lukisan yang dia sayangi terpaksa dia lepas karena keluarganya membutuhkan uang. ”Sering ketika keinginan untuk melukis itu muncul, saya kekurangan bahan, tidak ada kanvas, kekurangan cat,” kata Sudiro.
Untuk itu, ia sering harus menjual karya. Semedot, istilah Pak Diro, atau perasaan teramat sedih karena terpisah dengan orang yang dicintai. Dan berkali-kali, selama puluhan tahun dalam hidupnya, Sudiro menanggung rasa semedot melepas karya demi menghidupi keluarga.
Di antara ratusan karya yang kini dikoleksi orang, ada sebuah lukisan berjudul ”Penebusan” yang kini dikoleksi Butet Kartaredjasa. Lukisan cat minyak yang dibuat tahun 1969 itu berupa sepasang kaki telanjang dan terluka pada kedua telapaknya.
Darah mengalir hingga celah-celah jari. Di samping kaki itu tergeletak paku-paku, mahkota duri, dan kaki tangga tersandar pada tiang kayu. Itu salah satu lukisan yang disayangi Sudiro tetapi harus dilepas demi kehidupan keluarga.
Butet sudah mengenal lukisan ”Penebusan” karya Pak Diro itu sejak di sekolah dasar. Ceritanya, Pak Bagong Kussudiardjo sering mengajak Butet bertandang ke rumah rekan-rekan seniman, termasuk ke kediaman Pak Diro yang tidak jauh dari rumah Pak Bagong.
Bagi Butet, ”Penebusan” merupakan lukisan surealis pertama yang ia lihat secara langsung. Pada masa itu, Butet lebih sering menikmati lukisan bergaya dekoratif atau impresionisme model Soedjojono.
Baca juga: Gus Mus, "Saya Manusia Merdeka..."
Butet merasa kaget, heran, dan kagum melihat gambar Yesus yang tidak generik seperti yang banyak ia lihat di buku-buku. Ada sosok Yesus yang langsung ia kenali benar meski hanya tampak kaki dan luka di kaki.
Karya Pak Diro itu begitu menancap pada ingatan visualnya. Hingga Butet dewasa, ketika referensi seni rupanya makin luas, lukisan ”Penebusan” masih kuat di benaknya.
Berkali-kali ketika bertandang ke rumah Pak Diro, Butet menyatakan keinginan untuk memiliki karya tersebut. Namun, Pak Diro tidak pernah melepasnya. Sampai suatu hari, Butet kaget ketika Ibu Sudiro datang ke rumahnya membawa ”Penebusan”.
Ketika itu, keluarga Pak Diro benar-benar sedang membutuhkan uang. Dan satu-satunya orang yang diketahui dan dipercaya oleh beliau untuk memilik karya tersebut hanyalah Butet. ”Pak Diro tahu kalau saya benar-benar ingin memilikinya,” kata Butet.
Berkali-kali ketika bertandang ke rumah Pak Diro, Butet menyatakan keinginan untuk memiliki karya tersebut. Namun, Pak Diro tidak pernah melepasnya. Sampai suatu hari, Butet kaget ketika Ibu Sudiro datang ke rumahnya membawa ’Penebusan’.
”Yen aku kangen, aku iso weruh,” kata Butet menirukan ucapan Pak Diro yang mengatakan bahwa jika sewaktu-waktu kangen dengan karyanya, beliau bisa datang ke rumah Butet.
Darah dan kematian dalam lukisan menjadi penghidupan bagi Sudiro. Penghidupan yang ikut diwarnai dengan kesedihan karena tak memiliki lagi karya yang ia sayangi. Namun, Pak Diro yang tidak banyak bicara ini tetap memilih menghidupi keseniannya.
Lewat karya ia bisa hidup. Lewat lukisan ia bisa bicara banyak tentang pikiran-pikiran yang tak dapat ia sampaikan dengan kata-kata. Sebuah laku di jalan sunyi.
Dan kini Pak Diro meneruskan langkah sunyinya. Sugeng tindak Pak Diro....