Obral Pendidikan Dokter
Setelah UU No 17/2023 dinyatakan sah, muncul keputusan membuka 15 fakultas kedokteran (FK) baru sebagai solusi mengatasi kekurangan jumlah dokter. Seharusnya pendirian FK tidak boleh sama dengan pendidikan vokasi.
Di banyak negara maju, fakultas kedokteran adalah sekolah dengan persyaratan akademik tertinggi. Artinya, hanya mereka dengan kemampuan akademik terbaik saja yang bisa diterima di fakultas kedokteran.
Selain ada persyaratan terkait kesehatan (misal tidak boleh buta warna), jenjang pendidikan untuk menjadi dokter perlu waktu paling lama dibandingkan dengan fakultas lain. Pekerjaan dokter adalah melayani dan menolong. Diperlukan panggilan hati dan empati kepada orang lain.
Meskipun pekerjaan sebagai dokter adalah sarana mencari rezeki guna memenuhi kebutuhan hidup, sakitnya pasien tidak boleh menjadi sekadar obyek jual-beli mencari keuntungan materi. Hal ini berbeda secara diametral dengan bankir yang tak mungkin meminjamkan modal, kecuali di situ ada rente yang diburu.
Bukti nyata tentang ini terpatri jelas dari peran mahasiswa sekolah dokter STOVIA yang berperan besar dalam proses kebangkitan nasional bangsa Indonesia, seperti dr Sutomo, dr Wahidin Sudirohusodo, dan masih banyak lagi.
Para bapak bangsa tersebut terbiasa dididik untuk berpikir terpola dan memiliki arah jelas, mulai dari bertanya dan mencari informasi (anamnesis), diikuti telaah atas bukti-bukti empiris yang nyata (pemeriksaan fisik pada pasien), dilengkapi dengan data penyokong (hasil pemeriksaan penunjang, seperti foto rontgen dan hasil tes laboratorium).
Keputusan untuk mendirikan fakultas kedokteran seharusnya tidak boleh sama dengan ketika kita membuka pendidikan vokasi untuk bidang teknik atau ekonomi/perbankan.
Pola pikir ini akhirnya menghasilkan sebuah kesadaran bersama akan situasi dan nasib bangsa yang sedang ”tidak baik-baik saja” sehingga mendorong mereka mencari solusi pengobatan dengan mendirikan Budi Utomo sebagai sarana untuk ”memperbaiki” penyakit bangsa ini pada zaman itu.
Setelah UU No 17/2023 dinyatakan sah, kita sempat terkaget dengan dibukanya 15 fakultas kedokteran (FK) baru sebagai solusi untuk mengatasi segera kekurangan jumlah dokter, berdasarkan perhitungan versi Menteri Kesehatan Budi G Sadikin. Keputusan untuk mendirikan FK seharusnya tidak boleh sama dengan ketika kita membuka pendidikan vokasi untuk bidang teknik atau ekonomi/perbankan.
Apalagi keputusan ini diambil secara terburu-buru hanya berdasarkan narasi kekurangan dokter yang terus diulang-ulang oleh Menkes tanpa mendengarkan pendapat para pemangku kepentingan lain, seperti Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI), bahkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)—yang saat ini diragukan independensinya karena bukan institusi negara lagi, tetapi berubah menjadi lembaga di bawah Menkes berdasarkan UU No 17/2023.
Data yang dinarasikan oleh Menkes adalah bahwa kita kekurangan 130.000 dokter karena WHO menyarankan rasio dokter dan penduduk 1:1.000 sehingga perlu 270.000 dokter untuk seluruh Indonesia. Menurut Menkes, saat ini kita baru punya 140.000 dokter. Mengapa Menkes memakai metrik WHO 1:1.000 dan tidak menggunakan metrik 1:2.500 sebagaimana masukan Kementerian Kesehatan terkait hak kesehatan rakyat yang tertuang dalam Permenkumham No 34/2016?
Jika rasio 1:2.500 ini yang dipakai, tentu pernyataan Menkes bahwa kita kekurangan dokter sangat tidak tepat. Berangkat dari rasio ini pula, atas permintaan KKI, Dirjen Dikti pernah memberlakukan moratorium pembukaan prodi kedokteran baru yang kemudian dicabut pada 2022 berdasarkan Kepmendikbudristek No 471/P/2022.
Bicara tentang rasio, WHO menyatakan ini bukan angka mutlak, tergantung situasi geografi serta problem transportasi yang berbeda untuk tiap wilayah, misalnya antara Jakarta dan Papua. Juga harus dibedakan untuk setiap bidang spesialisasi, dan memperhatikan beban kerja (workload) dari para dokter yang ada saat ini.
Pasien perdarahan otak akibat cedera kepala harus dapat pertolongan dalam tempo 2-4 jam. Artinya, diperlukan kehadiran spesialis bedah saraf untuk setiap jarak perjalanan empat jam. Seorang ibu hamil yang mengalami kegawatan persalinan harus segera ditolong dalam waktu kurang dari satu jam. Jika terlambat, ibunya bisa mati, atau anaknya yang mati, atau bahkan keduanya mati.
Artinya, Menkes harus duduk bersama dengan organisasi profesi spesialis serta pemda untuk menetapkan rasio kebutuhan dokternya dengan memperhatikan situasi demografi dan kemudahan transportasi yang berbeda di setiap wilayah.
Pertanyaan kedua, tentang data jumlah dokter yang benar. KKI per 30 Agustus 2022 memperlihatkan, saat ini mereka punya daftar surat tanda registrasi (STR) untuk 209.946 dokter, terdiri atas 161.779 dokter umum dan 48.167 dokter spesialis. Ada selisih jumlah dokter hampir 70.000 orang dengan data Menkes. Adanya perbedaan data ini mesti diselesaikan.
Apalagi ada inkonsistensi data Kemenkes tentang jumlah dokter selama ini.
Dalam buku Profil Kesehatan Indonesia 2020, Kemenkes tertulis data jumlah dokter di Indonesia sekitar 114.000 orang. Rinciannya: 25.000 bekerja di puskesmas, 73.000 di RS, 11.000 di klinik mandiri, dan 5.000 praktik mandiri. Jika dikaitkan dengan data STR yang dikeluarkan KKI sebanyak hampir 210.000, di mana keberadaan sekitar 95.000 dokter yang memiliki STR dari KKI itu?
Penggunaan hanya satu informasi terkait rasio kebutuhan 1:1.000, dengan data jumlah dokter saat ini yang diragukan kebenarannya, sebagai dasar menentukan kebutuhan jumlah dokter untuk masa 10 tahun mendatang, adalah sebuah oversimplifikasi. Apalagi jika kemudian dijadikan dasar untuk membuka FK baru sebanyak-banyaknya.
Sebagai institusi pemerintah, seharusnya Kemenkes memiliki cukup sumber daya untuk menyelesaikan perbedaan data jumlah dokter antara Kemenkes, KKI, IDI, bahkan BPS. Kemenkes harus punya metadata terkait kebutuhan dokter ini dengan menyertakan semua pemangku kepentingan bidang layanan kesehatan.
Kemenkes harus punya metadata terkait kebutuhan dokter ini dengan menyertakan semua pemangku kepentingan bidang layanan kesehatan.
Pembukaan FK secara massal, perlukah?
Sepertinya, data KKI lebih relevan untuk dijadikan dasar penentuan kurangnya jumlah dokter di Indonesia. Jika rasio 1:1.000 tetap mau digunakan, sebenarnya kita cuma kekurangan sekitar 60.000 dokter, bukan 130.000. Pada 2022, dengan 95 FK dan jumlah lulusan 12.000-14.000 dokter baru setiap tahun, maka kekurangan 60.000 dokter ini akan terpenuhi dalam 4-5 tahun, tanpa harus mendirikan FK baru.
Waktu pencapaian ini akan lebih cepat jika dilakukan optimalisasi penerimaan jumlah mahasiswa baru pada FK yang sudah terakreditasi A.
Berdirinya 15 FK baru pun memerlukan 6-7 tahun ke depan untuk mulai meluluskan. Terkait kualitas lulusan dokter, tentu akan berbeda antara FK yang sudah berpuluh tahun memproduksi dokter dan FK baru dengan segala keterbatasan sumber daya dosen, khususnya dosen biomedis, fasilitas laboratorium, dan proses seleksi penerimaan mahasiswanya.
Jangan sampai terjadi garbage in garbage out. Contohnya Universitas Negeri Semarang, salah satu PTN pengusung FK baru. Dari 51 dosen, ada 32 dosen tetap. Artinya, ada 40 persen dosen paruh waktu berupa dokter yang punya rangkap jabatan sebagai dosen di FK lain atau sebagai klinisi di RS lain.
Jika berpegang pada UU No 17/2023 yang baru disahkan, pada Pasal 207 Ayat 11 Bagian ke-3 dijelaskan, pendirian institusi pendidikan dokter harus memperhatikan ketersediaan dan persebaran di setiap wilayah RI. Kenyataannya, ke-15 FK baru ini semua ada di Jawa. Jadi jelas tak selaras, bahkan bertentangan dengan ketentuan UU Kesehatan. Persoalan kurangnya jumlah dan distribusi dokter, semua ada di luar Jawa.
Pada saat yang sama FK Cenderawasih, Nusa Cendana, dan Pattimura masih belum terakreditasi A dan memerlukan dukungan negara untuk meningkatkan kualitasnya.
Persoalan kronis dan krusial terkait layanan kesehatan di negara ini adalah maladistribusi dokter. Rasio dokter di DKI saat ini 1:680, tetapi di Sulawesi Barat rasionya 1:10.417. Jadi, diskrepansinya 52 kali lipat. Untuk spesialis, rasionya 52 per 100.000 penduduk di DKI dan 3 per 100.000 penduduk di Papua. Diskrepansinya 17 kali lipat.
Ini adalah tanggung jawab pemerintah, termasuk pemda. Bukan tanggung jawab organisasi profesi. Sebagai solusi maladistribusi ini, dari pertemuan terakhir di Solo, AIPKI meminta pemerintah agar FK baru dibuka di daerah yang belum memiliki FK, Kemenkes mesti duduk bersama Kemendikbudristek dan kepala daerah/gubernur. AIPKI juga telah mengingatkan Menkes terkait kesejahteraan dokter.
Selain tidak sejalan, bahkan melanggar ketentuan UU No 17/2023 Pasal 207 Ayat 11, pendirian 15 FK baru yang semua ada di Jawa ini tidak akan pernah menjadi solusi atas masalah kekurangan dokter di luar Jawa, khususnya di daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), bak jauh panggang dari api.
Kalau dihitung dari tingkat produksi dokter saat ini saja, 14.000 per tahun, maka dalam waktu sepuluh tahun mendatang jumlah dokter kita akan menjadi 350.000 orang. Artinya, kenaikannya 66 persen. Pada kurun waktu yang sama, menurut prakiraan BPS, populasi negeri kita akan menjadi 301 juta-302 juta orang atau hanya naik 11 persen. Jadi, ada diskrepansi sebanyak enam kali lipat antara peningkatan jumlah dokter dan bertambahnya populasi.
Jumlah dokter yang melampaui kebutuhan ini akan berdampak pada berkurangnya kesejahteraan dan persaingan yang tidak sehat, yang berpotensi memunculkan praktik dokter yang diwarnai oleh berbagai bentuk pelanggaran etika dan disiplin profesi.
Saat ini saja kemampuan pemerintah untuk menyerap dokter lulusan baru hanya 20 persen. Hasil survei Junior Doctor Network baru-baru ini menunjukkan 25 persen dokter penghasilannya kurang dari Rp 3 juta per bulan dan 90 persen dokter tak memperoleh penghasilan minimal yang direkomendasikan IDI Rp 12,5 juta per bulan.
Berita terkait dokter spesialis di daerah yang terpaksa berdemo karena hak-haknya diabaikan selama berbulan-bulan terus bermunculan di media. Berita soal pengingkaran hak-hak tenaga kesehatan oleh pemda muncul di Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Papua.
Jelas terlihat arah untuk mengapitalisasi pendidikan dokter menjadi industri dengan target memproduksi dokter sebanyak-banyaknya seperti produksi mobil dan sepeda motor.
Dampak yang paling menakutkan adalah kompetensi institusi ataupun lulusannya yang layak dipertanyakan. Tanpa ada regulasi terkait standar biaya sekolah di FK serta tanpa subsidi dan kehadiran negara dalam pendidikan FK, kelak lulusannya akan berpraktik kejar setoran demi mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Pelayanan kesehatan bukan lagi berorientasi humanis untuk keselamatan pasien, melainkan jadi alat untuk mengejar keuntungan industri RS yang juga telah dikapitalisasi oleh negara melalui UU No 17/2023.
Baca juga: Utak-atik Sekolah Dokter
Zainal Muttaqin, Pengamat Pendidikan Kedokteran, Guru Besar FK Universitas Diponegoro, Semarang