Otoritas Jasa Keuangan berencana mengatur besaran pembagian dividen bank. Rencana ini sontak menimbulkan perdebatan hangat. Terlepas dari perdebatan yang muncul, ada sejumlah alasan mengapa rencana OJK patut didukung.
Oleh
ARDHIENUS
·4 menit baca
Otoritas Jasa Keuangan berencana mengatur besaran pembagian dividen bank. Dalam waktu dekat beleid itu bakal muncul. Regulasi ini menyebabkan bank tak bisa lagi berfoya-foya membagikan dividen karena jumlahnya akan dibatasi OJK.
Sebagai gambaran, pembayaran dividen dari laba yang diperoleh (dividend payout ratio) di 2022 untuk BRI mencapai 85 persen, Bank Mega 70 persen, dan BCA 62 persen.
Rencana ini sontak menimbulkan perdebatan hangat. Di satu sisi, ada yang mengatakan pengaturan dividen akan berdampak negatif pada bank, terutama harga sahamnya. Daya tarik saham bank bakal berkurang karena investor menjadikan pembagian dividen sebagai cuan tambahan selain keuntungan karena kenaikan harga saham (capital gain).
Namun, pendapat lain mengatakan pembatasan dividen justru akan menguntungkan bank. Modal bank akan menggunung sehingga skala usaha bank otomatis terdongkrak. Daya saing usaha pun akan kian kuat. Dengan demikian, dalam jangka panjang valuasi saham akan semakin besar. Hal ini berimplikasi positif pada peningkatan harga saham. Investor saham pada akhirnya akan mendapatkan manfaatnya.
Regulasi ini menyebabkan bank tak bisa lagi berfoya-foya membagikan dividen karena jumlahnya akan dibatasi OJK.
Alasan pembatasan
Terlepas dari perdebatan itu, rencana OJK patut didukung. Ada beberapa alasan.
Pertama, pembatasan dividen sangat diperlukan untuk kondisi saat ini. Dengan dibatasi, modal perbankan akan membesar. Tentu ini berdampak pada penguatan ketahanan perbankan dalam menghadapi berbagai risiko. Terlebih, berbagai ketidakpastian yang tidak henti silih berganti menghampiri ekonomi dan perbankan Indonesia.
Kedua, tambahan modal dari laba yang diperoleh diperlukan untuk ekspansi bisnis, dalam hal ini penyaluran kredit, dan belanja modal terutama belanja infrastruktur teknologi informasi. Digitalisasi dan ancaman serangan siber yang terus meningkat menuntut bank terus memperkuat teknologi informasinya, termasuk keamanannya.
Ketiga, beberapa studi empiris menunjukkan perlu dan pentingnya regulator mengatur pembagian dividen seiring terjadinya krisis keuangan global 2008, seperti Ashraf et al (2016), Onali (2014), dan Kanas (2013). Dalam konteks mikro, pembatasan dividen tak hanya bermanfaat bagi bank. Namun, dalam cakupan lebih luas, bisa memperkuat stabilitas sistem keuangan.
Terakhir, pengaturan dividen sesungguhnya bukan hal baru di dunia perbankan. Banyak negara juga mengenakan pembatasan dividen, seperti China, Korea Selatan, dan Jerman. Basel Committee on Banking Supervision telah meluncurkan Basel III Accord pada 2011 yang membatasi pembagian dividen pada bank yang modalnya masih di bawah batas yang ditentukan.
Memang ada konsekuensi dari pembatasan dividen bagi pemilik modal, terutama bagi pemerintah pusat dan daerah.
Tak dapat dimungkiri, dividen bank pelat merah dan bank pembangunan daerah (BPD) memang salah satu sumber penting penerimaan negara dan daerah. Bagi pemerintah pusat, rencana ini bakal menggerus penerimaan pemerintah dari dividen Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Begitu pula dengan pemerintah daerah yang sangat mengharapkan masukan pendapatan dari laba BPD.
Pada 2022 dividen empat bank Himbara menyumbang penerimaan negara Rp 40,75 triliun, terdiri dari BRI Rp 23,15 triliun, Bank Mandiri Rp 12,84 triliun, BNI Rp 4,39 triliun, dan BTN Rp 0,37 triliun.
Sementara sebaran dividen kepada pemegang saham oleh beberapa BPD juga cukup besar: Bank Jabar Banten Rp 1,1 triliun atau hampir 50 persen dari laba bersih yang Rp 2,22 triliun. Bank Sumatera Utara juga menebar dividen Rp 560,5 miliar, 80 persen dari laba bersih Rp 701 miliar.
Tentu OJK tak menampik itu dan bertindak bijak. Aturan pembatasan dividen akan mengatur secara prinsipnya saja (principle based). Aturannya tidak akan kaku (rigid) dan pembatasan dividen untuk bank tak akan sama. Bisa jadi keputusan pembagian dan besaran dividen akan ditentukan oleh bank itu sendiri (self assessment), tetapi tetap harus mengacu pada koridor OJK.
Besaran dividen akan berbeda untuk modal bank yang telah kuat dengan bank yang masih butuh modal. Bisa juga, besaran dividen akan bergantung pada rasio kredit bermasalah atau kredit berisiko.
Jika bank masih memiliki kredit bermasalah atau kredit berisiko yang tinggi, besaran dividen akan lebih rendah, bahkan bisa tak boleh membagikan dividen. Laba yang diperoleh akan digunakan untuk mengantisipasi peningkatan kredit bermasalah atau pembentukan cadangan kredit.
Sepertinya juga kurang bijak jika modal masih minim, tetapi dividen tetap harus diberikan kepada pemegang saham. Terlebih ada ketentuan OJK yang mewajibkan bank memiliki modal minimum Rp 3 triliun. Kondisi ini bisa kita lihat pada salah satu BPD, Bank Sulawesi Tengah.
Posisi Juni 2023, bank ini baru memiliki modal inti Rp 1,4 triliun. Laba periode 2022 Rp 246,39 miliar dan dividen yang diberikan ke pemegang saham Rp 102,5 miliar, 41,6 persen dari laba yang diperoleh. Padahal, BPD harus memiliki modal inti minimum Rp 3 triliun paling lambat 31 Desember 2024. Kalau tidak, harus rela turun kelas. Seyogianya, laba sepenuhnya untuk menambah modal bank.
Ardhienus, Deputi Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia