Berbagai persoalan, mulai dari produktivitas lahan yang rendah hingga hilirisasi yang jauh dari memadai, menjerat petani karet Indonesia.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Agenda ”mendorong keberlanjutan karet dan pengembangan karet berkelanjutan” menjadi tema sentral temu Asosiasi Negara-negara Produsen Karet Alam di Palembang pekan lalu.
Tagline”keberlanjutan” mengemuka karena saat ini karet dihadapkan pada sejumlah tantangan yang mengancam kelangsungannya. Tantangan itu antara lain tren penurunan harga karet dunia, konversi tanaman karet, serta isu perubahan iklim dan kelestarian lingkungan. Selain itu, pasar karet alam dunia juga tengah berubah ke arah permintaan karet alam beserta produk turunannya yang berkelanjutan (Kompas, 4/9/2023).
Pertemuan negara anggota ANRPC ini berlangsung di tengah gonjang-ganjing industri karet nasional. Berbagai faktor menyebabkan kian terpuruknya kinerja sektor ini, tecermin dari terus menurunnya produksi beberapa tahun terakhir.
Sangat rendahnya produktivitas dan fluktuasi harga karet menjadi momok terbesar industri tersebut yang belum teratasi hingga kini. Rendahnya harga karet dunia menyebabkan para petani karet tidak mampu merawat kebunnya.
Banyak dari mereka yang akhirnya memilih menelantarkan kebun atau mengonversi tanaman karet menjadi tanaman lain yang lebih prospektif. Akibatnya, berbeda dengan banyak negara lain, seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan Pantai Gading, yang justru melakukan ekspansi lahan, luasan perkebunan karet Indonesia justru terus menyusut karena konversi lahan.
Tak terurusnya kebun membuat produktivitas lahan sangat rendah, hanya 300 kilogram (kg) karet remah/hektar/ tahun, jauh di bawah negara penghasil karet lain yang bisa 1.300 kg/hektar/tahun. Program penanaman kembali atau revitalisasi pohon karet tidak berjalan dengan baik, sementara pohon karet yang ada umumnya sudah tua dan tidak produktif.
Di pasar global, kita juga menghadapi situasi yang juga menuntut kemampuan pelaku industri ini untuk menyesuaikan diri dan bertransformasi. Sejumlah negara memberlakukan regulasi dan standardisasi ketat berkaitan dengan kelestarian lingkungan dan pengurangan dampak perubahan iklim.
Di sisi hilirnya, kita juga masih tertinggal dalam hilirisasi menuju produk karet hilir bernilai tambah tinggi karena pemerintah selama ini abai membangun industri hilirnya.
Seperti kondisi 15 tahun lalu, sekitar 85 persen produksi karet masih diekspor dalam bentuk mentah, dan hanya 15 persen yang terserap di dalam negeri, dan diolah lebih lanjut.
Perlu uluran tangan pemerintah agar industri ini tak kian terpuruk. Bukan hanya dukungan di hilir dalam bentuk bantuan untuk peremajaan tanaman atau pemupukan, melainkan juga secara serius mendorong hilirisasi dan integrasi dengan rantai pasok industri serta proyek-proyek pembangunan.
Desakan untuk dilakukannya penguatan kelembagaan petani karet juga sangat relevan mengingat petani karet menjadi pemain kunci keberlangsungan industri ini karena perkebunan karet rakyat menguasai sekitar 85 persen total luas areal.
Sangat mendesak, langkah penyelamatan segera di hulu dan agresivitas hilirisasi untuk menyelamatkan industri karet.